Penyebarluasan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS diharapkan akan mendorong masyarakat untuk aktif melindungi dirinya agar tidak tertular HIV. Tapi, banyak berita tentang HIV/AIDS di Tanah Papua justru menyuburkan mitos dan mendorong penduduk untuk menyangkal penyebaran HIV terkait dengan perilaku seks mereka.
Ketika kasus HIV/AIDS belum banyak terdeteksi di Tanah Papua (Prov Papua dan Prov Papua Barat) juga sudah muncul penyangkalan dan mencari kambing hitam terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Bumi Cenderawasih itu.
Di sebuah harian nasional dilaporkan bahwa HIV/AIDS di Merauke dibawa dan disebarkan oleh nelayan Thailand. Bahkan, Dirjen PPM&PL, Depkes, ketika itu dijabat oleh (alm) Hadi M. Abednego, memaparkan ‘temuan’ pemerintah tentang kasus HIV/AIDS di Kab Merauke pada sebuah sesi di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifif (ICAAP) ke-4, di Manila, Filipina, Oktober 1997.
Seorang remaja perempuan, waktu itu dia mengaku berumur 17 tahun, aktivis di Population Council, Bangkok, Thailand, memprotes pernyataan pejabat Indonesia itu. “Apakah orang Papua tidak ada yang pergi ke luar daerah,” kata remaja itu dengan nada tinggi. Setelah sesi pun ketika saya wawancarai cewek itu tetap marah-marah.
Cewek itu benar karena kasus HIV/AIDS pertama terdeteksi pada nelayan Thailand di Merauke tahun 1992. Lagi pula tentu saja ada kontak antara penduduk Merauke dengan nelayan dari daerah lain. Selain itu penduduk Merauke pun ada yang pergi atau dinas ke luar Merauke.
Menjadikan nelayan Thailand sebagai ‘kambing hitam’ merupakan bentuk penyangkalan dan melimpahkan kesalahan kepada orang lain. Katakanlah nelayan Thailand itu benar menularkan HIV di Merauke, maka ‘sasaran’ pertama tentulah pekerja seks komersial (PSK) yang dikabarkan juga pertama kali tiba di Merauke tahun 1992.
Andaikan PSK di Merauke pada tahun 1992 itu ‘kepatil’ AIDS dari nelayan Thailand, lalu, Apa kaitannya denga kasus HIV/AIDS yang kian banyak terdeteksi pada penduduk asli Merauke?
Yang mengidap HIV/AIDS ‘kan PSK nonpribumi. Mereka pendatang.
HIV/AIDS sendiri tidak bisa ditularkan atau disebarkan melalui pergaulan sosial sehari-hari. Biar pun PSK itu kos di rumah penduduk, ‘praktek’ sebagai pelacur di sana tetap tidak ada kaitan langsung dengan kasus HIV/AIDS pada penduduk asli lokal.
Tapi, mengapa kemudian banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada penduduk asli lokal?
Secara medis penularan HIV, al. terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan orang yang sudah mengidap HIV/AIDS. Maka, jika dirunut ke belakang tentu saja penduduk lokal yang terdetesi mengidap HIV/AIDS kemungkinan tertular dari PSK melalui hubungan seksual (horizontal).
Celakanya, realitas sosial terkait dengan kehadiran PSK di Merauke tidak disikapi dengan perspektif perilaku terkait dengan perilaku seksual (berisiko) laki-laki lokal. Cara pandang Papua terhadap PSK pun tidak berpijak pada realitas sosial. Padahal, kalau Papua memakai paradigma terbalik dalam menyikapi kehadiran PSK dikaitkan dengan penyebaran HIV/AIDS, maka yang jadi pusat perhatian adalah perilaku seksual laki-laki lokal.
Karena penyebaran HIV terkait dengan pelacuran, maka muncullah penyangkalan. Ada upaya untuk menyalahkan Jakarta (pemerintah pusat-pen.): ”Pelacur J (maaf, nama suku di Indoensia) yang AIDS sengaja didatangkan ke Papua.”
Lagi-lagi persoalan bukan pada Jakarta, tapi pada (perilaku) laki-laki lokal di Tanah Papua.
Lagi pula terkait dengan PSK yang mengidap HIV/AIDS ada dua kemungkinan.
Pertama, yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki lokal.
Kedua, PSK yang terdeteksi mengidap HIV memang sudah mengidap HIV ketika tiba di Papua.
Dua kemungkinan itu sama dampaknya terhadap penyebran HIV di Papua. Laki-laki lokal yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki lokal yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.
Celakanya, dua kemungkinan itu luput dari perhatian terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS di Tanah Papua.
Walaupun ada cara yang realistis untuk menanggulangi HIV/AIDS di Tanah Papua, tapi yang muncul bukan pemikiran yang jernih. Justru ada lagi isu besar yaitu AIDS di Tanah Papua sebagai genosida(pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras). Lihat saja judul berita ini: "AIDS di Papua Sudah Seperti ’Genosida’”. AIDS di Papua dipicu oleh seks bebas (VIVAnews, 2/11-2011).
Ada dua hal yang bertentangan dalam judul berita itu. Ini pun merupakan realitas terkait dengan penyebaran HIV.
Genosida terjadi tanpa disadari karena terkait dengan berbagai faktor yang digulirkan dengan kekuasaan. Tapi, ’seks bebas’ (kalau ’seks bebas’ yang dimaksud wartawan adalah zina atau melacur) tentulah terjadi karena kesadaran yang merupakan bentuk dari pemenuhan kebutuhan biologis berupa dorongan seks.
Judul berita itu menyimpulkan penyebaran HIV/AIDS karena dipicu ’seks bebas’ sebagai bentuk genosida. Tentu saja pernyataan itu tidak bernalar karena ditulis dengan pijakan moralitas diri sendiri.
Ketika ada upaya menggiring pendapat di Papua bahwa HIV/AIDS disengajar oleh Jakarta dalam bentuk genosida tanpa disadari di sisi lain hal itu merupakan penyangkalan dengan mencari ’kambing hitam’ untuk menyalahkan pihak lain dengan mengabaikan perilaku diri sendiri (baca: laki-laki Papua).
Pernyataan pemerhati HIV/AIDS dari Elijah Generation, Mena Robert Satya, mengatakan bahwa pemicu AIDS di Papua berbeda dengan di Jakarta. "Kalau di Jakarta lebih disebabkan karena kebanyakan penggunaan narkoba dan penggunaan jarum suntik. Namun kalau di Papua kebanyakan kasus adalah karena seks bebas."
Pernyataan Mena Robert Satya tentang faktor risiko (mode of transmission) HIV/AIDS di Jakarta itu tidak akurat karena tidak bisa dibuktikan seorang penyalahguna narkoba dengan jarum suntik secara bergantian benar tertular melalui jarum suntik. Soalnya, ada di antara mereka yang sudah ‘ngeseks’ sebelum dan selama memakai narkoba suntik. Selain itu kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada penyalahguna narkoba karena mereka wajib tes HIV ketika hendak masuk pusat rehabilitasi.
Nah, tanpa disadari oleh Mena Robert Satya dia sudah membuka tabir perilaku seks, terutama laki-laki, penduduk asli. Dengan menyebutkan ‘seks bebas’ sebagai pemicu penyebaran HIV di Papua merupakan bukti perilaku berisiko laki-laki Papua.
Pertanyaannya adalah: Mengapa sebagai aktivis Mena Robert Satya tidak memakai paradigma terbalik dalam menyikapi perilaku seks laki-laki lokal itu?
Menurut Mena Robert Satya, di Papua seks bebas adalah kebiasaan buruk yang bahkan sampai tahap sistematis dan tak terkendali.
‘Seks bebas’ bukan kebiasaan buruk dikatakan buruk jika dilihat dari pandangan norma, moral dan agama. Kalau dari aspek seks maka ‘seks bebas’ tidak kebiasaan buruk kalu dilakukan dengan aman.
Nah, persoalan muncul di sini. ‘Seks bebas’ dilihat dari sudut pandang norma, moral dan agama, tapi tidak ada upaya yang konkret yang dilakukan dengan pijakan norma, moral dan agama untuk menanggulangi ‘perilaku buruk’ itu.
Kondisi kian runyam karena Mena Robert Satya sendiri justru mengabaikan perilaku sadar laki-laki Papua terkait dengan seks yang tidak aman (al. dilakukan tanpa kondom dengan PSK). Dia malah mengatakan: "AIDS di Papua sudah seperti genosida. Jadi butuh tindakan nyata oleh semua pihak baik pemerintah, gereja, dan masyarakat agar tidak makin parah."
