Mitos (anggapan yang salah) seputar HIV/AIDS menyuburkan stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Akibatnya, Odha sering mengalami pelanggaran etika, hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Perlakuan yang diskriminatif dan pelanggaran HAM yang sering dialami Odha antara lain penolakan di rumah sakit, pengucilan, PHK, penolakan klaim asuransi, pemulangan pekerja seks ke daerah asalnya, pelacakan pekerja seks yang positif HIV, dan pemaksaan tes HIV tanpa prosedur standar operasi, serta skirining terhadap calon karyawan dan karyawati secara terselubung.
Salah satu bentuk pelanggaran HAM terkait Odha puncaknya terjadi ketika RS Medistra Jakarta menolak seorang pasien dr. Sjamsurizal Djauzi, DSPD, yang positif HIV (Agustus 1996). Begitu pula dengan yang dialami oleh Cici (bukan nama sebenarnya, sudah meninggal) ketika itu berumur 23 tahun, seorang Odha di Kab. Karawang, Jabar, yang dipulangkan dari Riau (1993). Di desanya dia menjadi tontonan masyarakat karena digiring oleh aparat keamanan ke Puskesmas. Rupanya, Cici menolak diambil darahnya di Puskesmas untuk tes HIV karena dia hanya mau dites di RSCM. Tapi, tim dari dinas kesehatan setempat tetap memaksanya agar darahnya diambil di Puskesmas itu.
[Baca juga: Derita Panjang Seorang Odha Sebelum Hembuskan Napas Terakhir]
Pelanggaran HAM
Begitu pula dengan Cece (bukan nama sebenarnya, sudah meninggal) ketika itu berumur 22 tahun. Dia juga penduduk Kabupaten Karawang, Jabar, yang dipulangkan bersama Cici. Status HIV-nya diketahui penduduk karena dibeberkan aparat desa dan wartawan pun datang bersama aparat ke rumahnya. Akibatnya, penduduk mengucilkan keluarga Cece. Keluarga ini pun terpaksa pindah dari satu desa ke desa lain karena masyarakat mengucilkan mereka. Tidak ada yang mau membeli kue ibu Cece. Tidak ada pula yang memberikan pekerjaan kepada ayah Cece sebagai buruh tani. Masyarakat mendapat informasi yang salah tentang HIV dan AIDS dari aparat dan media massa. Pemberitaan mengesankan HIV menular melalui pergaulan sehari-hari sehingga penduduk menghindari mereka.
[Baca juga: Media Massa Menceraiberaikan Keluarga Kartam*]
Aparat di sebuah desa di Kab. Sumedang, Jabar, juga tidak lagi melihat perkawinan sebagai hak asasi Onah (bukan nama sebenarnya), 24, seorang Odha di sana. Mereka mau memberikan izin menikah hanya karena menganggap Onah tinggal menunggu ajal. Onah pun dikucilkan. Ada petugas Puskesmas yang mengatakan ‘penyakit’ Onah bisa menular melalui udara. Bahkan, ketika itu status HIV Onah pun belum dikonfirmasi dengan Western Blot karena tes yang dilakukan dalam sebuah serosurvei baru tes ELISA. Tapi, jajaran pemda dan instansi terkait di sana sudah ‘memvonis’ Onah sebagai Odha. Akibatnya, semua gejala (penyakit) yang dialaminya langsung dikaitkan penduduk dengan AIDS dan kematian.
Pasangan Odha di Ujungpandang, Sulsel, juga harus berpindah-pindah karena diusir pemilik rumah ketika mereka dikenali sebagai ‘pasangan Odha’. Anik (bukan nama sebenarnya, sudah meninggal), salah satu dari pasangan itu sepuluh kali pindah rumah karena pemilik rumah yang dikontraknya mengenalinya sebagai ’pasangan odha’.
Rupanya, pemilik rumah mengingat-ingat wajah Anik sebagai pasangan Odha. Soalnya, ketika Anik menikah media massa memberitakannya lengkap dengan foto pernikahannya. Selama hidupnya Anik selalu was-was karena ia takut ada yang mengenalinya, sehingga ia pun tidak bisa lagi mencari nafkah sebagai penata rambut.
[Baca juga: Berkali-kali Diusir Karena Dikenal Sebagai 'Pengantin AIDS']
Akibatnya, Anik hanya bisa ’mengemis’ kepada teman atau orang yang dikenalnya. ”Kalau saya tidak ditangkap saya tidak ’ngemis’ ke Abang,” kata Anik kepada penulis dalam berbagai kesempatan. Rupanya, Anik merupakan korban penanggulangan HIV/AIDS yang tidak mengikuti standar prosedur operasi. Dia ditangkap di ’jalan vagina raya’ (julukan untuk nama sebuah jalan di dekat pelabuhan laut Makassar yang merupakan tempat mangkal pekerja seks). Tanpa konseling langsung dia jalani tes HIV. Hasil tes dan identitasnya pun tersebar luas melalui media massa.
Perlakuan yang diskriminatif terhadap Odha merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Stigmatisasi terhadap Odha juga merupakan pelanggaran HAM. Selain melanggar HAM perlakuan diskriminatif dan stigmatisasi terhadap Odha juga merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Dalam UU HAM disebutkan: ”Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau pun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”
Ironis, memang. Yang melecehkan HAM Odha justru yang melek hukum, tapi di sisi lain banyak pula Odha, seperti Cici, Cece, Onah, Anik, dan lain-lain yang tidak memahami hak-hak mereka sebagai warga negara. Seharusnya, jajaran pemda dan instansi-instansi pemerintah lebih memahami hak, perlindungan hukum dan HAM bagi Odha.
Dalam Strategi Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia (Keputusan Menko Kesra No. KEP/MENKO/KESRA/VI/1994) disebutkan: Setiap kebijakan, program, pelayanan dan kegiatan harus tetap menghormati harkat dan martabat dari pada pengidap HIV/penderita AIDS dan keluarganya. Selain itu disebutkan pula: Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV/AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent). Sebelum dan sesudah tes HIV harus diberikan konseling yang memadai dan hasil pemeriksaan wajib dirahasiakan.
Kondisi Rentan
Berkaitan dengan pelanggaran hukum dan HAM ini praktisi hukum peduli HIV/AIDS di Bali mengeluarkan Pernyataan Sanur (8/5-1998) yang antara lain menyebutkan: Diperlukan perlindungan hukum atas hak privasi, perlindungan terhadap Odha dan keluarganya sampai Odha meninggal dunia, perlindungan terhadap pemaksaan untuk menjalani tes HIV, perlindungan atas kebebasan dan keamanan Odha, perlindungan atas kebebasan dari perlakuan yang tidak manusiawi, serta perlindungan atas hak untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan.
Perlakuan diskriminatif dan pemberian stigma terhadap Odha terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV dan AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga penularan HIV dikaitkan dengan perilaku (negatif). Akibatnya, ada kesan bahwa orang-orang yang tertular HIV karena ulah mereka sendiri.
Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan ’seks bebas’. Selain ngawur istilah ini pun mengesankan perilaku yang tidak bermoral. ’Seks bebas’ adalah terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak dikenal dalam kosakata Bahasa Inggris. Istilah ini muncul di tahun 1970-an yang merujuk ke perilaku sebagian remaja ketika itu.
Memakai ’seks bebas’ dalam kaitan dengan penularan HIV akan mendorong masyarakat untuk memberikan cap buruk dan diskriminasi terhadap orang-orang yang tertular HIV.
Kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai zina dalam berbagai bentuk maka sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah. Tapi, karena informasi yang menyesatkan akhirnya masyarakat menyimpulkan bahwa penularan HIV terjadi karena ’seks bebas’. Kondisi ini lagi-lagi menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap Odha. Akan jauh lebih arif kalau istilah ’seks bebas’ dihapus dari materi KIE HIV dan AIDS dan diganti dengan seks tidak aman atau seks berisiko.
Tanpa perlindungan hukum dan HAM yang konsisten maka kian banyak orang yang berada pada posisi rentan tertular HIV. Misalnya, bias gender yang menempatkan perempuan sebagai sub-ordinat dari laki-laki. Perempuan, seperti ibu-ibu rumah tangga, berada pada posisi yang rentan tertular HIV karena mereka tidak bisa memaksa suaminya memakai kondom ketika mereka mengetahui perilaku seks suaminya di luar rumah.
Begitu pula dengan pekerja seks komersial (PSK) yang tidak bisa memaksa tamunya untuk memakai kondom. Hal yang sama juga dialami oleh anak-anak dan perempuan yang diperdagangkan sebagai ’budak seks’. Mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seks. Anak-anak jalanan juga berada pada posisi yang sangat rentan tertular HIV karena mereka menjadi objek bagi ’penguasa’ jalanan.
Itu semua terjadi karena tidak ada perlindungan hukum dan HAM bagi kalangan yang berada pada posisi rentan. Mereka tidak bisa mewujudkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Kondisi ini merupakan salah satu aspek yang menghambat penanggulangan epidemi HIV.
Untuk itulah hak hukum dan HAM, terutama bagi Odha, perlu diwujudkan agar mereka bisa mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat sehingga tidak ada lagi Odha yang menjadi korban stigmatisasi dan diskriminasi. ***