Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Pemprov Jawa Timur Berkutat Melawan Penyebaran HIV/AIDS dengan Moral

21 Januari 2012   02:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:37 360 0

Sepanjang tahun 2011 dikabarkan 72 kematian terkait HIV/AIDS terjadi di Prov Jawa Timur(Jatim). Sedangkan kasus baru HIV/AIDS yang terdeteksi sampai September 2011 tercatat 417. Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS sejak tahun 1989 tercatat 5.091 (newsticker, RCTI, 21/1-2012).

Angka-angka yang dilaporkan itu pun tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang sudah terdeteksi yaitu 5.091 digambarkan seperti puncak gunung es yang menyembul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat yang digambarkan sebagai bongkahan es yang ada di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar 1).

Celakanya, penanggulangan HIV/AIDS di Jatim tidak menyentuh akar persoalan. Bahkan, peraturan daerah (perda) yang ada di Jatim pun sia-sia karena tidak menawarkan cara-cara penanggulangan yang konkret. Perda AIDS yang ada di Jatim yaitu: (1) Prov Jawa Timur No 5/2004, (2) Kota Probolinggo No 9/2005, (3) Kab Banyuwangi No 6/2007 (4) Kab Malang No 14/2008, dan (5) Kab Tulung Agung No 25/2010.

Perda-perda itu hanyalah ‘macan kertas’ yang sarat dengan norma dan moral. Tentu saja tidak bermakna untuk penanggulangan HIV/AIDS karena HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa ditanggulangi dengan teknologi kedokteran.

Perda-perda itu mubazir, lihat (1), (2), (4), dan (5).

Pemprov Jatim sendiri dengan membusungkan dada mengatakan bahwa semua lokasi dan lokalisasi pelacuran akan ditutup.

Biar pun lokasi dan lokalisasi pelacuran dihapuskan, pertanyaannya adalah: Apakah Pemprov Jatim bisa menjamin tidak ada lagi praktek pelacuran di Jatim?

Praktek pelacuran adalah hubungan seksual yang terjadi antara laki-laki dengan perempuan di luar nikah di sembarang tempat. Perilaku sebagian laki-laki penduduk Jatim terkait dengan praktek pelacuran juga terjadi di luar Jatim.

Kalau lokasi dan lokalisasi pelacuran tidak ada di Jatim itu tidak jaminan tidak akan ada praktek pelacuran karena praktek pelacuran terjadi dengan PSK tidak langsung, seperti ‘cewek kafe’, ‘mahasiswi’, ‘anak sekolah’, ‘cewek biliar’, ‘cewek pub’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, dll. di rumah, kontrakan, kos-kosan, apartemen, losmen, hotel melati dan hotel berbintang.

Kalau Pemprov Jatim bisa menjamin tidak ada lagi praktek pelacuran di Jatim, itu pun belum jaminan karena ada pertanyaan lain, yaitu: Apakah Pemprov Jatim, DPRD Jatim, MUI Jatim, tokoh masyarakat, pemuka agama, LSM dan wartawan bisa menjamin bahwa tidak akan ada penduduk Jatim, asli atau pendatang, terutama laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondon, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, waria serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Jatim atau di luar wilayah Jatim?

Kalau jawabannya YA, maka beruntunglah Pemprov Jatim karena mata rantai penyebaran HIV bisa dicegah.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar yang dihadapi Pemprov Jatim.

Artinya, ada laki-laki dewasa yang (akan) menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat yaitu mereka yang tertular di Jatim atau di luar Jatim.

Kalau saja perda-perda AIDS yang ada di Jatim dirancang dengan pijakan fakta medis tentulah perda-perda itu berguna.

Misalnya, melalui intervensi dengan pasal yang mewajibkan setiap laki-laki dewasa memakai kondom jika melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan (Lihat Gambar 2).

Kalau langkah kedua tidak bisa, maka langkah terakhir adalah melakukan survailans tes HIV kepada ibu-ibu hamil. Cara ini akan bisa menyelematkan bayi agar tidak tertular HIV dan sekaligus mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Kalau seorang perempuan hamil terdeteksi HIV, maka ada satu lagi yang terdeteksi yaitu suami perempuan itu.

Sayang, Pemprov Jatim lebih memilih langkah moral daripada cara-cara yang konkret. Maka, ‘ledakan AIDS’ di Jatim tinggal menunggu waktu saja karena penyebaran HIV terus terjadi. Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***[Syaiful W. Harahap]***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun