Oleh Syaiful W. Harahap*
Agaknya, pemerintah kabupaten dan kota di wilayah Prov Banten harus bersiap-siap mengeluarkan dana yang besar untuk membeli obat antiretroviral (ARV) dan biaya pengobatan berbagai macam penyakit bagi penduduk yang mengidap HIV/AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS).
Sampai November 2011 sudah terdeteksi2.116 yang terdiri atas 552 kasus HIV dan 1.564 AIDS. Kasus ini tersebar di delapan kabuten dan kota.Estimasi (perkiraan) Dinas Kesehatan Prov Banten kasus HIV/AIDS di Banten mencapai 4.288 dengan tingkat kematian 20,7 persen. Artinya, ada 3.401 penduduk yang hidup dengan HIV/AIDS karena ada 887 yang meninggal.
Angka yang dilaporkan itu bukan angka riil kasus HIV/AIDS di masyarakat karena banyak peduduk Banten yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Penduduk, terutama laki-laki, Banten yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual yang tidak aman di dalam dan di luar nikah.
Dana yang dibutuhkan seorang Odha hanya untuk membeli obat ARV saja sebesar Rp 360.000/bulan. Dengan 3.401 Odha diperlukan dana Rp 1,3 miliar /bulan atau Rp 15,6 miliar/tahun. Jumlah ini belum termasuk biaya untuk pembelian obat untuk mengobati penyakit lain dan biaya perawatan jika ada Odha yang sakit.
Kasus-kasus HIV/AIDS akan terus terdeteksi seiring dengan waktu karena setelah seseorang tertular HIV, maka antara 5 – 15 tahun kemudian ybs. akan mudah terjangkit penyakit lain, seperti diare, jamur, ruam, TB, dll. yang sangat sulit disembuhkan.
Pada orang-orang yang tidak mengidap HIV/AIDS penyakit-penyakit tsb. mudah disembuhkan. Jika ada pasien yang dirawat dengan gejala penyakit-penyakit tsb. tapi sangat sulit disembuhkan dokter akan menganjurkan agar pasien menjalani tes HIV.
Di Indonesia banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada orang-orang yang sedang dirawat karena penyakit-penyakt yang terkait dengan HIV/AIDS, yaitu diare, sariawan, jamur, TB, dll.
Maka, jika ada yang mengidap penyakit-penyakit tsb., tapi sangat sulit sembuh dianjurkan untuk menjalani tes HIV. Di wilayah Prov Banten sudah ada tujuh tempat tes HIV secara gratis yang dikenal sebagai Klinik VCT yaitu (1) ‘Teratai’ RSUD Serang, (2) ‘Flamboyan’ RSU Cilegon, (3) Klinik VCT di RS Qadr, Tangerang, (4) ‘Bougenvile’ di RSU Tangerang, (5) ‘Anggrek’ di Puskesmas Ciledug, Kota Tangerang, (6) ‘Edelweis’ di Puskesmas Cibodas, Kota Tangerang, dan (7) Klinik VCT di RSU Rangkasbitung, Lebak.
Kalau orang-orang yang mengidap penyakit yang sulit disembuhkan tadi ternyata mengidap HIV/AIDS, maka akan diberikan obat antiretroviral (ARV). Obat ini gratis. Setelah minum ARV penyakit-penyakit tsb. bisa disembuhkan.
Untuk itulah diharapkan orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV, biar pun tidak menderita penyakit-penyakit yang terkait dengan gejala HIV/AIDS, mau menjalani tes HIV. Perilakunya berisiko tertular HIV, terutama laki-laki, adalah pernah atau sering melakukan hubungan seksual yang tidak aman (penis bersentuhan langsung dengan vagina) di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) atau waria.
Langkah itu sangat penting untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di Banten. Artinya, orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak lagi menularkan HIV kepada orang lain. Berbeda dengan orang-orang yang sudah mengidap HIV, tapi tidak diketahui maka mereka akan terus menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari.
Celakanya adalah banyak laki-laki yang tidak merasa dirinya melakukan hubungan seksual dengan PSK karena perempuan yang mereka kencani bukan PSK di lokasi pelacuran. Perempuan yang mereka kencani adalah ‘cewek bar’, ‘cewek karaoke’, ‘cewek disko’. ‘cewek biliar’, ‘cewek kafe’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, dll. Mereka ini dikenal sebagai PSK tidak langsung. Melakukan hubungan seksual yang tidak aman dengan PSK tidak langsung tetap berisiko tinggi tertular HIV.
Selama ini informasi tentang penularan HIV/AIDS yang disampaikan kepada masyarakat adalah penularanHIV/AIDS terjadi jika melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung di lokalisasi pelacuran. Padahal, melakukan hubungan seksual yang tidak aman dengan PSK tidak langsung pun risiko tertular HIV sangat besar.
Di wilayah Prov Banten praktek pelacuran terjadi dengan PSK langsung baik yang mangkal di berbagai tempat atau yang ‘dipesan’ melalui HP atau kurir. Hubungan seksual dilakukan diberbagai tempat, seperti rumah, kos-kosan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang.
Di Cilegon PSK ‘mangkal’ di Sangkanila, Merak, dan di sekitar pelabuhan Cigading. Di Kota Tangerang mereka tidak mangkal tapi ‘dipesan’ melalui ponsel dan kurir. Seorang pendamping PSK dan waria di Kota Tangerang setiap malam sekitar 100 PSK dan waria ‘praktek’ sebagai PSK tidak langsung.
Di wilayah Kab Tangerang praktek pelacuran terjadi di pesisir pantai. Sedangkan di wilayah Kota Tangsel ada ‘tempat-tempat hiburan malam’ dengan PSK tidak langsung.
Karena praktek pelacuran di wilayah Prov Banten terjadi dengan PSK lang dan PSK tidak langsung, maka perlu dipikirkan untuk membuat regulasi agar praktek pelacuran tidak menyebar. Adalah hal yang mustahil menghapus praktek pelacuran di Banten karena permintaan dan pasokan terus terjadi.
Andaikan di Banten sama sekali tidak ada (praktek) pelacuran itu pun tidak menjamin tidak akan ada penyebaran HIV di Banten karena laki-laki ‘hidung belang’ bisa saja tertular HIV di luar Banten. Yang tertular HIV di luar Banten akan menyebarkan HIV di Banten (Lihat Gambar).
Paling tidak sudah ada tiga tenaga kerja wanita (TKW) di Prov Banten yang terdeteksi mengidap HIV. Dua di Kab Pandeglang dan 1 di Kab Serang. Biar pun mereka tertular HIV di luar negeri, ketika pulang kampung mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, tertutama melalui hubungan seksual di dalam atau di luar nikah. ***[Syaiful W. Harahap]***
*Penulis adalah media relations officer (MRO) di KPA Prov Banten/HCPI-AusAID. Tulisan ini pendapat pribadi.