Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

116 Balita di Papua Mengidap HIV/AIDS

16 Februari 2012   12:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:34 420 0

* Dinkes Prov Papua tidak punya program konkret mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat

Ketika ada bayi atau balita yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS persoalan tidak menukik ke realitas sosial terkait dengan kasus tersebut. Berita di media massa yang bersumber dari berbagai kalangan mengesankan kesalahan ada pada ibu anak-anak yang terdeteksi HIV itu.

Lihat saja berita ”116 Anak Balita Papua Terinveksi HIV/AIDS” (kompas.com, 14/2-2012). Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Yosef Rinta, mengatakan: "Kebijakan pemberian ARV (obat anti retroviral, yaitu obat yang menekan laju penggandaan HIV di dalam darah-pen.) sudah jadi kebijakan nasional, dan di Papua siapa pun orang yang terinfeksi akan diberi ARV karena itu bagian dari pencegahan penyebaran HIV/AIDS."

Agaknya, Yosef lupa kalau selama ini kebanyakan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi bukan karena kesadaran mereka melakukan tes HIV, tapi karena mereka sakit atau hasil penjangkuan institusi, seperti LSM.

Maka, yang perlu dijelaskan oleh Yosef adalah upaya atau langkah-langkah konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Soalnya, dari estimasi kasus HIV/AIDS di Papua yang mencapai 24.355 (prevalensi 2,4) baru terdeteksi 10.725 atau 44,04 persen. Dari jumlah yang terdeteksi itu ada 116 balita.

HIV/AIDS pada balita itu menunjukkan perilaku (seksual) ayah mereka yaitu pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) atau perempuan pelaku kawin cerai.

Kalau pun Pemprov Papua, dalam hal ini Dinkes Prov Papua, mempunyai langkah konkret mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat itu adalah mendapatkan kasus yang sudah ada (hilir). Artinya, insiden penularan HIV baru (hulu) terus terjadi.

Celakanya, Dinkes Prov Papua juga tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hububungan seksual dengan PSK di lokalisasi atau di luar lokalisasi. Pemprov Papua sendiri tidak mengakui kegiatan pelacuran secara eksplisit karena dalam Perda AIDS Papua tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran tapi ’tempat-tempat yang berisiko terjadi penularan HIV’. Ini adalah bentuk kemunafikan dan penyangkalan yang berujung pada bencana yaitu penyebaran HIV.

Perda AIDS Prov Papua pun sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Perda itu justru mengumbar kekuasaan yang bermuara pada perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), yaitu memulangkan PSK yang terdeteksi HIV (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/06/eufemisme-dalam-perda-aids-prov-papua/).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun