Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

AIDS di Kota Ambon, Maluku, Ganjalan untuk Pariwisata?

23 Maret 2012   01:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:36 453 0

"Perkembangan Kota Ambon yang semakin baik diberbagai bidang, menimbulkan berbagai persoalan. Salah satunya adalah semakin tumbuh suburnya penyebaran virus mematikan HIV/AIDS.” Ini lead di berita “Tren Kasus HIV/AIDS Di Kota Ambon Terus Meningkat” (ambon.go.id, 9/3-2012).


Ada beberapa hal yang menimbulkan pertanyaan terkait dengan kesimpulan pada lead berita di atas.


Pertama, apa, sih, kaitan langsung antara perkembangan Kota Ambon dengan penyebaran HIV/AIDS? Di pelosok Papua dan Prov Jambi, misalnya, sudah terdeteksi penduduk yang mengidap HIV/AIDS. Mereka bisa saja tertular di luar kampungnya.


Kedua, disebutkan ‘virus mematikan HIV/AIDS’. Belum ada laporan medis terkait dengan kematian karena HIV/AIDS. Yang menyebabkan kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) adalah penyakit, disebut infeksi oportunistik, yang muncul pada masa AIDS (setelah tertular antara 5 – 15 tahun), seperti diare dan TBC.


Berita ini dilansir di situs Pemprov Ambon. Yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan HIV/AIDS pun ternyata tidak memahami epidemi HIV secara konkret.


Data di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Ambonbulan Januari - Februari 2012 terdeteksi 26 kasus baru HIV/AIDS yang terdiri atas 9 HIV dan 17 AIDS.


Wakil Walikota (Wawali) Ambon, M.A.S Latuconsina, ST, MT, mengatakan: "Sungguh miris memang, baru dua bulan saja diawal tahun sudah sebanyak itu temuan kasus baru, apalagi kalau sampai penghujung tahun nanti."


Yang miris bukan penemuan kasus baru itu, tapi penyebaran HIV yang terus terjadi tanpa disadari banyak orang. Celakanya, kita kian miris karena tidak ada program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret.


Disebutkan pula: “Dan lebih parahnya lagi, setiap tahun kasus ini bukannya menurun melainkan trennya naik terus.”


Pernyataan ini lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang cetek terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus baru ditambah kasus lama. Begitu seterusnya sehingga angka kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar pun banyak yang mati.


Kalau yang dimaksud adalah penemuan kasus baru, tentu saja itu merupakan konsekuensi logis dari penanggulangan yang tidak konkret. Insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi jika tidak ada penanggulangan yang konkret di hilir.


Disebutkan bahwa Kota Ambon dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata, tapi menurut Pemkot Ambon hal itu akan terganjal karena kasus HIV/AIDS. Rupanya, Pemkot Ambon tidak berkaca ke Thailand. Negeri dengan ratusan ribu kasus HIV/AIDS itu tetap jadi salah satu tujuan utama wisatawan mancanegera.


Wisatawan mancanegara justru berharap ada data tentang berbagai hal di sebuah daerah tujuan wisata. Jika kasus HIV/AIDS ditutup-tutupi maka wisatawan merasa ditipu dan itu promosi buruk bagi daerah wisata.


Disebutkan: " .... Sebab dari fakta, hampir sebagian besar generasi muda kita sudah terjangkit akibat pergaulan bebas."  Pernyataan ini pun ngawur. Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (‘pergaulan bebas’), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom).  Di bagian lain disebutkan: “ .... sangat setuju bahwa penularan HIV/AIDS itu bukan pada profesi yang digeluti, akan tetapi dari perilaku masyarakat. Pasalnya perilaku tidak bisa dilihat, karena perilaku itu tertutup.”


Pertanyaannya adalah: Apa langkah Pemkot Ambon untuk menanggulangi penyebaran HIV terkait dengan perilaku (terutama perilaku seks) masyarakat?


Kalau di Kota Ambon ada praktek pelacuran, baik yang melibatkan pekerja seks langsung atau pekerja seks tidak langsung, maka perlu ada program pencegahan pada laki-laki dewasa.


Program yang dikembangkan adalah mengharuskan setiap laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan pekerja seks. Program ini sudah berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di Thailand.


Program itu bisa efektif jika pelacuran diregulasi dengan cara dilokalisir sehingga bisa masuk dalam ranah penegakan hukum formal. Program ‘wajib kondom 100 persen’ bisa berjalan jika ada pemantuan yang konkret.


Germo diberikan izin usaha sebagai pintu masuk untuk menindak mereka secara hukum jika ada pekerja seks anak buahnya yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamdia, hepatitis B, dll.).


Secara rutin pekerja seks menjalani tes IMS, kalau ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS itu membuktikan pekerja seks itu meladeni laki-laki tanpa kondom.


Germo diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam regulasi. Di Kota Ambon regulasi bisa dalam bentuk peraturan daerah atau keputusan walikota.

Jika tidak ada program penanggulangan yang konkret, maka penyebaran HIV di Kota Ambon akan terus terjadi. ***[Syaiful W. Harahap]***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun