Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

AIDS di Kota Banjarmasin, Kalsel, Sudah Merisaukan

17 Maret 2012   00:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:56 676 0

* Ditunggu peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS yang tidak hanya copy-pate

Serangan Aids di kota Banjarmasin terus meningkat dan itu sungguh merisaukan hingga memerlukan kewaspadaan kita semua untuk menanggulanginya." Ini pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kota  Banjarmasin, drg Hj Diah R Praswasti, yang dikutip wartawan “ANTARA” (AIDS di Banjarmasin Capai 33 Kasus, www.beritasatu.com, 22/2-2012).

Ada beberapa hal yang tersembunyi di balik pernyataan tsb.

Pertama, AIDS tidak menerang. AIDS juga bukan penyakit. AIDS disebut sebagai penyakit hanya sebagai terminologi yang mengacu pada suatu kondisi ketika seseorang yang tertular HIV pada rentang waktu antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV.Kondisi AIDS ditandai dengan berbagai penyakit yang sulit sembuh, seperti ruam, sariawan di rongga mulut, diare berkepanjangan, TBC, dll.

Kedua, HIV adalah virus yang menyebabkan kondisi AIDS. HIV juga tidak menyerang tapi menular dari yang sudah mengidap HIV kepada orang lain melalui cara-cara yang sangat khas, seperti hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Ketiga, tidak semua orang risau karena kasus HIV/AIDS bertambah karena tidak semua orang berperilaku yang berisiko tertular HIV. Persoalannya adalah banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang konkret sehingga mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Karena cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif, maka angka kasus HIV/AIDS akan terus bertambah karena kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya. Maka, biar pun ada yang meninggal angka kasus tidak akan pernah turun atau berkurang.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang sudah terdeteksi oleh dinas kesehatan mencapai 85 yang terdiri atas 52 HIV dan 33 AIDS.

Angka itu tidak menggambarkan kasus ril di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi (85) hanyalah sebagian kecil yang digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan laut (Lihat Gambar).

Pernyataan ini tidak akurat karena AIDS bukan penyakit atau virus. Yang ’merusak’ sistem kekebalan adalah virus yaitu HIV.

Disebutkan oleh Diah: ” .... yang cukup merisaukan karena penyakit yang menakutkan tersebut sudah menjalar ke kalangan usia remaja yaitu pelajar, tambahnya lagi tanpa merinci pelajar mana yang terkena penyakit tersebut.”

Pelajar yang berada pada usia remaja tidak memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara pencegahan HIV sehingga mereka berisiko tertular HIV. Di usia remaja dorongan hasrat seksual (libido) sangat tinggi sehingga mereka memerlukan penyaluran. Dorongan untuk menyalurkan harat seksual tidak bisa diganti (disubstitusi) dengan kegiatan lain di luar seks. Bisa dengan onani atau masturbasi, ada pula yang melakunnya dengan pacar atau pekerja seks. Sayang, remaja tidak diberitahu cara menyalurkan dorongan seksual yang aman.

Ketika remaja melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks, maka mereka berada pada risiko tinggi tertular HIV. Celakanya, mereka tidak diberitahu cara-cara melindungi diri agar tidak tertular HIV melalui hubungan seksual dengan pekerja seks.

Begitu pula ketika remaja menyalahgunakan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran, ada risiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS.

Disebutkan: ”Mereka yang terbanyak terjangkit penyakit yang pernah menghebohkan dunia tersebut, adalah kelompok yang memang berisiko tinggi yaitu Pekerja Seks Komersial (PSK).” Tidak jelas apakah ini kutipan dari narasumber atau opini wartawan karena kesimpulan tersebut tidak objektif karena yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK adalah laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang.

Pernyataan pun berlanjut: ”Selain itu (maksudnya PSK-pen.) mereka yang berperilaku seks menyimpang seperti homoseks, lesbian, serta perilaku bebas lainnya di samping jarum suntik, obat-obatan terlarang, dan akibat lainnya.”

Lagi-lagi kesimpulan wartawan ini merupakan opini. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi (saat) hubungan seksual (salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom), bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, pranikah, zina, melacur, ’jajan’, selingkuh, homoseksual, perilaku menyimpang, ’seks bebas’, dll.).

Belum ada laporan kasus penularan HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) lesbian. Karena hubungan seksual pada lesbian tidak ada penetrasi, maka risiko tidak ada risiko penularan HIV.

Dikabarkan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Banjarmasin terus dilakukan. Pertanyaannya adalah: Apakah ada langkah atau cara yang konkret dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Kota Banjarmasin?

Soalnya, di Kota Banjarmasin dikabarkan ada 15 lokasi pelacuran. Langkah Dinkes Kota Banjarmasin untuk mencegah penularan HIV di lokasi itu adalah menyediakan outlet kondom.

Pertanyaannya: Bagaimana cara yang dilakukan Dinkes Kota Banjarmasin untuk memantau pemakaian kondom pada laki-laki ’hidung belang’ ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK?

Maka, salah satu aspek yang harus ada dalam peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS yang sedang digodok pemerintah kota dan DPRD adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Artinya, dalam perda itu harus ada intervensi berupa langkah konkret untuk mencegah penularan HIV dari laki-laki ke PSK atau sebaliknya. Juga harus ada cara yang konkret mencegah penularan dari suami ke istri, serta dari istri ke bayi yang dikandungnya kelak.

Jika kelak tidak ada pasal-pasal yang konkret dalam perda itu, maka perda itu sama saja dengan 56 perda yang sudah ada. Semuanya hanya copy-paste. ***[Syaiful W. Harahap]***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun