* Raperda AIDS Kota Pontianak Terganjal Pasal Kondom
Biar pun kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kalangan ibu-ibu rumah tangga (istri) sudah banyak, data terakhir menunjukkan angka 1.970, tapi asumsi terhadap kondom sebagai pendorong laki-laki berzina belum juga pupus. Bahkan, dikabarkan Raperda (rancangan peraturan daerah) HIV/AIDS Kota Pontianak terganjal pasal tentang kondom (Kondom Ganjal Raperda HIV/AIDS, kalbar-online.com, 13/3-2011).
Kasus penularan HIV secara global dan nasional didorong oleh faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual, terutama heteroseksual, tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Maka, salah satu cara untuk memutus mata rantai penyebaran HIV melalui hubungan seksual adalah laki-laki memakai kondom pada hubungan seksual yang berisiko tertularHIV.
Kalau asumsi yang mengatakan kondom mendorong laki-laki berzina tentulah tidak akan ada istri yang tertular HIV dari suaminya. Maka, fakta tentang istri yang mengidap HIV memupus asumsi itu karena para suami (laki-laki) tertular HIV dari perempuan lain melalui hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, karena tidak memakai kondom.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Pontianak sampai saat ini adalah 1.280 HIV-positif dan 756 AIDS. Angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV. Ini terjadi karena tidak ada gejala yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Tapi, pada rentang waktu itu sudah bisa terjadi penularan HIV, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan: “Pengadaan kondom diperkirakan bakal menjadi batu sandungan penyelesaian Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang HIV/AIDS. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pontianak, masih harus menyamakan persepsi dengan tokoh agama soal itu, sebelum membahas Raperda bersama Badan Legislasi (Banleg).”
Pembuatan Perda AIDS di Indonesia, yang dimulai di Kab Nabire, Papua (2003) sampai sekarang sudah ada 44 perda AIDS. Prov Kalimantan Barat pun sudah menelurkan Perda No 2 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Kalimantan Barat. Di pasal 15 ayat 1 huruf b disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi setiap orang agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain yang meliputi Program Pemakaian Kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko.”
Tapi, karena dalam perda tsb. tidak ada mekanisme yang konkret untuk menerapkan pasal itu maka pencegahan itu pun tidak membuahkan hasil. Sama seperti semua perda yang sudah ada tidak ada pasal yang menawarkan cara pencegahan yang konkret, termasuk Perda AIDS Kalbar (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/24/menakar-kerja-perda-aids-provinsi-kalimantan-barat/).
Karena Kota Pontianak ada di Prov Kalimantan Barat tentulah rancangan Perda Kota Pontianak perlu mengacu ke Perda Prov Kalbar. Tapi,mengapa Pemkot Pontianak dan DPRD Kota Pontianak tidak mengacu ke Perda AIDS Prov Kalbar? (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/03/penyangkalan-terhadap-penyebaran-hivaids-di-kota-pontianak/).
Anggota Komisi D DPRD Kota Pontianak, Mudjiono, mengatakan: “Kami masih mencoba untuk menyamakan persepsi dengan tokoh agama. Karena pengadaan kondom dalam Raperda masih dianggap tabu.” Ini cara berpikir yang naïf karena kondom adalah alat seperti layaknya pisau. Kalau ada anggapan kondom mendorong perzinaan dan melegalkan pelacuran, maka karena pisau bisa jadi alat untuk membunuh maka pisau pun dilarang beredar.
Mudjiono menambahkan: “Kita butuh sinkronisasi agar Perda ini tidak bermasalah atau dipermasalahkan nantinya. DPRD hanya ingin menekan laju penyakit mematikan ini."
Yang perlu dipermasalahkan kelak adalah: Apakah perda itu mempunyai perangkat yang konkret untuk mencegah penularan HIV? Soalnya, ide pembuatan perda AIDS di Indonesia datang dari Thailand. Negeri itu berhasil menekan kasus infeksi HIV baru melalui hubungan seksual pada laki-laki dewasa dengan menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’ di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Pemerintah daerah di Indonesia setengah hati mengadopsi program itu dalam Perda AIDS karena HIV/AIDS selalu dipahami dengan moral. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang rasional.
Maka, ada pertanyaan: Apakah Pemkot Pontianak, DPRD Kota Pontianak, organisasi keagamaan dan masyarakat bisa menjadi tidak akan ada laki-laki dewasa penduduk Kota Pontianak, asli atau pendatang, yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan di Kota Potianak atau di luar Kota Pontianak?
Kalau jawabannya YA, maka tidak ada persoalan penularan HIV melalui hubungan seksual sehingga dalam raperda tidak perlu ada pasal kondom, sehingga yang diatur adalah penyebaran HIV melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dan tranfusi darah.
Disebutkan pula: “Penderita umumnya adalah kelompok masyarakat yang rentan tertular virus AIDS tersebut.” Jika yang dimaksud sebagai ‘kelompok rentan’ adalah pekerja seks komersial (PSK), maka ada fakta yang luput dari perhatian yaitu laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Pasal yang perlu ada di perda itu kelak adalah: “Setiap laki-laki diwajibkan memakai kondom jika melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, di wilayah Kota Pontianak atau di luar wilayah Kota Pontianak serta di luar negeri dengan perempuan secara bergati-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSKdi jalanan, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang ), PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta perempuan pelaku kawin cerai.”
Pasal ini merupakan intervensi langsung terhadap perilaku laki-laki dewasa yang berisiko untuk memutus mata rantai penyebaran HIV antara laki-laki dan PSK langsung dan PSK tidak langsung. Jika ini tidak berhasil maka intervensi bisa dilakukan yaitu kewajiban memakai kondom pada hubungan seksual dengan istri bagi laki-laki yang perilakunya berisiko. Kalau ini pun tidak berhasil, misalnya, ibu-ibu rumah tangga yang terdeteks HIV-positif maka intervensi dilakukan melalui program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Dalam Gambar 1 ditunjukkan dengan garis panah putus-putus.
Jika Raperda AIDS Kota Pontianak juga tidak menawarkan cara-cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV, maka perda itu pun kelak nasibnya sia-sia sama dengan perda-perda yang sudah ada, bahkan senasib dengan perda ‘induk’ yaitu Perda AIDS Kalbar. ***