Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Di Timor Tengah Utara (TTU), NTT, Menanggulangi HIV/AIDS dengan Tes HIV Pejabat dan PNS

17 Maret 2012   11:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:55 272 0

Penderita HIV/Aids meningkat, Bupati dan Wakil akan tes darah.” Ini judul berita di berita2.com (4/3-2012).

Judul ini menarik karena tes darah itu dikaitkan dengan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Timor Tengah Utara (TTU), Prov NTT. Secara tidak langsung pernyataan itu pun terkait dengan perilaku pejabat yang berisiko tertular HIV, yaitu melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Dikabarkan kasus kumulatif HIV/AIDS di TTU mencapai 23. Karena ‘sebetulnya masih banyak namun belum terdeteksi’, maka untuk mengetahui kasus yang belum terdeteksi harus dilakukan tes darah. Yang benar adalah tes HIV karena tes darah tidak hanya untuk mencari antibody HIV.

Aloisius Kobes, S.Sos, Wakil Bupati TTU, mengatakan: ”Bupati dan Wakil Bupati akan tes darah, menyusul para pimpinan SKPD serta staf PNS, hal ini dilakukan untuk mengetahui siapa yang mengidap penyakit itu.”

Pernyataan Kobes ini sudah menyamaratakan perilaku semua PNS di TTU. Ini tidak etis. Maka, yang perlu dites adalah PNS yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yang diketahui melalui konseling (bimbingan).

Soalnya, kalau reagent yang dipakai untuk tes HIV kelak adalah ELISA, maka ada risiko masa jendela. Artinya, kalau PNS yang dites baru tertular HIV di bawah tiga bulan maka hasil tes ada dua kemungkinan (Lihat Gambar).

Pertama, negatif palsu yaitu HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV. Jika ini yang terjadi tentulah akan membawa petaka karena mereka menganggap dirinya tidak mengidap HIV.

Kedua, positif palsu yaitu HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif. Reagent tsb. mendeteksi virus lain. Ini pun amat menyakitkan karena PSN yang dinyatakan positif palsu akan berhadapan dengan masalah sosial, seperti stigma (cap buruk), diskriminasi (perbedaan perlakuan), dan bisa saja pemecatan.

Bagaimana jadinya kalau kelak Hasil tes bupati dan wakil bupati menunjukkan positif palsu?

Maka, untuk itulah sebelum tes dilakukan dulu konseling agar bisa diketahui perilaku PNS yang akan tes HIV. Kalau ada PNS yang perilakunya tidak berisiko maka tidak perlu tes HIV.

Disebutkan: ” .... penyebaran HIV-AIDS kebanyakan tertular dari warga maupun pemuda yang tinggal dekat daerah perbatasan Atambua-Belu, terutama tukang ojek yang sering jajan di sana, akibat perilaku ‘jajan’ sembarangan itu, berakibat istri maupun anak-anak bisa ikut tetular.”

Nah, yang perlu dilakukan adalah membuat program yang bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada pemuda dan tukang ojek yang ’jajan’. Langkah konkret adalah keharusan memakai kondom jika mereka ’jajan’ dengan PSK.

Disebutkan pula: ”Angka jumlah penderita HIV-AIDS ini akan terus bertambah, lantaran prilaku seks bebas tidak dapat dibendung lagi, apalagi mereka yang sudah mengidap namun belum terdeteksi, terus melakukan ‘jajan’ keliling.”

Karena pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif yaitu kasus lama ditambah kasus baru, maka angka jumlah penderita HIV/AIDS akan terus bertambah dan tidak akan pernah turun atau berkurang.

Yang diperlukan adalah langkah atau cara yang konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK di wilayah TTU atau di luar wilayah TTU.

Tanpa langkah yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di TTU akan terus terjadi. Tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun