Biar pun sudah banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga (baca: istri) dan kemudian pada anak-anak mereka, tapi upaya yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV dengan mata rantai suami tetap tidak ada. Berbagai kegiatan penanggulangan hanya sebatas retorika.
Maka, tidaklah mengherankan kelau kemudian kasus HIV/AIDS terus terdeteksi pada ibu rumah tangga. Sebagian besar kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga terdeteksi ketika hendak melahirkan. Yang lain terdeteksi melalui rentetan ketika anaknya terdeteksi HIV, ibu anak tsb. pun dianjuran tes HIV.
Di Kota Samarinda, Prov Kalimantan Timur (Kaltim), misalnya, dikabarkan 20 persen kasus HIV/AIDS atau 77 dari total 381 kasus terdeteksi pada ibu rumah tangga (20 Persen Pengidap HIV di Samarinda IRT, kompas.com, 14/10-2011).
Dilaporkan 77 ibu rumah tangga tersebut terdeteksi dari 320 ibu rumah tangga yang memeriksakan diri di RSUD A Wahab Syahrie, Samarinda.
Menurut pengelola Koalisi Penanggulangan AIDS Kota Samarinda, M Basuki, penularan terbesar HIV adalah dari hubungan seksual dengan bukan pasangan sahnya.
Pernyataan Basuki ini bertolak belakang dari data yang disampaikannya. Pengertian awam ibu rumah tangga adalah istri yang terikat dalam pernikahan. Kalau 77 kasus yang disebut pada ibu rumah tangga itu tertular dari laki-laki yang bukan suaminya, maka yang tepat adalah: 77 perempuan di Samarinda terdeteksi HIV.
Lagi-lagi Basuki menyuarakan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS dengan mengatakan: ”Maka dari itu, potensi terbesar tertular HIV adalah hubungan seks bebas, atau seks dengan bukan pasangan resminya. Yang kasihan ibu rumah tangganya."
Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar ikatan pernikahan yang sah jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom. Sebaliknya, kalau satu padangan dua-duanya tidak mengidap HIV maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun dilakukan di luar nikah, melacur, ’jajan’, dll.
Terkait dengan kasus penyebaran HIV di kalangan ibu rumah tangga, maka Pemkot Samarinda harus melakukan intervensi yang konkret yaitu mewajibkan setiap laki-laki memakai kondom jika melakukan hubungan seksual yang berisiko dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung (Lihat Gambar).
Jika hal itu tidak bisa dilakukan, langkah berikutnya adalah mewajibkan suami yang sering melakukan perilaku berisiko memakai kondom jika sanggama dengan istrinya.
Sayang peraturan daerah (perda) AIDS Prov Kaltim dan Kota Samarinda tidak menawarkan cara-cara yang konkret dalam menanggulangi HIV/AIDS (Lihat:http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/26/sepak-terjang-perda-aids-prov-kalimantan-timur/ dan http://edukasi.kompasiana.com/2010/08/30/menguji-peran-perda-aids-kota-samarinda-dalam-menanggulangi-aids/).
Langkah terakhir yang bisa dilakukan adalah melalui program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Celakanya, di Indonesia tidak ada mekanisme untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil.
Bertolak dari 77 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga itu berarti ada 77 laki-laki yang mengidapHIV. Nah, kalau 77 laki-laki itu memiliki lebih dari satu pasangan atau istri maka jumlah perempuan yang tertular HIV kian besar.
Jika Pemkot Samarinda tidak melakukan langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS, maka kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***[Syaiful W. Harahap]***