Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

’Nol Infeksi HIV Baru’ Mimpi Penanggulangan HIV/AIDS di Bali

18 Februari 2012   06:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:30 266 0

* Program penanggulangan HIV/AIDS yang tidak realistis di Indonesia

“Kabupaten Badung dan Kota Denpasar direncanakan menjadi proyek percontohan dalam mencapai program nol kasus baru HIV di Pulau Dewata.” (Dua daerah di Bali percontohan nol HIV, www.waspada.co.id, 16/2-2012).

Membaca pernyataan di atas terasa berada di alam mimpi karena untuk mencapai kondisi ‘nol kasus baru HIV’ adalah hal yang mustahil. Program itu akan dijalankan di Kab Badung dan Kota Denpasar.

’Pulau Dewata’ sendiri dikhawatirkan bisa menjadi ’Pulau AIDS’ (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/25/selamatkan-p-bali-agar-tidak-jadi-%E2%80%98pulau-aids%E2%80%99/). Kekhawatiran itu muncul karena penanggulangan HIV/AIDS di Pulau Bali yang tidak konkret (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/08/27/menanti-penanggulangan-aids-yang-konkret-di-pulau-bali/).

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Badung dilaporkan 744 terdiri atas 380 HIV dan 384 AIDS dengan 70 kematian. Sedangkan di Kota Denpasar tercatat 1.284. Angka-angka ini hanya sebagian dari kasus yang ada di masyarakat karena tidak ada cara yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanyalah bagian kecil (digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut) dari kasus yang adadi masyarakat (digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut).

Kondisi ril pertama, di masyarakat Kab Badung dan Kota Denpasar ada penduduk yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka ini bisa laki-laki atau perempuan. Laki-laki akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Yang perempuan akan menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya secara vertikal (Lihat Gambar 1).

(b)Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di wilayah Kab Badung/Kota Denpasar, di luar Kab Badung/Kota Denpasar atau di luar negeri.

(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kab Badung/Kota Denpasar, di luar Kab Badung/Kota Denpasar atau di luar negeri.

Pertanyaannya adalah: Apakah Pemkab Badung dan Pemkot Denpasar bisa melakukan intervensi terhadap kondisi riil pertama dan kondisi ril kedua?

Kalau jawabannya BISA, maka program ’nol infeksi HIV baru’ di Kab Badung dan Kota Denpasar akan terwujud.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka program ’nol infeksi HIV baru’ di Kab Badung dan Kota Denpasar hanya mimpi. Ibarat punguk rindukan bulan.

Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Made Suprapta, pemilihan dua daerah itu berdasarkan pertimbangan karena sebagian besar unit pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang ada di Bali terkonsentrasi di Kab Badung dan Kota Denpasar. Selain itu, perhatian para pemimpin di dua kawasan tersebut selama ini cukup besar terhadap penanggulangan HIV/AIDS.

Memang, di Pemkab Badung sudah menerbitkan peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS, tapi perda itu hanya berisi pasal-pasal normatif yang sama sekali tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/03/perda-aids-kab-badung-bali-tidak-ada-mekanisme-pemantauan-pemakaian-kondom/).

Kalau saja KPA Bali melihat fakta di dunia terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS, maka yang bisa terjadibukan ’nol infeksi HIV baru’, tapi menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual. Ini fakta.

Sayang, KPA Bali rupanya memilih bermimpi daripada mewujudkan fakta.

Upaya untuk memutus mata rantai penularan HIV dari laki-laki lokal ke pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung di dua daerah itu juga tidak ada. Lihat saja sikap terhadap kafe (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/07/28/di-bali-kafe-%E2%80%98menyebarkan%E2%80%99-hivaids/).

Thailand sudah membuktikan penuruan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa yaitu melalui program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran atau rumah bordir.

Celakanya, program itu mustahil dilakukan di Kab Badung dan Kota Denpasar karena pemerintah di dua daerah itu tidak memberikan peluang untuk meregulasi pelacuran yaitu dalam bentuk melokalisir pelacuran. Ide untuk melokalisir pelacuran di Denpasar beberapa tahun yang lalu menuai kritik (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/08/19/pelacuran-diregulasi-bukan-dilegalisasi/).

Apakah di Kab Badung dan Kota Denpasar tidak ada (praktek) pelacuran?

Tentu saja ada. Tapi, karena negeri ini selalu ingin menampilkan wajah moral maka fakta terkait dengan (praktek) pelacuran sebagai realitas sosial pun diabaikan.

Pemprov Bali memang menutup sebuah lokalisasi pelacuran di Kota Denpasar, tapi ’wisma-wisma’ yang menjadi tempat (praktek) pelacuran tidak bisa ditutup karena terkait dengan masalah sosial. Dikabarkan pemilik wisma-wisma itu mempunyai kedudukan dalam tatanan masyarakat.

Disebutkan ada tujuh prioritas kegiatan, al. program pencegahan melalui hubungan seksual (PMTS paripurna), dan penyelenggaraan program pencegahan dari ibu ke bayi (PMTCT)

Sampai hari ini program pencegahan melalui hubungan seksual di Indonesia tidak realistis. Tidak ada sistem yang konkret untuk menjalankan program itu. Program ini mengedepkan kondom. Sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV di Indonesia ditentang habis-habisan. Selain itu tidak ada pula mekanisme yang konkret dalam pemantauan pemakaian kondom, terutama di tempat-tempat pelacuran.

Sedangkan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya pun tidak berjalan mulus karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.

Daripada membuat program di awang-awang akan jauh lebih baik kalau KPA Bali menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dengan membuat regulasi yaitu melokalisir pelacuran.

Sayang, program penanggulangan HIV/AIDS di negeri ini hanya mengedepankan moral yang justru mengabaikan fakta. Kita tinggal menunggu waktu untuk ‘memanen AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun