Bulan Agustus seakan-akan sebagai ‘bulan televisi nasional’ karena pada bulan itulah TVRI mengudara 32 tahun yang lalu, RCTI tujuh tahun lalu dan SCTV enam tahun lalu.
Kehadiran stasiun-stasiun televisi swasta (RCTI, SCTV, TPI, AN-Teve, dan Indosiar) serta siaran-siaran luar negeri yang hanya bisa ditangkap dengan decoder (CNN, TNT, HBO, ESPN dan Discovery) maupun tanpa decoder, seperti siaran-siaran televisi dari Muangthai, Filipina, Malaysia dan Singapura yang dapat ditangkap di beberapa daerah menyemarakkan dunia pertelevisian di Indonesia. Di samping itu masih ada belasan stasiun TVRI, mulai dari Jakarta sampai beberapa ibu kota provinsi.
Itulah sebabnya tidak mengherankan kalau sekarang televisi sudah sampai ke kamar tidur, tidak lagi sekedar pajangan di ruang tamu. Stasiun televisi CNN bahkan sudah menghadirkan peperangan dan pertumpahan darah sampai ke tempat tidur sejak stasiun televisi AS yang bermarkas di Atlanta, Georgia, AS, itu menayangkan Perang Teluk secara langsung (live) dari medan pertempuran.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan televisi mulai mengambil alih sebagian fungsi orang tua, sampai ada yang menyebutkan televisi sebagai electronic baby sitter. Misalnya, kebiasaan mendongeng ketika anak hendak tidur sudah hilang. Kemampuan orang tua, terutama ibu, sebagai story teller (pendogeng) pupus sudah. Apalagi selama ini pun sudah mulai ada pergesaran, terutama di kalangan menengah ke atas, karena yang meninabobokkan anak-anak bukan lagi ibunya tapi sudah diambil-alih oleh pembantu.
Dubbing
Kondisinya semakin runyam karena kebiasaan membaca di sebagian masyarakat pun sangat rendah sehingga kehadiran televisi kian menurunkan minat baca. Hal ini terjadi karena media habit masyarakat di saat televisi menerjang kamar tidur belum sampai ke tahap reading society (masyarakat pembaca). Akibatnya, media habit pun langsung melompat ke filming society (masyarakat penonton) yang seharusnya tercapai setelah melewati tahap reading society.
Banyak faktor yang mendcrong kondisi filming society. Umpamanya, menonton televisi tidak memerlukan konsentrasi yang tinggi, tidak mengeluarkan biaya (apalagi dibandingkan dengan harga buku di Indonesia yang tergolong mahal jika dibandingkan dengan negara lain), dan lain-lain. Jadi, tidaklah mengherankan kalau orang tetap menonton siaran televisi walaupun acara tersebut merupakan materi (film) yang sudah berulang-ulang disiarkan.
Kondisi filming society ini pun, pada gilirannya, akan mempengaruhi minat belajar. Pada tahap yang ekstrim hal ini akan meningkatkan angka buta huruf, terutama sejak stasiun-stasiun televisi nasional menyiarkan acara-acara yang di-dubbing (dialog) dengan bahasa Indonesia.
Dubbing ini pun, sebenarnya, bisa mempengaruhi persepsi sebagian masyarakat tentang berbagai hal, terutama kebudayaan dan pola hidup, yang digambarkan dalam acara-acara (film) yang di-dubbing tersebut. Yang pasti dengan dubbing seolah-olah tidak ada lagi jarak (budaya) dengan situasi film tersebut sehingga sebagian penonton melihatnya sebagai kondisi di Indonesia. Dalam keadaan yang ekstrim terjadi di Jepang ketika anak-anak melompat dari gedung pencakar langit dengan memakai kostum Batman. Di benak mereka tentulah orang akan bisa terbang seperti Batman karena film itu di-dubbing dengan bahasa Jepang.
Jadi, tidaklah mengherankan kalau kemudian kehadiran televisi menimbulkan perdebatan yang panjang tentang dampak (negatif) siaran televisi terhadap perilaku (behaviour) terutama pada anak-anak.Tapi, satu hal yang perlu diingat adalah, sebenarnya, tidak ada korelasi langsung antara tingkah laku dengan acara televisi.
Soalnya, kalau memang ada korelasi langsung antara siaran televisi dengan perilaku tentulah semua orang yang menonton satu acara akan berperilaku yang sama. Gambaran lain adalah ulah seorang pemuda penonton bioskop yang memperkosa dan membunuh seorang mahasiswi IPB Bogor tiga tahun lalu hanya karena pemuda itu baru menonton film kekerasan yang berbau seks. Alasan itu tentu tidak bisa diterima karena ternyata tidak semua yang menonton film itu melakukan hal yang sama.
Pembenaran
Jelas, hal itu tidak terjadi. Lagi pula, jauh sebelum kehadiran televisi kejahatan sudah merupakan salah satu karakter negatif dari perilaku manusia. Artinya, pengaruh televisi terhadap tingaktlaku yang agresif sangat dipengaruhi oleh kepribadian seseorang. Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari, efek dari suatu kondisi tidak akan langsung mempengaruhi semua orang.
Itu sebabnya sangat disayangkan kalau dalam salah satu episode serial ’Saat Memberi Saat Menerima’ yang ditayangkan RCTI (9/8-1995) yang menggambarkan seorang wanita dokter jatuh hati kepada seorang dokter yang sudah beristri hanya karena mereka berdua orang baru di rumah sakit tempat mereka bekerja. Dan, wanita dokter itu pun dengan bangga mengatakan bahwa pacarnya itu akan menceraikan istrinya tapi bukan karena kehadirannya. Padahal, dalam adegan berikutnya jelas digambarkan bahwa wanita dokter yang mabuk kepayang itu mengganggu ketenteraman keluarga pacarnya karena memintanya agar segera datang ke rumahnya. Pak Dokter terpaksa membohongi anak dan istrinya agar bisa memenuhi permintaan pacarnya.
Hal tersebut tentu saja berdampak negatif terhadap kehidupan karena merupakan pembenaran dari sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma (sosial). Kalau memang demikian halnya semua dokter, perawat, dan karyawan baru semestinya saling jatuh cinta. Tapi, faktanya tidak demikian sehingga hal itu sangat tergantung kepada kepribadian seseorang.
Yang jelas materi-materi acara tersebut akan masuk ke alam pikiran penontonnya, tapi tidak langsung mempengaruhinya karena hal tersebut terlebih dahulu mengendap di bawah alam sadarnya. Langkah selanjutnya akan terjadi proses dalam diri seseorang tentang materi yang mengendap tadi. Eksesnya sangat tergantung pada kepribadian seseorang. Dalam konteks inilah, agaknya, pertahanan diri perlu dikembangkan, misalnya dalam sektor pendidikan baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga.
Buktinya, biar pun daam film-film Hollywodd digambarkan betapa longgarnya norma sosial di AS, tapi ada pegawai instansi penegak hukum Indonesia yang tugas belajar di sana digugat karena dinilai melakukan pelecehan seksual. Jika berpijak pada film di bioskop dan televisi tentulah tidak ada pelecahan seksual di sana. Wong, kenalan di bar saja sudah bisa diajak ke tempat tidur. Tapi, tuntutan terhadap penegak hukum Indonesia itu membuktikan bahwa gambaran di film dan acara televisi jaruh dari realitas yang sebenarnya di masyarakat. Padahal, aparat penegak hukum itu hanya nyelutuk yang berbau seks kepada pegawai administrasi di kampus.
Begitu pula dengan film-film porno (blue film) yang menggambarkan hubungan seksual bisa berlangsung lama. Hal inilah, antara lain, yang mendorong banyak orang terutama kalangan muda terpengaruh untuk membeli obat agar bisa long play. Padahal, ada joke di sekitar blue film ini: Ketika mulai melakukan adegan pemanasan (foul play) pria masih klimis, tapi ketika terjadi klimaks (ejakulasi) pria tadi sudah berewokan. Artinya, film itu bisa saja dibuat berulang-ulang sehingga menggambarkan satu kondisi yang berlangsung terus-menerus.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi dampak negatif tayangan film dan televisi adalah menjelaskan bahwa acara tersebut bukan gambaran yang sesungguhnya, tapi merupakan adegan yang dirancang melalui skenario. Begitu pula dengan adegan seks dan kekerasan merupakan adegan yang dibuat untuk hiburan belaka (entertaintment). ***
* Dimuat di Harian “JAYAKARTA”, 13 Agustus 1996.