Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Diskriminatif, Tes HIV Khusus untuk TKW di Prov NTB

15 Juni 2011   11:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:29 180 0

Kepanikan menghadapi penyebaran HIV lagi-lagi memunculkan langkah atau tindakan yang tidak rasional. Bahkan, langkah yang dilakukan atas nama penanggulangan HIV/AIDS justru bersifat diskriminatif (membeda-bedakan).Itulah yang terjadi di Prov Nusa Tenggara Barat (NTB).

Lihatlah yang diusulkan oleh Kepala Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi NTB, H. Soeharmanto, ini: ‘ …. agar Proivinsi NTB membuat regulasi baru untuk  melakukan pemeriksaan kepada  Tenaga Kerja Indonesia (TKI) saat tiba bandara dan pelabuhan. Pemeriksaan ini adalah bagian terpenting untuk mencegah meluasnya HIV/AIDS.’ (KPA NTB Minta Pemeriksaan HIV/AIDS TKI, www.rri.co.id, 5/6-2011).

Wacana ini sebenarnya sudah muncul tahun 2009 yaitu ketika KPA NTB akan memeriksa setiap TKI yang baru pulang dari luar negeri untuk mencegah peningkatan kasus HIV dan AIDS di NTB (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/14/tes-hiv-khusus-untuk-tki-menyuburkan-stigma/).

Agaknya, Pemprov NTB ‘kaget’ melihat pertambahan kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun yang kian menunjukkan angka yang riil. Sampai April 2011 kasus kumulatif HIV/AIDS sudah dilaporkan 449 yang terdiri atas241 HIV, dan 208 AIDS dengan119 kematian. Disebutkan pula 89 Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.

Celakanya, dalam berita tidak disebutkan alasan yang rasional mengapa hanya TKI yang harus menjalani tes HIV ketika tiba di NTB. Kalau alasannya karena baru pulang dari luar negeri maka langkah yang ditempuh KPA NTB itu jelas merupakan bentuk diskriminasi yang merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Soalnya, mengapa hanya TKI yang wajib tes HIV ketika tiba di NTB sepulang dari luar negeri?

Kalau adil tentulah semua penduduk NTB yang baru pulang dari luar negeri, diplomat, pengusaha, pedagang, politikus, pelancong dll. juga harus menjalani tes HIV.

Terkait dengan TKI, pertanyaannya adalah: Apakah semua TKI menjalani tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi yang baku ketika hendak kerja ke luar negeri?

Kalau jawabannya TIDAK, maka bisa saja TKI itu sudah tertular HIV ketika meninggalkan NTB.

Disebutkan lagi oleh Soeharmanto: "Kita mengupayakan agar mereka diperiksa, mulai rekuitmen sampai keberangkatan harus lancar, juga pulang mereka harus diperiksa sehingga terdeteksi."

Lagi-lagi pertanyaannya: Mengapa hanya (calon) TKI yang diperiksa sejak rekrutmen sampai keberangkatan?

Langkah itu lagi-lagi diskriminatif. Setiap orang, terutama laki-laki, mempunyai kesempatan yangsama melakukan perilaku berisiko tertular HIV di luar negeri. Lalu, mengapa hanya TKI yang harus menjalani tes HIV?

Masih menurut Soeharmanto, pihaknya sedang menjalin kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati peduli HIV/AIDS untuk mengetahui jumlah warga yang terdekteksi mengidap HIV/AIDS, sehingga dapat dilakukan penanganan secara tepat dan mendapatkan perawatan.

Yang perlu dilakukan adalah sistem atau mekanisme yang rasional untuk mendeteksi penduduk yang mengidap HIV. Malaysia, misalnya, menjalanan survailans rutin, sentinel dan khusus sehingga kasus yang ’tersembunyi’ di masyarakat dapat dideteksi (Lihat Gambar).

Sayang, peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS yang diterbitkan Pemprov NTB sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait penanggulangan HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/22/menyorot-kinerja-perda-aids-ntb/).

Kepanikan KPA Prov NTB terkait dengan kasus HIV/AIDS terjadi karena TKW yang baru pulang ada yang terdeteksi HIV. Nah, kalau ini persoalannya tentulah yang perlu dilakukan adalah memberikan pegangan kepada TKI khususnya TKW tentang cara-cara melindungi diri agar tidak tertular HIV.

Misalnya, ketika seorang TKW diperkosa, maka:

(a) Apa yang bisa dilakukanya untuk mereduksi kemungkinan tertular HIV?

(b) Ke mana mereka meminta pertolongan?

Selain itu jika ada TKW yang dijadikan ’budak seks’, apa yang harus mereka lakukan?

Kalau ada TKW yang dijadikan ’istri’, apa pula yang harus mereka lakukan agar terhindar dari kemungkinan tertular HIV?

Soalnya, di beberapa negara tujuan TKI prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif) HIV/AIDS sangat tinggi sehingga risiko tertular HIV juga sangat besar. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun