Di beberapa daerah kasus HIV/AIDS ada yang terdeteksipada tenaga kerja Indonesia (TKI) khususnya tenaga kerja wanita (TKW), yang pulang dari luar negeri. Tapi, ada diskriminasi terkait dengan TKI yang bekerja di luar negeri yaitu yang dijadikan ‘sasaran’ tes HIV hanya perempuan (TKW), sedangkan laki-laki lolos dari sasaran tembak.
Kepanikan terkait dengan penemuan HIV/AIDS pada TKW sangat reaktif. Disnaker NTB, misalnya, mengajukan usul agar semua TKW yang baru pula menjalani tes HIV. Ini diskriminatif karena: kalau konteksnya luar negeri maka semua penduduk NTB yang baru pulang dari luar negeri: pelancong, bisnis, diplomat, termasuk yang menjalankan kegiatan agama, juga harus menjalani tes HIV.
Kasus-kasus HIV/AIDS pada TKW merupakan kelemahan penanganan dalam menyiapkan bekal bagi TKW. Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDSNasional (KPAN), Nafsiah Mboi, mengatakan perlindungan terhadap, terutama terkait dengan HIV/AIDS harus dibenahi. TKI dianggap sangat rawan terkena penyakit itu (Pelayanan HIV/Aids untuk TKI Harus Dibenahi, TEMPO Interaktif, 16/3-2011).
Maka, hasil tes positif terhadap TKW yang (baru) pulang dari luar negeri perlu dipertanyakan: Apakah TKW tersebut menjalani tes HIV, sesuai dengan stardar tesHIV yanb baku, ketika hendak berangkat ke luar negeri?
Kalau jawabannya TIDAK, maka ada kemungkinan ketika berangkat ke luar negeri TKW itu sudah mengidap HIV. Bisa saja tes HIV yang dilakukan ketika masa jendela (TKW tertular HIV di bwah tiga bulan). Menurut Nafsiah, “ …. belum adanya peraturan yang mengharuskan TKI yang akan bekerja ke luar negeri untuk diperiksa apakah terkena HIV/Aids atau tidak.”
Memang, tidak ada kewajiban tes HIV bagi calon TKW karena mewajibkan tes HIV merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Tapi, bisa disiasati melalaui kegiatna konseling (bimbingan).
Semua calon TKI, terutama TKW, dikonseling. Dari hasil konseling bisa diketahui perilaku calon TKI: berisiko atau tidak berisiko. Bagi yang berisiko dianjurkan untuk menjalani tes HIV, sedangkan yang tidak berisiko juga dikonseling agar mereka menjaga perilakunya tetap tidak berisiko (Lihat Gambar).