Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Di Medan Gay Disamakan dengan Lelaki Suka (Seks dengan) Lelaki

12 Maret 2012   07:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:11 5848 0

* Kesimpulan wartawan menyimpang dari fakta terkait pengertian LSL

“Pertumbuhan penyakit seks, khusunya HIV/AIDS, kembali meningkat di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut). Ada dugaan, itu disebabkan banyaknya seks menyimpang, yang menjadi pemicu kuat berkembangnya penyakit ini.” Ini lead berita “1.699 Gay Tersebar Diberbagai Kecamatan, Pemicu HIV/AIDS. Gawat! Medan Bakal Jadi Kota Gay” di lensaindonesia.com (10/3-2012).

Pernyataan berupa kesimpulan pada lead berita itu merupakan fakta opini. Ini menyimpang dari kaidah jurnalistik yang mengutamakan fakta empiris.

Pertama, tidak ada penyakit seks. Yang ada adalah infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah. Misalnya, sifilis, GO, klamidia, herpes, virus hepatitis B, dll. serta HIV. Bahkan, ada IMS yang infeksinya sama sekali tidak terjadi di alat kelamin, yaitu hepatitis B dan HIV (infeksi terjadi di darah).

Kedua, dalam konteks seks sebagai dorongan biologis tidak ada istilah menyimpang atau penyimpangan dalam menyalurkan hasrat seks. Menyimpang atau penyimpangan merupakan jargon moral. Terkait dengan penularan HIV tidak ada kaitan langsung antara penyimpangan seksual denan penularan HIV.

Ketiga, yang menyebarkan HIV, khususnya melalui hubungan seksual, adalah laki-laki ’hidung belang’ yang dalam kehidpan sehari-hari bisa sebagai seorang suami.

Keempat, yang menularkan IMS dan HIV kepada pekerja seks dan waria justru laki-laki heteroseks yang bisa saja dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang suami.

Empat hal itu luput dari perhatian wartawan yang menulis berita ini karena peliputan berpijak pada moralitas diri wartawan tsb.

Judul berita itu saja sudah tidak realistis. Bagaimana wartawan atau narasumber berita itu mengetahui dengan pasti jumlah gay?

Gay adalah orientasi seksual yaitu homoseksual pada laki-laki dan lesbian pada perempuan. Hanya segelintir laki-laki gay yang berani membuka diri ke publik.

Berdasarkan data itu wartawan membuat pernyataan ini: ”Pasalnya, pertumbuhan kaum gay (laki-laki suka laki-laki) belakangan semakin pesat.”

Memang, gay adalah orientasi seks pada laki-laki yang suka pada laki-laki, tapi mereka tidak mempunyai pasangan lawan jenis (perempuan). Ada kesan laki-laki heteroseks memilih waria sebagai pasangan selain istri (Lihat: Lebih Tuntas dengan Waria, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/01/19/PRK/mbm.20090119.PRK129268.id.html).

Ini pernyataan: Marsudi Budi Utomo, pengelola program KPA Kota Medan: “Komunitas ini (Gay-red) termasuk tertutup. Namun, ketika dipetakan jumlahnya 1.699 orang dengan profesi beraneka ragam. Banyak juga yang memiliki keluarga (anak-istri), namun memiliki pasangan gay juga.”

Jika disimak pernyataan Marsudi itu tentulah yang dimaksud bukan gay tapi LSL yaitu laki-laki heteroseks yang juga suka laki-laki. Mereka bukan gay tapi lebih tepat disebut biseksual (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/19/fenomena-laki-laki-suka-seks-laki-laki-dalam-epidemi-aids/).

Bahkan, waria itu pun adalah laki-laki. Studi di Surabaya, Jawa Timur, menunjukkan seorang laki-laki heteroseks justru menjadi ’perempuan’ ketika melakukan seks anal dengan waria. Artinya, laki-laki heteroseks itulah yang dianal oleh waria.

Wartawan pun menyimpulkan: ”Perilaku seks menyimpang dari kaum gay dan waria ini diduga kuat menjadi pemicu berkembangnya penyakit HIV/AIDS.”

Ini menunjukkan pengetahuan wartawan tentang HIV/AIDS tidak komprehensif. Gay adalah komunitas yang khas dan tidak menjalin ’cinta’ ke luar komunitasnya. Nah, penyebaran HIV hanya terjadi di komunitas gay.

Sedangkan waria adalah komunitas laki-laki yang penampilannya seperti perempuan. Yang memakai jasa seks waria adalah laki-laki heteroseks. Maka, yang menularkan HIV kepada waria adalah laki-laki heteroseks yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami.

Disebutkan dr Yulia Maryani, mengatakan bahwa potensi penularan menyakit HIV/AIDS dari kaum ini cukup tinggi karena hubungan seksual dilakukan secara seks anal.

Tapi, ada fakta yang luput dari pernyataan dr Yulia ini. Hubungan seksual dalam bentuk seks anal hanya terjadi di komunitas gay. Maka, penyebaran HIV terjadi pula hanya di komunitas gay.

Yang menjadi penyebar HIV/AIDS di masyarakat adalah laki-laki heteroseks yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, serta waria dan perempuan pelaku kawin-cerai.

Sebagian dari laki-laki heteroseks juga ada yang menyukai laki-laki. Mereka disebut biseksual yang juga melakukan seks anal dengan laki-laki lain, bisa saja laki-laki heteroseks juga.

Langkah yang perlu dilakukan oleh Pemko Medan melalui Dinas Kesehatan Kota Medan dan KPA Kota Medan adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual dengan pekerja seks.

Programnya sudah berjalan sukses di Thailand yaitu ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.

Sayang, Pemko Medan sama sekali tidak mempunyai program pencegahan di hulu. Hal itu dapat dilihat di Perda AIDS Kota Medan yang hanya berisi pasal-pasal normatif (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/02/17/pasal-pasal-normatif-penanggulangan-hivaids-di-perda-aids-kota-medan/).

Bahkan, dikabarkan ada 155 pekerja seks di Kota Medan yang mengidap HIV tapi tidak ada langkah konkret untuk mencegah penularan HIV dari laki-laki ke pekerja seks dan sebaliknya (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/11/di-kota-medan-155-pekerja-seks-mengidap-hivaids/).

Pemko Medan tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’ karena penyebaran HIV/AIDS terus terjadi. ***[Syaiful W. Harahap]***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun