Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

AIDS di Kota Cilegon, Banten: PSK Jadi ‘Sasaran Tembak’

12 Juni 2011   11:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 546 0
[caption id="attachment_116160" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Ketika kasus HIV/AIDS mulai ’meresahkan’, maka langkah yang muncul sering tidak rasional dan cenderung mencari ’kambing hitam’. Itulah yang terjadi di banyak daerah. ‘Sasaran tembak’ yang empuk adalah pekerja seks komersial (PSK).

Maka, tidak mengherankan kalau kemudian Dinas Kesehatan Cilegon, Banten, melakukan tes darah kepada puluhan PSK di sejumlah tempat hiburan malam (PSK di Cilegon Dites Darah, www.metrotvnews.com, 11/6-2011).

Pertanyaannya adalah: Apakah PSK di tempat-tempat hiburan malam itu melakukan hubungan seksual di tempat?

Kalau jawabannya YA, maka PSK itu termasuk PSK langsung. Artinya, PSK melakukan transaksi seksual di tempat.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka PSK tsb. adalah PSK tidak langsung. Artinya, dalam kehidupan sehari-hari mereka bisa sebagai orang lain, seperti karyawan, mahasiswi, remaja ABG, pelajar, SPG, dll.

Jika kegiatan transaksi seks terjadi di tempat, maka tempat itu adalah lokasi pelacuran dan PSK-nya adalah PSK langsung.

Disebutkan: “Tak hanya itu, petugas juga membagikan alat kontrasepsi kepada para PSK.” Tidak semua alat kontrasepsi (alat untuk mencegah kehamilan) bisa sekaligus sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Hanya kondom yang bisa mencegah kehamilan dan sekaligus mencegah penularan HIV pada saat terjadi hubungan seksual.

Disebutkan pula: ”Itu dilakukan untuk mencegah penyakit HIV/AIDS pada kalangan PSK.” Dalam kaitan ini ada fakta yang dilupakan yaitu yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki penduduk Cilegon, asli atau pendatang. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, duda, lajang atau remaja. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat ke istri, pacar, selingkuhan atau PSK.

Penyebaran HIV di masyarakat dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Cilegon tercatat 203 dengan 34 kematian.

Disebutkan lagi: ”Jumlah tersebut meningkat ketimbang dua tahun lalu.” Pernyataan ini menunjukkan wartawan yang menulis berita ini tidak memahami cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia.

Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga tiap waktu akan bertambah. Bahkan, biar pun banyak kasus kematian tidak akan menurunkan angka laporan kasus.

Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang langkah yang akan diambil Pemkot Cilegon terkait dengan hasil tes HIV terhadap PSK.

Prov Banten sendiri sudah mempunyai peraturan darah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perda Pemprov Banten No Tahun , tapi sama seperti perda-perda lain yang ada di Indonesia Perda Banten itu pun tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/05/perda-aids-prov-banten-menanggulangi-aids-dengan-pasal-pasal-normatif/).

Kalau saja Pemkot Cilegon mau menerapkan langkah yang konkret dalam memutus mata rantai penyebaran HIV tentulah program ’wajib kondom 100 persen’ diterapkan di tempat-tempat hiburan.

Jika program penanggulangan tidak diterapkan dengan cara-cara yang rasional, maka penyebaran HIV di Kota Cilegon akan terus terjadi. Dan, kasus demi kasus akan terus terdeteksi. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun