Agaknya, kesan tentang pekerja seks komersial (PSK) sebagai ‘penyebar’ HIV masih kental di masyarakat. Di Pontianak, misalnya, disebutkan bahwa rata-rata PSK di kota ini terindikasi HIV (Nyaris Semua PSK Terindikasi HIV, Harian “Pontianak Post”, 1/3-2011). Kasus HIV/AIDS di Kota Pontianak dilaporkan 1.280 HIV+ dan 756 AIDS.
Disebutkan: “Bagi masyarakat yang sering menggunakan jasa PSK sebaiknya mulai saat ini berhati-hati. Rata-rata PSK yang ada di Kota Pontianak terindikasi HIV. Untuk itu, tidak ada yang bisa menjamin bagi pengguna jasa tersebut juga tidak terlular meski menggunakan kondom.”
Pernyataan di atas mengadung beberapa hal yang tidak akurat.
Pertama, yang memakai ‘jasa’ PSK bukan masyarakat, tapi laki-laki ‘hidung belang’.
Kedua, penyebutan ‘rata-rata PSK’ tidak tepat karena yang dibicarakan menyangkut jumlah (PSK). Yang tetap adalah sebagian besar atau persentase PSK yang terdeteksi HIV.
Ketiga, tidak ada penjelasan tentang cara yang dilakukan untuk mendapatkan jumlah PSK yang terdeteksi HIV.
Keempat, pemakaian kondom pada hubungan seksual berisiko, dalam hal ini dilakukan dengan PSK, bisa menurunkan risiko tertular HIV.
Walikota Pontianak, Sutarmidji, mengatakan: “Emang ada yang menjamin bahwa PSK yang ada di Kota Pontianak tidak akan menularkan HIV. PSK yang ada rata-rata sudah terindikasi HIV, namun tidak tampak.”
Bertolak dari pernyataan walikota ini ada fakta yang luput dari pembicaraan tentang HIV/AIDS dan PSK.
Kemungkinan pertama, yang menuilarkan HIV kepada PSK justru laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang, yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK. Dalam kehidupan sehari-hari mereka ini bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, duda, lajang atau remaja. Kemudian ada pula laki-laki yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK yang sudah ditulari HIV oleh laki-laki penduduk lokal (Gambar 1).
Kemungkinan kedua, ada kemungkinan PSK yang ‘beroperasi’ di Kota Pontianak sudah mengidap HIV ketika tiba di Kota Pontianak. Laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang, yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK berisiko tertular HIV. Dalam kehidupan sehari-hari mereka ini bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, duda, lajang atau remaja (Gambar 2).
Maka, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di Kota Pontianak adalah laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertularHIV dari PSK.
Walikota juga mengatakan dengan tegas bahwa banyaknya jumlah HIV/AIDS di Pontianak tidak semuanya merupakan warga kota, tapi juga dari luar kota. Memang, di banyak kota besar kasus HIV/AIDS yang terdeteksi ada juga yang berasal dari luar kota karena di kota-kota kecil tidak ada fasilitas tes HIV. Di Jakarta banyak kasus dari luar kota, bahkan ada dari luar negeri, karena di Jakarta banyak tersedia fasilitas tes HIV, kelompok dukungan dan LSM dampingan.
Pertanyaannya adalah: Apakah tes HIV sudah dilakukan terhadap warga Kota Pontianak? Kalau jawabannya belum, maka angka kasus HIV/AIDS pada warga kota tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat.
Selain itu bisa pula terjadi penduduk lokal, asli atau pendatang, tertular HIV di luar Kota Pontianak atau di luar negeri. Mereka ini pun kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di Kota Pontianak, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah (Gambar 3).
Dalam epidemi HIV kasus HIV/AIDS yang terdeteksi merupakan bagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Persoalannya adalahtidak ada mekanisme yang bisa mendeteksi HIV di masyarakat. Akibatnya, kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS.
Disebutkan bahwa Kota Pontianak sebagai kota transit memicu penyebaran HIV/AIDS. Bisa saja PSK pengidap HIV datang dari luar kota yang menyebarkan virus ke para pengguna jasa mereka. Sehingga saat ini yang terdeteksi HIV bukan hanya PSK, namun juga masyarakat biasa. Pernyataan ini merupakan salah satu penyangkalan karena bisa saja terjad justru penduduk lokal, asli atau pendatang, yang pertama kali menularkan HIV kepada PSK atau penduduk lain.
Dikabarkan Pemkot membina PSK untuk menekan jumlah PSK. Namun, disebutkan, itu bukan jaminan PSK tidak mencari pelanggan.
Mengapa cara berpikir menghadapi PSK tidak memakai paradigma yang terbalik? Artinya, penduduk, terutama laki-laki dewasa ‘hibung belang’ diajak agar tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK di Kota Pontianak, di luar Kota Pontianak atau di luar negeri. Selama ini selalu saja PSK yang menjadi ‘kambing hitam’, padahal ada kemungkinan yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki penduduk lokal.
Data dari Komisi D DPRD Kota Pontianak, jumlah yang terjangkit HIV saat ini mencapai Kota Pontianak saat ini menduduki peringkat satu se Kalimantan Barat yang paling banyak terkena HIV AIDS. Untuk itu harus ada penanggulangan dari sekarang.
Menurut Mansur, anggota Komisi D, DPRD Kota Pontianak: “Pembagian kondom secara gratis juga bukan satu solusi yang baik. Seolah memberikan keluwesan seks bebas.” Pernyataan ini pun tidak berpijak pada fakta dan realitas. Fakta menunjukkan banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya. Ini menunjukkan bahwa suami mereka justru tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain. Fakta ini juga menunjukkan realitas bahwa kondom tidak mendorong orang melakukan ‘seks bebas’ (kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai melacur). Penggunaan istilah ‘seks bebas’ sendiri ngawur (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/02/%E2%80%98seks-bebas%E2%80%99-jargon-moral-yang-menyesatkan-dan-menyudutkan-remaja/).
Masih menurut Mansyur, untuk mengurangi HIV/AIDS di Kalbar hingga saat ini masih menunggu paying: “Perda itu bisa menjadi dasar kita. Perda tersebut juga merupakan Perda untuk kepentingan umum.”
Apakah Pak Mansyur lupa kalau Pemprov Kalbar sudah menerbitkan Perda AIDS? Pemprov menelurkan Perda No. 2 Tanggal 15 Juni 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Kalimantan Barat. Tapi, sama halnya seperti puluhan perda yang sudah ada di Indonesia tidak satu pun perda itu yang bisa jalan menanggulangi epidemi HIV karena tidak ada pasal yang menawarkan cara-cara yang konkret dalam menanggulangi epidemi HIV (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/24/menakar-kerja-perda-aids-provinsi-kalimantan-barat/).
Tidak ada pilihan lain bagi Pemkot Pontianak selain meningkatkan penyuluhan HIV/AIDS dengan materi yang komprehensif secara kontiniu agar penduduk yang perilaku seksnya berisiko mau menjalani tes HIV secara sukarela. Kian banyak kasus HIV yang terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan.
Sebaliknya, kepada penduduk yang tidak tertular HIV penyuluhan pun ditingkatkan agar mereka tidak melakukan perilaku seks yang berisiko.
Jika kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan kasus AIDS di masa yang akan datang. ***