Kepala Dinkes Majalengka, dr Maman S Gani MARS melalui Kasi P2M, dr Huda Ginandjar, MEpid, mengatakan, jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun yang yang tercatat 30 kasus. Ini lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif tentang cara pelaporan kasus HIV/AIDS. Di Indonesia pelaporan kasus HIV/AIDS dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru sehingga angkanya akan terus bertambah biar pun ada yang meninggal.
Dalam berita masih ada pernyataan 'penderita virus mematikan'. Ini pun menunjukkan pemahaman yang rendah terhadap HIV/AIDS. Sampai sekarang belum ada laporan kematian karena (virus) HIV. Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS (setelah tertular antara 5-15 tahun) yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Disebutkan: " .... jumlah penderita HIV/AIDS diperkirakan lebih banyak di lapangan dan diprediksi akan terus bertambah." Memang, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es sehingga kasus yang terdeteksi (puncak gunung es yang muncul di atas permukaan air laut) hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat (bongkahan es yang berada di bawah permukaan air laut).
Yang jadi persoalan adalah deteksi kasus HIV/AIDS selalu dilakukan di lokalisasi pelacuran. Itu pulalah yang terjadi di Majalengka: " .... seharusnya Dinkes rutin melakukan pemeriksaan dan pendataan penderita HIV/AIDS yang biasanya tersentralisasi pada tempat-tempat prostitusi terselubung, agar penyebaran penyakit ini bisa diminimalisasi."
Lagi-lagi menunjukkan penyebaran HIV/AIDS selalu mencari 'kambing hitam'. Padahal, yang menularkan HIV kepada pekerja seks komersial (PSK) adalah laki-laki dewasa penduduk lokal. Mereka itu bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, duda, lajang, atau remaja. Mereka inilah yang menyebarkan HIV di masyarakat yang dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.
Yang tidak masuk akal adalah disebutkan pendataan untuk meminimalisasi penyebaran HIV/AIDS. Soalnya, tidak dijelaskan bagaimana kaitan antara pendataan kasus HIV/AIDS pada PSK dengan pencegahan penyebaran HIV. Biar pun PSK yang terdeteksi HIV/AIDS 'dikarantina' penyebaran HIV akan terus terjadi karena laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menyebarkan HIV di masyarakat tanpa mereka sadari.
Tanpa intervensi yang konkret penyebaran HIV di Majalengka akan terus terjadi. Kecuali Pemkab Majalengka bisa menjamin tidak akan ada laki-laki dewasa yang melakukan perilaku berisiko, yaitu:
(a). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Kab Majalengka, di luar Majalengka atau di luar negeri.
(b). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung ('anak sekolah', 'mahasiswi', 'cewek SPG', 'cewek pemijat', 'ibu-ibu rumah tangga', 'ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kab Majalengka, di luar Majalengka atau di luar negeri.
Kalau Pemkab Majalengka tidak bisa menjamin, maka penyebaran HIV akan terus terjadi. Maka, yang perlu dilakukan Pemkab Majalengka adalah mewajibkan penduduk dewasa memakai kondom jika melakukan perilaku (a) atau (b) atau dua-duanya.
Jika Pemkab Majalengka tidak bisa menerapkan kewajiban memakai kondom, maka penyebaran HIV akan menjadi 'bom waktu' ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***