Agaknya, masih saja ada yang tidak memahami cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Lihatlah pernyataan dalam berita ini: “Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Banten, menyebutkan telah terjadi peningkatan penderita HIV/AIDS setiap tahunnya.” (Penderita HIV/AIDS di Tangsel Setiap Tahun Meningkat, antaranews, 13/6-2011). Berita yang sama juga ada di republika.com, dan metrotvnews.com.
Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya. Maka, biar pun ada kematian tetap saja angka laporan tidak akan berkurang. Yang terjadi bukan peningkatan, tapi bertambah (dengan kasus baru).
Kasus HIV/AIDS di Tangsel yang dilaporkan sejak tahun 2007, pada tahun 2011 sudah tercatat 9 AIDS dan 54 HIV.
Disebutkan oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit dan Penyakit Lingkungan, Dinas Kesehatan Kota Tangsel, dr Trie Utami Pertiwi: ‘ …. penderita HIV mencapai 54 kasus dan yang positif AIDS mencapai sembilan orang.’
Yang positif adalah HIV, sedangkan AIDS adalah masa yang terjadi setelah tertular HIV antara 5 – 15 tahun.
Dikatakan oleh Trie: ‘ …. peningkatan penderita HIV/AIDS dikarenakan semakin banyaknya tempat hiburan malam, panti pijat, penyalahgunaan narkotika, dan tempat-tempat prostitusi.”
Pertanyaannya adalah:
Apakah penduduk yang terdeteksi HIV/AIDS merupakan pelanggan tempat hiburan dan tempat-tempat prostitusi di Tangsel? Dalam berita tidak ada penjelasan sehingga bisa saja penduduk yang terdeteksi HIV/AIDS tertular di tempat lain.
Apakah di tempat-tempat hiburan yang ada di Tangsel ada tempat untuk melakukan hubungan seksual? Kalau YA, maka penyebaran HIV akan menjadi persoalan besar jika tidak ada program yang konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dari penduduk ke pekerja seks komersial (PSK) dan sebaliknya.
Tahun berapa tempat-tempat hiburan dan tempat prostitusi mulai ada di Tangsel? Tidak ada penjelasan sehingga ada kemungkinan penularan pada kasus HIV/AIDS yang terdeteksi terjadi sebelum ada tempat hiburan dan tempat prostitusi di Kota Tangsel.
Jika dilihat dari 9 kasus AIDS, maka mereka sudah tertular minimal 5 tahun yang lalu. Bahkan, kalau dikaitkan dengan statistik masa AIDS maka rentang waktu penularan pada 9 kasus AIDS itu adalah antara tahun 1996 dan 2006 (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/04/15/%E2%80%99daerah-rawan-aids%E2%80%99-di-kota-tangerang-selatan-banten/).
Disebutkan pula: ’ …. Kota Tangerang sebagai daerah pemekaran Kab Tangerang berdekatan dengan daerah besar lainnya seperti Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi.”
Hal yang sama juga akan dilakukan oleh Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi. Mereka juga akan bilang daerah kami dekat dengan Kota Tangsel yang ada kasus HIV/AIDS-nya.
Trie berharap agar Pemkot Tangsel melalui Satpol PP dapat mengatasi lokalisasi ilegal yang masih memicu suburnya angka penderita HIV/AIDS.
Penyebaran HIV/AIDS tidak ada kaitannya dengan status lokalisasi, apakah legal atau ilegal. Yang perlu diingat tidak ada satu negara pun di dunia yang melegalkan prostitusi, tapi membuat regulasi yaitu dengan menyediakan lokalisasi.
Yang perlu dilakukan Pemkot Tangsel adalah melakukan intervensi terhadap laki-laki ’hidung belang’ penduduk Kota Tangsel yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di tempat-tempat hiburan dan prostitusi di Kota Tangsel atau di luar Kota Tangsel (Lihat Gambar).
Disebutkan lagi: "Dinkes pun akan berupaya melakukan sosialisasi dengan melakukan penyuluhan tentang bahaya HIV/AIDS kepada masyarakat tapi lokasi prostitusi pun harus ditutup."
Biar pun lokasi prostitusi ditutup risiko penduduk tertular HIV tetap ada karena di luar Kota Tangsel atau di luar negeri tetap ada pelacuran. Maka, yang diperlukan adalah intervensi kepada penduduk, terutama laki-laki, dengan mewajibkan memakai kondom jika melakukan hubungan seksual yang berisiko tertularHIV Sekjen MUI Tangsel, Abdul Rojak, mengatakan: ’ .... pemerintah harus tegas dengan cara membuat peraturan daerah tentang anti pelacuran seperti di Kota Tangerang.’
Apakah di Kota Tangerang bisa dijamin tidak ada praktek pelacuran?
Sebuah LSM yang melakukan penjangkuan di Kota Tangerang mendampangi 50 PSK yang mangkal di berbagai tempat dan 50 waria dan lelaki suka seks lelaki (LSL).
Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak di Kota Tangerang membuktikan bahwa suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan lain di Kota Tangerang atau di luar Kota Tangerang (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/16/aids-pada-balita-di-kota-tangerang-suami-suami-sebagai-penyebar-hiv/).
Pemprov Banten sendiri sudah menelurkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perda Prov Banten No 6 Tahun 2010 tanggal 19 November 2010. Tapi, karena tidak menyentuh akar persoalan maka perda itu tidak bisa diandalkan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/05/perda-aids-prov-banten-menanggulangi-aids-dengan-pasal-pasal-normatif/).
Selama penanggulangan HIV/AIDS dilakukan dengan cara-cara yang tidak rasional, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terjadi. Pemkot Tangsel tinggal menunggu ’panen’ AIDS karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. ***