* Pemerintah menunggu penduduk tertular HIV dulu (di hulu) baru dikendalikan
“Pemerintah serius menangani masalah HIV/AIDS. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya jumlah orang yang diperiksa, seiring dengan meningkatnya jumlah layanan Konseling dan Tes HIV di Indonesia.” Ini lead berita “Pengendalian HIV-AIDS di Indonesia” yang disiarkan oleh Pengendalian HIV-AIDS di Indonesia, Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI (www.depkes.go.id, 3/3-2012).
Dari pernyataan pada lead berita itu menunjukkan pengendalian HIV/AIDS di Indonesia dilakukan di hilir. Disebutkan bahwa keseriusan pemerintah dibuktikan dengan peningkatan jumlah penduduk yang diperiksa di klinik-klinik VCT (Lihat: http://www.kompasiana.com/search?q=Penanggulangan+di+hilir&pg=search&cx=014314690270547682587%3A2a02hxzrgqc&cof=FORID%3A11&ie=UTF-8&button=).
Institusi yang membawa orang-orang untuk menjalani tes HIV ke klinik VCT mendapat imbalan. Ini mendorong institusi yang terkait dengan HIV/AIDS memobilisasi orang-orang pada komunitas tertentu ke klinik VCT.Donor yang memberikan bantuan dana mewajibkan angka tertentu berupa jumlah orang yang datang ke klinik VCT.
Bukti lain yang menunjukkan bahwa pengendalian penyebaran HIV/AIDS di Indonesia dilakukan di hilir adalah program pertama dari tujuh program yang dicangkan pemerintah untuk mencapai ‘Indonesia Bebas Insiden Infeksi HIV Baru pada Tahun 2015’. Ini menunjukkan pemerintah membiarkan istri (baca: perempuan) tertular HIV dulu baru ditangani melalui program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/04/mencapai-%E2%80%98indonesia-bebas-insiden-infeksi-hiv-baru-pada-tahun-2015%E2%80%99-dengan-penanggulangan-di-hilir/).
Tapi, tidak ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah untuk mencegah penularan HIV kepada perempuan, terutama istri atau ibu rumah tangga. Selain itu tidak ada pula mekanisme untuk mendeteksi perempuan yang mengidap HIV secara sistematis. Bandingkan dengan Malaysia yang menerapkan survailans tes HIV rutin terhadap perempuan hamil sehingga program pencegahan dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa efektif.
Sayang, perda yangterinspirasi dari program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir itu ’diadopsi’ dengan setengah hati. Perda dirancang dengan pijakan moral sehingga pasal-pasal yang ada pun hanya bersifat normatif sehingga tidak menyentuh akar persoalan. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa dicegah dengan cara-cara yang realistis.
Sembilan dari sepuluh provinsi dengan jumlah kasus AIDS terbanyak pada tahun 2011 sudah mempunyai Perda AIDS, sedangkan satu lagi berupa Pergub AIDS (Jawa Barat).Sepuluh daerah itu adalah: (1) DKI Jakarta (1.122), (2) Papua (601), (3) Jawa Timur (520), (4) Jawa Tengah (412), (5) Bali (370), (6) Jawa Barat (211), (7) Kalimantan Barat (150), (8) Sulawesi Selatan (129), (9) Riau (99), dan (10) Nusa Tenggara Barat (77).
Disebutkan oleh Menkes: “Pemerintah telah merespon Epidemi AIDS sejak tahun 1986, sebelum kasus AIDS ditemukan di Indonesia.”
Tanpa mengurasi rasa hormat terhadap upaya pemerintah, kita bias menyimak pertanyaan-pernyataan pejabat, pemuka agama dan tokoh masyarakat, termasuk menteri kesehatan dan pejabat di jarajan departemen kesehatan terkait dengan HIV/AIDS di awal-awal epidemi. Pernyataan-pernyataan menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Pernyataan Menkes Suwardjono Suryaningrat ini, misalnya: Yang Taat Beragama, Jauh Dari AIDS. Indonesia bukanlah tempatnya penyakit AIDS asal seluruh masyarakatnya tetap berpegang tegus pada ajaran agama yang dipeluknya ataupun norma-norma susila dalam kehidupan sehari-hari. (Merdeka, 25/9-1985).
Atau pernyataan Kepala BKKBN Pusat, dr Haryono Suyono, ini: lembaga perkawinan merupakan benteng yang kuat terhadap menjalarnya penyakit aids di Indonesia. (Media Indonesia, 3/12-1988). Fakta menunjukkan kasus HIV/AIDS sudah terdeteksi pada 1.970 istri. Mereka ini tertular dalam lembaga perkawinan yang sah seperti diatur UU No 1/1974 tentang Perkawinan.
Media massa pun ikut pula menyebarluaskan informasi yang tidak akurat. Lihat saja Tajuk Rencana Harian “Pikiran Rakyat” Bandung ini: Kita perlu menyatakan perang terhadap bahaya AIDS. Kepentingan pertama adalah sikap moral kita sendiri untuk menjauhi sumber-sumbernya, yaitu menjauhi setiap perilaku seksual yang tidak normal (27/11-1991). Hubungan seksual suami-istri dalam ikatan pernikahan yang sah tentulah normal, tapi, koq, ya bisa terjadi penularan HIV? Nah, pernyataan inilah salah satu bentuk informasi yang menyesatkan.
Ini juga pernyataan yang mengandung mitos: “Untuk menghindari ber-kembangnya penyakit AIDS, para WTS harus berani mengambil sikap terhadap pe-ngunjung. Kendari menerima imbalan besar tapi harus berani menolak “permainan” seks yang menyimpang dari semestinya.” Ini disampaikan oleh (waktu itu) Dirjen PPMPLP, Hadi Marjanto A. (Harian “Kompas”, 31/5-1993).
Ketika dunia menyosialisasikan kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, di Indonesia justru terjadi gelombang penolakan. Lihat saja pernyataan Menteri Kesehatan, Prof Dr Sujudi, ini: “Departemen Kesehatan tidak akan mengkampanyekan kondom untuk penanggulangan AIDS di Indonesia.” (Harian “Suara Karya”, 3/12-1993).
Bahkan Mantan Menteri Kesehatan, Dr Adhyatma MPH,membuat akronim sendiri tentang AIDS, yakni “Akibat Itunya Dipakai Sembarangan”. (Harian “Suara Pembaruan”, 7/11-1997)
Ada pula ‘pakar’, yaitu Prof. Dr. Boyke Dian Nugraha, SOG, yang mengatakan: “Seseorang yang terkena Aids, dalam 5 tahun wajahnya akan berubah mirip monster. Tidak perduli apakah wania itu cantik dan lelaki ganteng. Semuanya akan berubah menjadi monster.”(Harian “Bali Post”, 30/5-2000).
Pernyataan-pernyataan itulah kemudian yang membuat penanggulangan HIV/AIDS tidak konkret karena semua dibawa ke ranah moral.
Selama penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia hanya dilakukan di hilir, maka selama itu pula penularan HIV di hulu yaitu insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Dikabarkan di Indonesia ada 10 juta laki-laki pelanggan pekerja seks langsung (pekerja seks di lokasi, jalanan, dll.) dengan tingkat penggunaan kondom yang sangat rendah. Dari jumlah itu 60 persen adalah laki-laki yang beristri. Laki-laki inilah kelak yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Jumlah itu belum termasuk laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks tidak langsung (cewek kafe, anak sekolah, mahasiswi, dll.). Di Sulawesi Selatan dan Denpasar, Bali, pekerja seks tidak langsung menjadi faktor pendorong penyebaran HIV (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/ dan http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/26/andil-psk-tidak-langsung-dalam-penyebaran-hiv-di-denpasar/).
Ini pernyataan Menkes: “Pengendalian HIV-AIDS dan IMS di Indonesia diperkuat dengan Program Aku Bangga Aku Tahu. Suatu kampanye pencegahan penyebaran HIV dan AIDS yang ditujukan kepada kaum muda usia 15-24 tahun. Program ini bertujuan meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif tentang HIV dan AIDS diantara kaum muda agar mereka dapat menjaga dirinya tidak tertular.”
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah cara-cara penularan dan pencegahan dalam program ’Aku Bangga Aku Tahu’ disampaikan secara konkret?
Kalau jawabannya TIDAK, maka remaja akan tetap berada pada situasi yang berisko tertular HIV.
Lagi pula, data menunjukkan yang menjadi mata rantai penyebaran HIV adalah laki-laki dewasa dengan bukti kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga.
Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah pemerintah mempunyai program yang konkret untuk mencegah penularan HIV kepada laki-laki dewasa, terutama melalui hubungan seksual dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks?
Dalam perda-perda AIDS pun sama sekali tidak ada pasal yang konkret untuk mencegah penularan HIV dari laki-laki ’hidung belang’ kepada pekerja seks dan sebaliknya.
Celakanya, pemerintah mengasumsikan di Indonesia tidak ada pelacuran karena tidak ada lokalisasi pelacuran ’resmi’ seperti di zaman Orba. Kebanggaan semu tentang ’daerah bebas pelacuran’ kian kental di daerah yang mempunyai perda anti pelacuran dan anti maksiat. Padahal, fakta menunjukkan (praktek) pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Kasus-kasus IMS dan HIV pada laki-laki serta pekerja seks membuktikan praktek pelacuran terjadi di mana-mana.
Maka, penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dilakukan pada ranah jargon. Sejarah akan mencatat apa yang akan terjadi lima sampai sepuluh tahun ke depan. Sayang, ketika itu kelak upaya penanggulangan sudah terlambat karena sudah banyak penduduk yang masuk masa AIDS dengan penyakit infeksi oportunistik.
Kondisi itu terjadi di Thailand di awal tahun 2000-an. Negeri ‘Gajah Putih’ itu beruntug karena bhiksu menampung Odha di vihara.
Apakah masjid, pesantren, gereja, pura dan vihara mau menampung Odha kelak? Lagi-lagi sejarah yang akan mencatatnya. ***[Syaiful W. Harahap]***