Lagi-lagi pemahaman yang tidak komprehensif terkait dengan HIV/AIDS di Prov Sumatera Utara (Sumut). Dikabarkan: “Dinas Kesejahteraan Sosial Sumut berencana melakukan pembinaan kepada pekerja seks komersial (PSK) di Sumut yang terjangkit HIV/AIDS. Caranya dengan sistem panti dan nonpanti.” (Dinsos Siap Tampung PSK Penderita HIV/AIDS, Harian “Sumut Pos”, 01/07-2011).
Tanggapan dari Dinsos Sumut itu muncul setelah ada keterangan tentang sejumlah PSK di Sumut yang terdeteksi HIV/AIDS (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/28/aids-di-sumut-menunggu-langkah-konkret-pemprov-sumut/).
Tapi, biar pun PSK yang terdeteksi HIV/AIDS ‘dibina’ oleh Dinsos tidak berarti penyebaran HIV di Sumut otomatis berhenti, karena:
Pertama, ada kemungkinan PSK yang terdeteksi HIV/AIDS jusrtru tertular dari laki-laki dewasa penduduk Sumut. Dalam kaitan ini laki-laki yang menularkan HIV menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kedua, ada kemungkinan PSK yang terdeteksi HIV/AIDS sudah mengidap HIV ketika mulai ‘praktek’ di Sumut. Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom berisiko tertular HIV. Laki-lai yang tertular HIV dari PSK pun menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.
Dua hal itulah yang luput dari gagasan yang dilontarkan oleh Dinsos Sumut. Maka, upaya membina PSK pun tidak banyak manfaatnya dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Lagi pula, satu pekerja yang dibawa ke panti akan diganti oleh beberapa PSK ‘baru’. Persoalan baru pun muncul. Bisa saja PSK ‘baru itu sudah mengidap HIV karena tidak ada ketentuan PSK yang baru ‘beroperasi’ di Sumut harus menjalani tes HIV sebelum ‘praktek’.
Menurut Kadis Kesejahteraan Sosial Sumut, Robetson, “Ini kita lakukan agar PSK yang positif HIV/AIDS tidak menularkan virus yang dideritanya kepada pelanggan meskipun data itu memang belum ada sama kita.”
Sayang, Robetson mengabaikan laki-laki penduduk Sumut yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki penduduk Sumut yang tertular HIV dari PSK. Biar pun di Sumut sama sekali tidak ada PSK itu pun tidak menjamin penyebaran HIV di Sumut otomatis terhenti karena:
(a). Bisa saja laki-laki penduduk Sumut melacur tanpa memakai kondom di luar Sumut.
(b). Laki-laki Sumut yang mengidap HIV yang tidak terdeteksi menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari.
Disebutkan lagi oleh Robetson: “ …. pihaknya hanya melakukan pembinaan mental dan pemberian keterampilan.” Fakta menunjukkan program atau proyek rehabilitasi dan resosialisasi PSK sejak zaman Orde Baru tidak pernah berhasil. Menurut Prof Dr Hotman M. Siahaan, sosiolog di Unair, Surabaya, karena program atau proyek itu datang dari atas (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).
Walaupun di Sumut tidak ada lokalisasi pelacuran yang merupakan regulasi terkait dengan kesehatan masyarakat, tapi praktek pelacuran tetap akan ada di berbagai tempat.
Celakanya, Satpol PP dan polisi hanya merazia penginapan, losmen dan hotel melati. Apakah Satpol PP dan polisi bisa menjamin di hotel berbintang tidak ada praktek pelacuran?
Kalau jawabannya YA, maka tidak ada persoalan penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual.
Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada persoalan besar yaitu penyebaran HIV melalui hubungan seksual yang melibatkan PSK.
Untuk itu program yang realistis adalah membuat aturan agar laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, harus disertai dengan mekanisme pemantauan yang realistis agar program itu berjalan.
Cara itu sudah berhasil di Thailand, dikenal sebagai program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Hasilnya adalah penurunan insiden baru penularan HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual di lokalisasi pelacuran. ***