Berdasarkan data di Dinas Kesehatan Prov Kepulauan Riau (Kepri) setiap tiga hari seorang pengidap HIV/AIDS meninggal karena penyakit terkait AIDS di daerah ini. Dari tahun 2000 sampai 2010 tercatat 488 kasus kamatian terkait AIDS di Kepri (Tiap Tiga Hari Satu Orang Mati Karena HIV AIDS, Tribun Batam, 23/5-2011).
Komentar wartawan di lead berita tsb. terkait dengan kematian itu adalah ‘mengejutkan’. Kalau saja wartawan memakai perspektif dalam menulis berita itu maka yang mengejutkan bukan 488 kematian, tapi penyebaran HIV yang dilakukan oleh 488 pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu.
Seseorang yang tertular HIV secara statistik memerlukan waktu antara 5 sampai 15 tahun untuk masuk ke masa AIDS. Pada masa AIDS inilah terjadi kematian karena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, pneumonia, TB, dll.
Nah, kalau 488 Odha yang meninggal itu mempunyai 1 pasangan maka ada 488 lagi penduduk Kepri yang berisiko tertular HIV secara horizontal, terutama melalui hubugan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Jika di antara 488 pasangan Odha yang meninggal itu ada perempuan maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal kepada bayi yang mereka kandung kelak.
Angka kasus akan bertambah kalau ada di antara 488 Odha yang meninggal itu mempunyai pasangan lebih dari satu. Penyebaran kian bertambah banyak kalau ada laki-laki di antara 488 Odha yang meninggal itu sebagai pelanggan pekerja seks komersial (PSK). Mereka menularkan HIV kepada PSK, kemudian ada laki-laki lain yang tertular HIV dari PSK tadi (Lihat Gambar 1).
[caption id="attachment_110344" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 1. Priode Penularan pada Odha yang Meninggal di Kepri "][/caption] Mata rantai penyebaran HIV itulah yang tidak dipahami secara komprensif sehingga wartawan sering hanya mengumbar angka (angka salah satu dari enam unsur layak berita). Tapi, jika angka diibaratkan sebagai bra (BH) maka yang lebih menarik tentulah yang di balik BH, artinya fakta atau realitas di balik angka itulah yang lebih menarik. Sayang, wartawan sering terjebak hanya pada angka tanpa membawanya ke realitas sosial. Dalam hal ini terkait dengan epidemi HIV.
Misalnya, hasil survai Kemenkes RI tahun 2010 menunjukkan di Tanjungpinang dari 300 ibu hamil terdeteksi 3 ibu hamil yang mengidap HIV. Di Karimun dari 300 ibu hamil terdeteksi 1 ibu hamil yang mengidap HIV.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kepri tahun 2009 tercatat 2.227 yang bertambah menjadi 2. 828 di tahun 2010.
Angka-angka itu tidak berbicara banyak. Tapi, kalau dibawa ke realitas sosial terkait dengan epidemi HIV tentulah akan lain hasilnya. Dari 3 ibu hamil yang terdeteksi HIV berarti ada 3 suami (laki-laki) yang mengidap HIV yaitu suami mereka. Kalau 3 suami ini mempunyai pasangan lebih dari 1 maka sudah ada beberapa perempuan lain yang berisiko tertular HIV. Kalau 3 suami itu juga menjadi pelanggan PSK, maka sudah ada pula PSK yang berisiko tertular HIV. Selanjuta, ada pula laki-laki lain pelanggan PSK yang berisiko tertular HIV.
Hasil survai terhadap PSK tahun 2010 di Batam menunjukkan dari 445 PSK yang disurvai terdeteksi HIV/AIDS pada 51 PSK atau 11,46 persen. Artinya, dalam 9 kali melalukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom ada kemungkinan sekali dilakukan dengan PSK yang mengidap HIV. Celakanya, laki-laki ‘hidung belang’ sering melakukan hubungan seksual dengan PSK. Kondisi kian runyam karena setiap malam PSK rata-rata meladeni tiga laki-laki. Maka, dalam satu bulan ada 306 laki-laki ‘hidung belang’ yang berisiko tertular HIV (51 PSK HIV-positif x 3 laki-laki x 20 hari kerja).
Berdasarkan data di atas tentulah pernyataan Agus, yang mewakili Tjetjep Yudiana Kadis Kesehatan Prov Kepri ini merupakan realitas sosial. Dia sebutkan: "Jumlah penderita terus meningkat secara nasional. Kepri termasuk nomor urut empat secara nasional dalam hal prevalensi HIV/AIDS.” Ya, jelas terus bertambah karena laki-laki yang menularkan HIV kepada ibu-ibu hamil tadi dan yang tertular dari PSK tidak terdeteksi sehingga mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Biar pun fakta sudah menunjukkan penyebaran HIV yang besar, tapi perangkat hukum seperti Perda AIDS Prov Kepri ternyata sama sekali tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/11/24/menakar-efektivitas-perda-aids-provinsi-kepulauan-riau/).
Misalnya, tidak ada pasal konkret yang bisa diandalkan untuk menekan insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual dengan PSK. Celakanya, lokalisasi pelacuran justru ditutup sehingga tidak ada lagi ruang untuk menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’ seperti yang dilakukan Thailand. Melalui program ini Thailand berhasil menekan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
Begitu pula dengan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (prevention-mother-to-child-transmission/PMTCT) tidak ada dalam perda tsb. Program ini bisa menekan risiko penularan ke bayi di bawah delapan persen. Artinya, dari 100 ibu hamil yang mengidap HIV ada delapan bayi yang tertular HIV. Tanpa program pencegahan risiko berkisar antara 15 – 30 persen.
Bandingkan dengan Malaysia yang menjalankan survailans rutin terhadap perempuan hamil sehingga perempuan hamil yang mengidap HIV bisa terdeteksi. Sedangkan di Kepri khususnya dan di Indonesia umumnya tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil.
Selama penanggulangan HIV/AIDS mengandalkan norma, moral dan agama maka selama itu pula informasi HIV/AIDS yang diterima masyarakat hanya sebatas mitos (anggapan yang salah). Maka, banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV dan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.
Celakanya, tidak ada intervensi Pemprov Riau untuk memutus mata rantai penyebaran HIV. Ada tiga langkah yang bisa dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV (dalam Gambar 2 ditunjukkan dengan garis panah putus-putus), yaitu:
[caption id="attachment_110346" align="aligncenter" width="435" caption="Gambar 2. Intervensi Pemprov Kepri Memutus Mata Rantai Penyebaran HIV di Kepri"][/caption]
Langkah pertama, mewajibkan laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom jika sanggama dengan PSK. Ini artinya harus ada lokalisasi pelacuran (melokalisir pelacuran bukan me-LEGAL-kan pelacuran, tapi membuat REGULASI artinya mengatur). Tidak ada satu pun negara di dunia yang melegalkan pelacuran, tapi membuat regulasi, al. dengan menyediakan lokalisasi.
Langkah kedua, mewajibkan laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom jika sanggama dengan istrinya.
Langkah ketiga, menerapkan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Jika tidak ada program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret, maka Pemprov Kepri tinggal menunggu ‘panen AIDS’ karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***