Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Istana yang Hyperreactive Menanggapi Berita di The Age

13 Maret 2011   09:42 Diperbarui: 14 Februari 2024   15:10 216 1

Berita di dua surat kabar Australia yaitu The Age dan Sydney Morning Herald tanggal 11/3-2011 seakan ‘petir di siang bolong’ karena menusuk ke ‘jantung istana’. Komentar yang muncul pun kemudian menggambarkan hyperreactive (tanggapan yang melebihi takaran) dan mengabaikan kredibilitas media massa di ranah publik. Bahkan, ada yang mengatakan berita itu sebagai ‘sampah’.

The Age dan Sidney Morning Herald mengutip informasi yang ada di Wikileaks berupa bocoran kawat diplomatik Kedubes AS di Jakarta dengan Kemenlu AS di Washington tentang campur tangan SBY dalam kasus Taufiq Kiemas, suami mantan presiden Megawati Sukarnoputri, sekarang Ketua MPR RI. Berita dikemas dengan judul Yudhoyono ‘abused power’ dengan sub-judul Cables accuse Indonesian President of Corruption.

Dalam bocoran itu disebutkan, Presiden SBY menyarankan Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk menghentikan penyelidikan kasus korupsi proyek infrastruktur besar seperti, proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR), pengadaan rel kereta api ganda Merak-Banyuwangi, proyek Jalan Raya Trans-Kalimantan, dan proyek jalan raya trans-Papua. Selain itu ada pula kabar miring tentang Ibu Negara.

Juru bicara kepresidenan, Julian A Pasha, menilai isi artikel salah satu koran di Australia, The Age, yang menyudutkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sampah. "Apa diberitakan di The Age tidak berdasarkan fakta, patut dipertanyakan. Itu tidak lebih dari sampah," seperti dilansir INILAH.COM  (11/3/2011).

Dalam dunia jurnalistik berita merupakan rekonstruksi fakta. Dalam kaitan The Age fakta yang dijadikan berita adalah informasi yang bersumber dari Wikileaks. Terlepas dari cara Wikileaks mendapatkan kawat diplomatik itu, yang jelas The Age menyebutkan sumber berita dengan jelas. Bahkan, berita itu ditulis by line (nama wartawan ditulis). The Age mengutip informasi yang sudah muncul di ranah publik melalui situs Wikileaks.

Informasi dalam kawat diplomatik itu merupakan bahan yang diperoleh agen intelijen atau diplomat melalui berbagai cara. Informasi yang dikirim dalam bentuk kawat diplomatik itu merupakan rekonstruksi hasil kerja intelijen. Kemungkinan kawat itu bocor bisa saja dalam perjalanan atau di Kemlu AS di Washington (Lihat Gambar 1).

Gambar 1 (Koleksi Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Tidak jelas apa yang dimaksud Julian berita dengan klassifikasi ’sampah’ karena semua berita yang diterbitkan media massa sudah melalui proses jurnalistik yang baku di media bersangkutan. Berita The Age tentang bocoran kawat diplomatik itu merupakan realitas media di ranah publik dengan sumber yang jelas.

Dalam talk show di TVOne (12/3) Julian mengatakan bahwa Wikileaks menerima informasi dari siapa saja dengan imbalan uang. Inilah yang dimaksud Julian sebagai sampah. Tapi, tunggu dulu. Apakah semua informasi akan otomatis dipublikasikan oleh Wikileaks? Tentu saja tidak karena biar pun hanya sebagai situs Wikileaks juga mempunyai kriteria informasi yang layak dipublikasikan, biar pun hanya di dunia maya.

Di tahun 1970-an, misalnya, beberapa media nasional mendapat peringatan keras karena menulis berita tentang muntaber. Rupanya, bagi pemerintah waktu itu ’muntaber’ merupakan aib. Tapi, ada beberapa medaia yang luput dari peringatan karena tiadk menulis ’muntaber’. Media tsb. menyebut muntaber sebagai penyakit dengan gejala muntah-muntah dan berak-berak dan diberi obat oralit. Ini tentu muntaber, tapi karena berupa deskripsi tidak dijewer. Begitu pula dengan ’kurang gizi’ yang sebenarnya kurang makan. Kelaparan disebut sebagai busung lapar. Kita sangat senang kalau fakta sebagai kebenaran direduksi dalam bentuk eufemisme (ungkapan yang lebih halus sebagi pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan).

Kita tidak menyoal benar atau tidak data yang dikutip The Age dari Wikileaks karena diplomat atau intelijen yang mendapatkan data itu tentu mempunyai sumber dengan berbagai tingkat kredibilitas. Sedangkan berita jurnalistik mengenal bebagai sumber yang menghasilkan informasi atau data sebagai fakta tertentu (Lihat Gambar 2).

 Gambar 2 (Koleksi Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Berita jurnalistik memang mengutamakan fakta empiris, tapi fakta lain juga bisa menjadi berita selama mengacu ke UU dan kode etik jurnalistik. Media massa nasional yang menjadikan fakta privat (privasi) sebagai berita justru tumbuh subur. Sayang, ajakan NU untuk menolak berita dengan fakta privat tidak mendapat dukungan luas. Bahkan, organisasi keagamaan pun tidak mendukungnya.

Baca juga: Menyoal Nilai Berita pada Acara Infotainment di Televisi

Terkait dengan The Age, Mantan Wapres Jusuf Kalla (JK) mengatakan bahwa  dia mengeluarkan dana untuk transpor dan hotel peserta Kongres Golkar di Bali (2004). "Benar. tapi itu hanya uang membantu membayar hotel, akomodasi dan transportasi peserta yang jumlahnya ribuan orang itu," kata JK dalam wawancara langsung dengan MetroTV (11/3/2011), seperti dilansir situs today.co.id. The Age mengutip Wikileaks yang menyebutkan angka 6 juta dolar AS untuk meraup 243 suara yang akan membawa JK sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Memang, bagi sebagian orang Indonesia hal yang dilakukan JK itu biasa, seperti juga dikemukakan JK bahwa sudah tradisi di parpol untuk membantu kegiatan parpol. Tapi, bagi masyarakat lain di berbagai belahan dunia hal itu tidak biasa. Maka, sebagai media massa The Age menjadikan fakta ini sebagai unsur layak berita yaitu significance (menyangkut kepentingan masyarakat luas) karena merupakan gambaran parpol di Indonesia. Bagi The Age isi kawat diplomatik tentang cara JK itu merupakan fenomena di kancah politik

Sedangkan Taufiq Kiemas yang disebut dalam berita The Age, megatakan: berita yang dilansir The Age justru merupakan hal yang lucu. Ketika ditanya apakah dia telah membaca berita tersebut, Taufiq malah balik bertanya. "Bapak sudah baca belum? Lucu ya?." (today.com, 13/3-2011).

Berita di koran The Age dan Sidney Morning Herald  kemudian ditanggapi oleh ‘Istana’ dan dimuat koran tsb. Tapi, apakah tanggapan terhadap berita itu otomatis menghilangkan informasi yang diungkapkan? Jika informasi itu tidak diklarifikasi maka akan menjadi ‘duri dalam daging’ yang justru merugikan SBY dan nama-nama yang disebut dalam kawat diplomatik itu. 

Biarlah sejarah yang mencatat. Kalau memang informasi yang ada di berita itu tidak benar, untuk apa kita hyperreactive? Biarlah kabar (kalau) bohong itu hanyut ke laut. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun