* Ada perbuatan melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM di Perda AIDS Papua
‘Semangat’ membuat peraturan daerah (Perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS terus bergulir. Biar pun di Prov Papua sudah ada lima perda, tapi Pemprov Papua pun akhirnya menelurkan Perda Prov Papua No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS.
Pemprov Papua memang perlu khwatir karena sudah terdeteksi 7.319 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 3.378 HIV dan 3.941 AIDS (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/22/7319-kasus-kumulatif-hivaids-di-papua/).
Lima perda yang sudah ada di Papua hanya ‘dokumen’ di lemari arsip karena tidak menawarkan cara yang konkret dalam menanggulangi penyebaran HIV di daerahnya.
Lihat saja Perda Kab Nabire tahun 2003 (Lihat: Perda Kondom Kab Nabire, Papua: Pemantauan Tidak Konkret).
Kemudian ada Perda Kab Merauke tahun 2003 (Lihat: Perda AIDS Merauke (Hanya) ‘Menembak’ PSK).
Selanjutnya Perda Kab Jayapura tahun 2003 (Lihat: AIDS di Kab Jayapura, Papua: Penanggulangan Mengabaikan Sosialisasi Kondom).
Lalu Perda Kab Puncak Jaya tahun 2005 (Lihat: Perda AIDS Kabupaten Puncak Jaya, Papua).
Selanjutnya ada Perda Kota Jayapura tahun 2006 (Lihat: Ironi Penanggulangan AIDS di Perda AIDS Kota Jayapura, Papua).
Terakhir adalah Perda Prov Papua yang merupakan perda ke-49 dari 50 perda yang sudah ada di Indonesia.
Dikabarkan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Papua No 8/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS mulai disosialisasikan kepada pemangku kepentingan baik di kalangan SKPD, LSM, Bupati/Walikota se Tanah Papua (Perdasi Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Disosialisasikan, tabloidjubi.com, 4/8-2011).
Persoalan besar terkait dengan penanggulangan HIV di Indonesia adalah cara-cara yang dilakukan tidak konkret sehingga tidak menyentuh akar persoalan. Semua perda dibuat dengan semangat moral sehingga pasal-pasal yang ada pun hanya bersifat normatif. Padahal, penanggulangan HIV/AIDS membutuhkan cara-cara yang konkret.
Faktor risiko penularan (mode of transmission) HIV di Papua adalah hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yang tidak memakai kondom. Penularan ini umumnya terjadi melalui hubungan seksual antara laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang, dengan pekerja seks komersial (PSK) yang tersebar di banyak tempat di Papua. Di Jayapura ada lokasi pelacuran ‘turki’ (turunan kiri) di pinggir Danau Sentani. Di Merauke ada lokasi Yobar (kabarnya kata ini berasal dari ajakan ‘ayo ke bar’).
Perilaku Seksual
Tapi, dalam perda-perda yang sudah ada, termasuk perda provinsi (perdasi) sama sekali tidak menyentuh risiko penularan HIV di lokasi pelacuran secara konkret.
Bahkan, di Perda AIDS Papua lokasi pelacuran disamarkan atau diperhalus dengan sebutan ‘lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV’.
Terminologi ini sangat naïf. Penularan HIV tidak terjadi karena ada lokasi (pelacuran), tapi karena ada hubungan seksual tanpa kondom antara laki-laki dan perempuan (PSK) yang salah satu dari mereka mengidap HIV.
Maka, ada kemungkinan laki-laki lokal, asli atau pendatang, yang mengidap HIV menularkan HIV kepada PSK. Selanjutnya laki-laki lokal yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom berisiko pula tertular HIV. Sayang, dalam Perda AIDS Papua tidak ada pasal yang menukik ke fakta ini.
Biar pun fakta menunjukkan penyebaran HIV di Papua didorong oleh perilaku seksual yang tidak aman, tapi di pasal 2 tentang penularan HIV malah terbalik, yaitu (a) transfusi darah, (b) jarum suntik, (c) hubungan seks, dan (d) dari ibu ke bayi.
Di pasal 3 disebutkan pencegahan penularan HIV ditujukan kepada (1) yang berisiko tinggi, (b) yang tidak berisiko, (c) lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV.
Lalu langkah yang ditempuh disebutkan di pasal 4, yaitu (a) “Setiap orang yang berisiko tinggi tertular atau menularkan HIV wajib menggunakan kondom setiap melakukan hubungan seks dengan pasangannya.” Jika yang dimaksud dengan ‘pasangannya’ adalah istri, maka mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK, perempuan lain, atau pasangan sejenis.
Kalau saja perda ini tidak dibalut dengan moral, maka pasal itu berbunyi: “Laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK.” Maka, ketika sanggama dengan istrinya dia tidak perlu memakai kondom. Karena pasal itu tidak menyentuh akar persoalan maka banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya.
Di pasal 5 ayat a disebutkan: ”Setiap orang yang tidak berisiko tertular dan menularkan HIV wajib melakukan hubungan seks dengan satu pasangan tetap dan sah.” Lagi-lagi pasal ini membuktikan perda ini bermuatan moral. Tidak ada kaitan langsung antara ’pasangan tetap dan sah’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah dengan pasangan tetap atau tidak tetap jika salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta.
Di pasal 6 ayat 1 huruf a disebutkan: ”Pengelola lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap setiap penjaja seks komersial yang untuk pertama kali memasuki dan melakukan hubungan seks di lokasi yang bersangkutan.” Karena perda ini terkait dengan HIV/AIDS, maka tidak ada kaitan langsung antara kesehatan PSK dengan HIV/AIDS. Yang perlu dilakukan adalah tes HIV kepada PSK ’baru’. Tapi, ini juga tidak jaminan biar pun hasil tes negatif, karena setelah tes bisa saja PSK itu tertular HIV.
Selanjutnya di pasal 6 ayat 1 huruf c disebutkan: ”Pengelola lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib mengembalikan setiap penjaja seks komersial yang berasal dari luar Papua ke daerah asal yang diketahui terinfeksi HIV/AIDS dengan beban biaya dari pengelola dan wajib melaporkan kepada KPA Provinsi dan Komisioner.”
Paling tidak ada tiga hal yang luput dari perhatian terkait dengan pasal di atas, yaitu:
Pertama, langkah yang ditempuh Pemprov Papua itu merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Tidak ada UU yang membenarkan pemulangan seorang PSK yang terdeteksi HIV.
Kedua, ada kemungkinan yang menularkan HIV kepada PSK itu justru laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang. Nah, laki-laki ini akan terus menjadi mata rantai penyebaran HIV di Papua atau daerah lain sebelum terdeteksi atau sebelum mati.
Ketiga, biar pun PSK yang terdeteksi HIV dipulangkan dia sudah ’meninggalkan’ HIV/AIDS pada laki-laki di Papua, asli atau pendatang. Laki-lak ini pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Papua atau daerah lain sebelum terdeteksi atau sebelum mati.
Tiga hal di atas luput dari perhatian karena perda ini dibalut dengan semangat moral.
Langkah untuk mewajibkan kondom diatur di pasal 6 ayat 1 disebutkan: ”Pengelola lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib: (e) menyediakan kondom serta mewajibkan penggunaan kondom dengan cara benar bagi setiap orang yang melakukan hubungan seks dengan penjaja seks komersial; (f) mengatur dan memastikan setiap penjaja seks komersial menolak orang yang melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom dengan cara benar.
Bom Waktu
Langkah ini merupakan ’turunan’ dari program ’wajib kondom 100 persen’ di Thailand tapi dipakai dengan ’setengah hati’ dan dibalut moral sehingga penerapannya pun tidak konkret.
Bagaimana cara memastikan bahwa laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan PSK? Di pasal 6 ayat 1 huruf g disebutkan: ”Pengelola lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib melaporkan kepada petugas keamanan setiap orang yang memaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan penjaja seks komersial tanpa menggunakan kondom.”
Banyak cara yang akan dilakukan laki-laki ’hidung belang’ untuk ’memaksa’ PSK meladeninya tanpa kondom. Untuk itulah Thailand jauh lebih arif karena memakai nalar yaitu melakukan survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll.) terhadap PSK secara rutin. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS, maka germo akan menerima sanksi mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha.
Perda ini memang menerapkan cara Thailand itu tapi dengan cara yang tidak komprehensif yaitu di pasal 6 ayat 1 huruf i: ” Pengelola lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib melakukan pemeriksaan kesehatan penjaja seks komersial secara berkala ke tempat rujukan terdekat.”
Mengapa tidak menyebutkan penyakit yang diperiksa secara konkret? Ini berkaitan dengan pelacuran maka bukan kesehatan secara umum, tapi penyakit IMS dan HIV/AIDS. Maka, instansi terkaitlah yang melakukan survailans tes IMS rutin terhadap PSK.
Di pasal 7 tempat pelacuran tidak lagi disebut ’lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV’, tapi ’tempat praktek seks komersial’. Ini menunjukkan sikap yang tidak konsisten. Mengapa tidak disebut saja ’lokasi atau lokalisasi pelacuran’? Agaknya, Pemprov Papua mau menunjukkan bahwa daerah itu ’beradab’ dengan tidak menyebut ’lokasi atau lokalisasi pelacuran’.
Disebutkan pada pasal 7ayat 1 akan ada sanksi pengehentian sementara atau pencabutan izin usaha bagi pengelola tempat praktek seks komersial jika melanggar pasal 6.
Jika disimak pasal 7 itu berarti ’lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV’ dan ’tempat praktek seks komersial’ merupakan tempat yang legal karena ada izin usaha. Ya, sama saja dengan izin bagi germo di lokasi atau lokalisasi pelacuran.
Semangat ’moral’ perda ini muncul lagi di pasal 13 ayat b: ”Setiap orang wajib meningkatkan ketahanan keluarga untuk pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.” Tanpa disadari oleh pembuat perda ini pasal tsb. mendorong masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) kepada orang-orang yang tertular HIV karena dikesankan mereka tertular HIV karena tidak mempunyak ketahanan keluarga.
Lagi pula, apa, sih, kaitan langsung antara ’ketahanan keluarga’ dengan penularan HIV? Tidak ada! Itu hanya normatif yang kabur dan tidak terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua, Drh. Constan Karma, yang juga Ketua KPA Prov Papua, berharap: “Mudah-mudahan Perda-Perda HIV/AIDS yang dibuat di Kabupaten/Kota referensinya ke Perdasi Provinsi.” Ini naif karena perda-perda di kabupaten dan kota sudah lebih dahulu ada.
Menurut dr Ben Saroinsong, Yayasan Kesehatan Bethesda (YKB) Papua, Perdasi Nomor 8 Tahun 2010 memiliki banyak hal yang kurang. Dia menyebut al. diskriminasi terhadap odha (orang dengan HIV/AIDS), mengeluarkan anak-anak HIV dari sekolah, dll.
Yang dikemukakan Saroinsong itu adalah persoalan di hilir. Yang jadi persolan besar adalah risiko penularan dan penyebaran HIV di hulu, al. hubungan seksual yang tidak memakai kondom dengan PSK.
Dikabarkan banyak yang menyoroti pasal 40 tentang sanksi pidana karena dianggap sangat lemah sehingga dikkhawatirkan efek jeranya tidak efektif karena ancamanyahanya pidana kurungan 6 bulan atau denda Rp 50 juta. Ya, UU mengatur bahwa sanksi pidana melalui perda maksimal enam bulan.
Terkait dengan penanggulangan HIV, hukuman kurungan tidak menyelesaikan persoalan karena orang-orang yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah tanpa kondom.
Maka, kalau saja perda itu dibuat dengan pijakan fakta medis terkait HIV/AIDS, maka pasal yang perlu mewajibkan setiap orang yang perilakunya berisiko untuk tes HIV. Siapa, saja mereka itu?
Yang wajib tes HIV adalah:
(a). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di Papua atau di luar Papua.
(b). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di Papua atau di luar Papua.
Jika kasus-kasus HIV/AIDS yang ada di mayarakat tidak terdeteksi, maka kasus itu akan menjadi ‘bom waktu’ yang kelak menjadi ledakan AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***