Di awal-awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia penanggulangan hanya bertumpu pada penyuluhan secara umum. Celakanya, materi penyuluhan dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Dengan kasus AIDS yang dilaporkan sampai Maret 2011 tercatat 24.482 dengan 4.603 kematian.
Angka ini tidak menggambarkan kasus yang realistis di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (24.482) yaitu puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut hanya bagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat (bongkahan es di bawah permukaan air laut).
Perkembangan epidemi HIV kemudian mendorong perubahan paradigma dalam penanggulangan HIV/AIDS secara global. Di tingkat nasional dan lokal pun penanggulangan HIV/AIDS mulai bergeser dari sekedar penyuluhan ke pendampingan sampai akhirnya kepada perlindungan hukum dan meningkatkan kehidupan odha (orang dengan HIV/AIDS).
Jika program komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait HIV/AIDS tetap menyelipkan materi norma, moral, dan agama maka penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia hanya akan jalan di tempat, bahkan mundur jauh ke belakang. Soalnya, tatkala di Eropa Barat, Afrika, Amerika Serikat, dan Australia kasus infeksi baru pada kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar sejak awal tahun 1990-an di Asia Pasifik justru yang terjadi sebaliknya, terutama Indonesia, kasus infeksi baru di kalangan dewasa justru meroket.
Materi KIE
Hal itu terjadi bukan karena sudah ada obat AIDS dan vaksin HIV, tapi semata-mata karena penduduk di sana sudah mengetahui cara-cara mencegah penularan HIV dengan akurat. Ini terjadi karena materi KIE tentang HIV dan AIDS diberikan kepada masyarakat sesuai dengan fakta medis. Sebaliknya, di beberapa negara di kawasan Asia Pasifik, seperti di Indonesia, materi KIE tentang HIV dan AIDS tetap dibalut dengan norma, moral, dan agama.
Selama hal itu terjadi maka pemahaman HIV dan AIDS yang diterima masyarakat Indonesia hanya sebatas mitos belaka. Sampai sekarang dalam banyak materi KIE disebutkan bahwa penularan HIV terkait dengan zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, seks pranikah, waria, dan homoseksual. Padalah, sebagai fakta medis penularan HIV sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, seks pranikah, waria, dan homoseksual.
Tapi, karena masyarakat hanya menangkap mitos banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara melindungi diri agar tidak tertular HIV. Hal ini dialami oleh seorang remaja putri yang menjalani rehabilitasi narkoba di sebuah LSM di Bogor, Jawa Barat. ”Saya kecewa karena selama ini infomrasi tentang HIV dan AIDS hanya menyebut-nyebut zina,” kata gadis manis yang tertular HIV dengan faktor risiko pengguna narkoba suntik.
Mitos-mitos seputar HIV dan AIDS itu pun kemudian menyuburkan pemberian cap buruk atau negatif (stigmatisasi) dan perlakuan yang berbeda (diskriminasi) terhadap orang-orang yang tertular HIV. Untuk itulah diperlukan penanggulangan yang komprehensif dengan meningkatkan perlindungan hukum dan hak, serta pelayanan terhadap odha.
Dalam pandangan Prof Dr DN Wirawan dari Yayasan Kerti Praja, Denpasar, Bali, upaya-upaya penanggulangan HIVdan AIDS yang dilakukan selama ini sudah lumayan terutama oleh LSM, KPAN dan Depkes. Namun, yang menjadi persoalan besar adalah sebagian besar sumber dana untuk program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia justru datang dari bantuan luar negeri.
Penanggulangan yang baik terutama penerapan harm reduction (pengurangan dampak buruk) di kalangan pengguna narkoba suntikan dan layanan obat antiretroviral (ARV). “Walaupun banyak keluhan dalam skala mikro, tapi secara umum sudah lumayan,” kata Prof Wirawan. Hal ini dibenarkan oleh Adi, bukan nama sebenarnya, seorang odha berusia 31 tahun asal Padang, Sumatera Barat, yang berobat di sebuah LSM di Jakarta (2010). Biar pun dia terdeteksi HIV tapi pelayanan yang dilakukan oleh sebuah rumah sakit di Padang terhadap dirinya tidak berbeda dengan pasien lain. Bahkan, rumah sakit itu langsung merujuk Adi ke Jakarta.
Januari 2010 Adi mendapat layanan yang baik di LSM itu. ”Saya pikir penanganan pasien AIDS sudah baik,” kata Adi. Tapi, yang dialami Adi ternyata bisa terjadi karena rumah sakit yang menanganinya di Padang sudah memiliki klinik VCT. Sedangkan rumah sakit rujukan di Jakarta pun dikenal sebagai rumah sakit yang berempati terhadap odha. Ini menandakan karyawan rumah sakit di Padang dan Jakarta itu sudah dilatih sehingga mereka tidak canggung lagi menangani pasien dengan status HIV-positif.
Penanganan yang baik terhadap pengguna narkoba melalui program harm reduction menurunkan kasus infeksi di kalangan mereka. Di Bali, misalnya, pengguna narkoba suntikan menurun tajam yang pada akhirnya menurukan infeksi HIV baru. Lima tahun yang lalu estimasi jumlah pengguna narkoba suntikan di Bali sekitar 3.000, sedangkan estimasi saat ini hanya sekitar 1.000. Ini antara lain terjadi karena sekarang banyak di antara pengguna narkoba suntikan memakai metamphetamine (extacy, shabu, dll.) yang tidak disuntikkan.
Jalur Seksual
Program harm reduction merupakan salah satu bentuk yang ’revolusioner’, tapi tetap saja ditentang segelintir orang yang tidak melihat program ini dengan perspektif kesehatan masyarakat. Yang kontra menyebut bahwa subsitusi methadon hanya memindahkan bentuk ketergantungan. Padahal, dengan subsitusi ini mereka tidak lagi memakai jarum suntik sehingga risiko penyebaran HIV bisa ditekan. Jika pengguna narkoba tetap memakai jarum suntik secara bergantian maka risiko penyebaran HIV di kalangan mereka tetap tinggi. Pada gilirannya pengguna narkoba yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Inilah yang tidak dilihat kalangan yang kontra terhadap harm reduction karena mereka melihatnya dengan sudut pandang moral.
Prof Wirawan justru melihat yang gawat sekarang adalah penularan HIV melalui jalur hubungan seksual. Tapi, penanggulangan pada jalur ini banyak sekali tantangannya, seperti aspek teknologi, lingkungan dan sosial. Tantangan aspek teknologi yaitu pencegahan penularan HIV melalui hubungan seks dengan memakai kondom. Padahal, kondom ditentang habis-habisan oleh berbagai kalangan. Berbeda dengan penanggulangan di kalangan pengguna narkoba yang tidak mendapat penolakan dari masyarakat luas. Sedangkan dari aspek lingkungan sosial penanggulangan epidemi HIV justru mendapat tantangan yang kuat, terutama terkait dengan lokalisasi pelacuran dan sosialisasi kondom.
Karena jalur seksual merupakan faktor risiko penularan yang akan mendorong penyebaran HIV secara horizontal maka diperlukan upaya yang konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV melalui jalur seksual. Pencegahan melalui jalur seksual adalah penggunaan kondom pada setiap hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan. Ini yang disebut sebagai perilaku berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV.
Di beberapa negara, seperti Thailand, penularan HIV di kalangan dewasa sudah menurun. Ini terjadi Thailand menerapkan ’program kondom 100 persen’. Bukan hanya sekedar program tapi ada pula penegakan hukum yang konsisten. Secara rutin pekerja seks komersial di lokalisasi dan rumah bordir menjalani tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, dll.). Jika ada pekerja seks komersial (PSK) yang terdeteksi mengidap IMS maka pengelola (germo) akan diberikan peringatan secara bertahap sampai pada penutupan usaha.
Keberhasilan Thailand ini pun kemudian dilirik Indonesia. Beberapa daerah menelurkan peraturan daerah (Perda) yang mengharuskan pemakaian kondom. Celakanya, ada Perda lain yang justru melarang pelacuran. Ini ambiguitas yang menunjukkan kemunafikan. Karena tidak ada lokalisasi atau rumah bordir tentulah tidak bisa dilakukan tes rutin terhadap PSK. Maka, langkah yang ditempuh dalam Perda-perda itu pun bagaikan ‘menggantang asap’ (pekerjaan yang sia-sia).
Jangankan program kondom 100 persen, kegiatan membawa PSK ke klinik setiap minggu pun menohok Prof Wirawan. Seorang wartawan menuding Prof Wirawan sebagai ’pelindung PSK’. Ini terjadi karena setiap hari Jumat klinik Kerti Praja di Sesetan, Denpasar, Bali, ’dibanjiri’ PSK untuk memeriksakan kesehatan, terutama terkait dengan infeksi menular seksual (IMS), seperti GO, sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll.
