Program penanggulangan HIV/AIDS secara nasional menyasar populasi kunci yaitu kelompok populasi yang menentukan keberhasilan program pencegahan dan pengobatan, sehingga mereka perlu ikut aktif berperan dalam penanggulangan HIV dan AIDS, baik bagi dirinya maupun orang lain. Populasi kunci adalah (1) Orang-orang berisiko tertular atau rawan tertular karena perilaku seksual berisiko yang tidak terlindung, bertukar alat suntik tidak steril; (2) Orang-orang yang rentan adalah orang yang karena pekerjaan, lingkungannya rentan terhadap penularan HIV, seperti buruh migran, pengungsi dan kalangan muda berisiko; dan (3) ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV (Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010 – 2014, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2010).
Dengan 26.483 kasus AIDS yang dilaporkan Kemenkes sampai 30 Juni 2011 tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mendeteksi banyak kasus HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/27/perbandingan-kasus-aids-antara-indonesia-dan-malaysia/).
Biar pun penyebaran HIV/AIDS secara epidemiologi erat kaitannya dengan fenomena gunung es, tapi langkah-langkah penanggulangan HIV/AIDS secara nasional tetap tidak mengedepankan cara-cara yang konkret (Lihat Gambar).
Phobia Kondom
Secara eksplisit (gamblang, tegas, terus terang, tidak berbelit-belit (sehingga orang dapat menangkap maksudnya dng mudah dan tidak mempunyai gambaran yg kabur atau salah mengenai berita, keputusan, pidato, dsb; tersurat) tidak jelas makna definisi tsb. Padahal, risiko tertular HIV al. adalah melalui hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, waria, laki-laki suka laki-laki, dan pelaku kawin-cerai. Karena penanggulangan dilakukan dengan ’semangat’ moral, maka batasan pun dibuat secara sumir dengan makna implisit (tidak dinyatakan secara jelas atau tidak terang-terangan, tersirat) dan konotatif (bermacam-macam penafsiran).
Apa, sih, yang dimaksud dengan ’tidak terlindung’? Apakah karena tidak pakai payung?Banyak penafsiran karena kata majemuk ini implisit dan konotatif.
Kalau yang dimaksud dengan ’perilaku seksual berisiko’ adalah hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan tentulah ’tidak terlindungi’ artinya tidak memakai kondom.
Strategi nasional pun ternyata memakai bahasa yang sumir dan konotatif. Akibatnya, masyarakat pun akan menangkap arti yang samar-samar sehingga upaya penanggulangan tinggal kenangan.
Maka, tidak mengherankan kalau kemudian insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi, terutama malalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung.
Penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual berisiko kian runyam karena dikesankan di Indonesia tidak ada perilaku berisiko yaitu hubungan seksual dengan PSK langsung karena tidak ada lokalisasi pelacuran ’resmi’ (di era Orba disebut resosialisasi). Resosialisasi ini pun tidak pernah berhasil karena bersifat top-down (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).
Tapi, anggapan itu keliru karena (praktek) pelacuran sebagai perilaku berisiko tertular HIV dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu di semua daerah di Nusantara.
Celakanya, strategi penanggulangan HIV/AIDS secara nasional hanya menyasar laki-laki ’hidung belang’ sebagai pelanggan PSK. Ini terbukti dari program-program penanggulangan melalui peraturan daerah (perda) AIDS yang tersebar di 55 daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota (Lihat Gambar).
Padahal, tidak sedikit laki-laki dewasa yang sesekali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung. Di Sulawesi Selatan, misalnya, penyebaran HIV justru didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat:http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/). Hal yang sama juga terjadi di Denpasar (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/26/andil-psk-tidak-langsung-dalam-penyebaran-hiv-di-denpasar/).
Laki-laki ’hidung belang’ pun lolos dari intervensi karena yang menjadi objek pemakaian kondom adalah PSK. Padahal, asal muasal program kondom dalam perda-perda AIDS di Indonesia ’berkiblat’ ke Thailand. Negeri Gajah Putih itu menerapkan program ’wajib kondom 100 persen’ terhadap laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Celakanya, di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran karena ada anggapan bahwa jika ada lokalisasi pelacuran berarti melegalkan pelacuran. Cara berpikir yang picik ini membuat persoalan rumit karena tidak ada negara yang melegalkan pelacuran. Yang ada adalah membuat regulasi agar pelacuran dilokalisir.
Penanggulangan di Hilir
Pemantuan program wajib kondom dilakukan dengan cara yang konkret yaitu survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, dll.) pada PSK. Kalau ada PSK yang mengidap IMS itu membuktikan ada PSK yang meladeni laki-laki ’hidung belang’ tanpa kondom. Maka, germo atau mucikari mendapat peringatan sampai pencabutan izin usaha.
Sebaliknya di Indonesia yang menjadi objek hukum adalah PSK. Di Merauke, Papua, misalnya, sudah ada enam PSK yang dibui karena terdeteksi mengidap IMS. Tapi, Pemkab Merauke lupa kalau satu PSK dibui akan ada puluhan PSK ’baru’. Selain itu laki-laki lokal yang menularkan IMS dan tertular IMS dari PSK menjadi mata rantai penyebaran IMS di masyarakat. Kalau PSK yang menularkan IMS itu juga mengidap HIV, maka ada kemungkinan penularan IMS sekaligus penularan HIV.
Lebih naif lagi adalah kebijakan Pemprov Papua yang mewajibkan pengelola tempat hiburan untuk memulangkan karyawannya yang terdeteksi mengidap HIV. Ini merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Lagi pula bisa saja yang menularkan HIV kepada karyawan itu laki-laki lokal (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/06/eufemisme-dalam-perda-aids-prov-papua/ dan http://regional.kompasiana.com/2011/04/02/ironi-perda-penanggulangan-aids-di-prov-papua/).
Program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dilakukan di hilir. Artinya, mendeteksi kasusHIV/AIDS ketika orang-orang yang sudah tertular HIV (Lihat: http://www.kompasiana.com/search?q=Penanggulangan+di+hilir&pg=search&cx=014314690270547682587%3A2a02hxzrgqc&cof=FORID%3A11&ie=UTF-8&button=SEARCH).
Maka, seperti dalam gambar, penanggulangan di bagian kiri yang masuk strategi pun tidak melakukan langkah-langkah yang konkret. Sedangkan yang di sebelah kanan justru luput dari strategi penanggulangan. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian penyebaran HIV terus (akan) terjadi.
Langkah yang perlu diambil pemerintah adalah mewajibkan setiap laki-laki memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di Indonesia atau di luar negeri.
Jika langkah itu tidak bisa dilakukan, maka langkah berikutinya adalah intervensi yaitu mewajibkan laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung memakai kondom jika sanggama dengan istrinya.
Langkah terakhir adalah program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya melalui survailans ters HIV terhadap perempuan hamil.
Sayang, tiga langkah konkret ini sama sekali tidak menjadi program nyata pada penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Padahal, tahun 2001 UNAIDS sudah mengingatkan Indonesia agar menangani penyebaran HIV dengan serius. Tapi, begitulah. Anjing menggonggongkafilah berlalu (Lihat: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/10/06/aids-di-indonesia-menjadi-sorotan/).
Yang dikedepankan adalah moral. Maka, penanggulangan pun dilakukan dengan mitos. Ini akan menjadi bumerang berupa ’ledakan AIDS’ di masa yang akan datang. ***[Syaiful W. Harahap]***