Persoalan baru muncul lagi: Apa tindakan nyata yang dia harapkan dari pemerintah, gereja, dan masyarakat terkait dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS dengan faktor risiko ‘seks bebas’? Sayang, dalam berita tidak ada jawabannya.
Pada sebuah pelatihan wartawan di Jayapura (2005) saya dan dr Zulazmi Mamdy, MPH (staf pengajar di FKM UI) mengajak wartawan untuk membuka wawasan agar lebih luas memandang epidemi HIV/AIDS. Kita mengatakan bahwa kalau semua orang Batak, Jawa, Sunda, Bugis, Manado, Ambon, dll. yang ada di Tanah Pupua mati karena penyakit terkait AIDS, nun di Tanah Batak, di Pulau Jawa, di Pulau Sulawesi dan di Ambon masih banyak orang Batak, Jawa, Sunda, Bugis, Manado, Ambon. Tapi, kalau satu suku di Tanah Papua mati semua karena terkait AIDS, maka ya memang tinggal kenangan karena tidak semua suku yang ada di Papua mempunyai sanak saudara di luar Tanah Papua.
Hal itu pun dipahami oleh Mena Robert Satya: "Jika tidak (maksudnya penanggulangan HIV/AIDS-pen.), maka diperkirakan 20 tahun kemudian kita hanya mendengar bahwa di atas tanah Papua pernah ada bangsa kulit hitam yang hidup dan akhirnya Papua hanya menjadi museum."
Sayang, wartawan tidak menangkap makna yang kami sampaikan. Sebagian peserta malah lagi-lagi menyalahan Jakarta: ”Ada buah merah yang bisa mengobati AIDS, tapi tidak dikembangkan pemerintah!”
Saya dan dr Zul terpaksa putar otak untuk menjawab pernyataan wartawan itu. Syukurlah diskusi kami menghasilan jawaban yang realistis karena berpijak pada empiris.
”Kalau memang buah merah bisa mengobati AIDS, tentulah tidak akan pernah ada penduduk yang mengidap HIV/AIDS di Tanah Papua.”
Soalnya, buah merah sebagai sayur yang dimakan setiap hari sejak bayi. Sejak kami menyampaiakan realitas itu, maka dalam beberapa pelatihan berikutnya tidak pernah lagi ditanya soal buah merah. Dr Suriadi Gunawan, MPH, yang pernah menjabat Kanwil Kesehatan di Papua mengatakan bahwa penelitian kalangan ahli sudah lama dilakukan tehadap buah merah. Hasilnya? ”Ya, tidak beda dengan tomat dan wortel. Ada antioksidan.”
Celakanya, ada saja yang memanfaatkan ’kesahajaan’ pribumi Papua terkait dengan buah merah. Sari buah merah diproduksi secara besar-besaran.
Seorang Odha (Orang dengan HIV/AIDS) ditampilkan di MetroTV sebagai ’model’ yang disebutkan berhasil mengatasi HIV/AIDS dengan sari buah merah. Odha itu sebelumnya meninum obat antiretroviral (ARV). Karena dia jadi model iklan sari buah merah, maka obat ARV diganti dengan sari buah merah. Apa yang terjadi? Ya, Odah itu ’koit’. Sayang, MetroTV dan Harian ”Media Indonesia’ yang menampilkan Odha tadi tidak memberitakan kematian Odha itu dengan berita yang berimbang.
Terlepas dari mencari ’kambing hitam’ dana penyangkalan: Apakah masih ada kesempatan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di Tanah Pupua?
Puji Tuhan. Ya, adalah. Kalau epidemi HIV sebagai realitas sosial ditanggapi dengan nalar yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.
Celakanya, semua peraturan daerah (perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Tanah Papua mengabaikan lokasi pelacuran. Lihat saja di Perda AIDS Prov Papua, tempat yang menyediakan transaksi seks justru disebut sebagai ’tempat berisiko terjadi penularan HIV’. Ini kan eufemisme yang mengaburkan makna (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/06/eufemisme-dalam-perda-aids-prov-papua/ ).
Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS 10.522 di Prov Papua tentulah bukan masalah sepele karena penduduk yang tidak terdeteksi terus menyebarkan HIV tanpa mereka sadari.
Maka, tidak ada pilihan lain bagi Pemprov Papua selain melakukan intervensi agar tidak ada lagi laki-laki dewasa Papua yang sanggama tanpa kondom dengan PSK.
Caranya? Ya, silakan lihat pengalaman Thailand! ***[Syaiful W. Harahap]***