Padahal, yang dilakukan Prof Wirawan adalah upaya memutus mata rantai penyebaran IMS, termasuk HIV, ke populasi melalui laki-laki yang menjadi palanggan PSK. Soalnya, laki-laki ’hidung belang’ itu bisa saja sebagai suami sehingga menjadi jembatan penyebaran IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK ke masyarakat.
Kambing Hitam
Upaya yang dilakukan Prof Wirawan ini merupakan salah satu langkah konkret. Tapi, berbagai kalangan mulai dari organisasi masyarakat, agama, dan adat serta jajaran pemerintah justru tidak mengakui ada (praktek) pelacuran di daerahnya dengan alasan sudah tidak ada lokasi dan lokalisasi pelacuran. Biar pun tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran tetap saja ada praktek pelacuran sehingga cara-cara yang dilakukan Prof Wirawan merupakan salah satu cara yang efektif untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV.
Tapi, adakah yang berani mengikuti jejak Prof Wirawan?
Yang terjadi justru ’perlombaan’ membuat Perda penanggulangan HIV dan AIDS serta IMS. Tapi, dari 50 Perda yang sudah ada, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota, tidak satu pun yang memberikan cara yang konkret dalam menanggulangi penyebaran HIV. Semua Perda bertumpu pada norma, moral, dan agama. Misalnya, menyebutkan pencegahan HIV dengan meningkatkan iman dan taqwa. Ini menyuburkan mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS dan stigma serta diskriminasi terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV.
Penanggulangan HIV dan AIDS di kalangan pengguna narkoba suntikan dan PSK sering terbentur dengan masalah hukum yang pada gilirannya juga tersandung pada masalah hak asasi manusia (HAM). Perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) dan cap buruk (stigmatisasi) sering dialami odha. Kondisi ini memperburuk upaya penanggulangan epidemi HIV karena banyak orang yang takut menjalani tes HIV sukarela. Selain itu ada pula yang sudah terdeteksi tapi tidak melanjutkan pengobatan.
PSK selalu menjadi ’kambing hitam’ penyebaran HIV tanpa memperhitungkan laki-laki yang sudah menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang kemudian tertular HIV dari PSK. Ini menyuburkan stigma terhadap PSK yang pada gilirannya mengaburkan fakta empiris tentang penyebaran HIV karena laki-laki penular luput dari stigma. Pekerjaan PSK yang ilegal juga membuat posisi mereka terpojok karena bisa menjadi objek hukum dalam bentuk kriminalisasi dan pemerasan.
Dengan kondisi penanggulangan seperti sekarang ini maka kalau hanya mengandalkan anjuran melalui penjangkauan dan pendidikan untuk meningkatkan pemakaian kondom hasilnya akan sia-sia. ”Saya sudah melaksanakan hal ini tanpa henti selama 20 tahun, tanpa hasil yang memadai,” ujar Prof Wirawan. Apalagi penolakan dari beberapa kalangan terhadap sosialisasi kondom yang sangat kuat membaut anjuran memakai kondom kian runyam. Celakanya, anjuran sunat yang disebut-sebut bisa menurunkan risiko tertular HIV tidak ditentang. Padahal, ini akan menjadi bumerang karena laki-laki yang sudah disunat menganggap dirinya sudah memakai kondom. Padahal, sunat bukan jaminan tidak tertular HIV pada hubungan seksual yang berisiko.
Untuk itulah dalam penanggulangan epidemi HIV diperlukan cara-cara yang lebih komprehensif. Antara lain dengan intervensi struktural seperti yang dilakukan di Thailand dan Kamboja. Namun, hal ini tidak mudah karena menyangkut norma, moral dan agama yang selama ini dibenturkan ke sosialisasi kondom. Tentu saja ini mengharapkan komitmen pemimpin di pusat dan daerah. Yang terjadi selama ini komitmen muncul kalau kasus sudah banyak yang terdeteksi. Itu pun hanya sebentar karena akan muncul lagi isu lain yang menenggelamkan isu seputar HIV dan AIDS.
Program-program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesai diharapkan bisa mengerem laju epidemi HIV, seperti halnya pada pengguna narkoba dengan suntikan. Prevalensi HIV melalui hubungan seksual akan terus naik sehingga diperlukan intervensi penanggulangan yang konkret. Ini tentu saja akan berhadapan dengan isu moral sehingga memerlukan komitmen yang tinggi di semua kalangan.
Inilah tantangan yang harus kita hadapi. ***[Syaiful W. Harahap]***