Cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar pun penderitanya banyak yang meninggal. Maka, tidak heran kalau kemudian ada pernyataan: Sejak ditemukan pertama kali tahun 2002 silam, jumlah penderita HIV/AIDS di Kab Lamongan, Jawa Timur, terus meningkat. Ini ada di berita “Temuan AIDS Terus Meningkat” (www.lamongan.go.id, 2/2-2011).
Yang terjadi adalah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi terus bertambah. Ini terjadi karena orang-orang yang tertular HIV sudah memasuki masa AIDS (setelah tertular HIV antara 5-15 tahun) sehingga mulai muncul penyakit yang dikenal sebagai infeksi oportunistik, seperti sariawan, jamur, diare, TB, dll. Penyakit-penyakit ini sangat sulit sembuh pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Inilah yang mendorong Odha berobat ke rumah sakit. Tenaga kesehatan, terutama dokter, melihat gejala penyakit tsb. terkait dengan HIV/AIDS sehingga dianjurkan tes HIV jika perilaku mereka ada kaitannya dengan faktor risiko (mode of transmission) penularan HIV.
Data terakhir, sepertidisampaikan Bupati Lamongan, Fadeli, menunjukkan kasus HIV/AIDS di Lamongan adalah 190. Dari jumlah ini 79 telah meninggal. Angka-angka ini seakan-akan tidak bermakna karena tidak dibawa ke realitas sosial.
Penduduk yang meninggal karena penyakit terkait AIDS terjadi setelah mereka mencapai masa AIDS. Ini artinya selama rentang waktu antara tertular sampai masa AIDS mereka tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka dan tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas HIV/AIDS. Celakanya, biar pun tidak ada tanda-tanda AIDS mereka bisa menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Pada rentang waktu sebelum masa AIDS itulah orang-orang yang sudah tertular HIV menularkan HIV kepada orang lain. Yang beristri akan menularkan HIV secara horizontal kepada istrinya, pasangan seks lain atau pekerja seks komersial (PSK). Ini dapat dilihat dari jumlah ibu rumah tangga yang tertular HIV. Jika istrinya tertular maka ada pula risiko penularan kepada bayi yang dikandungnya kelak (vertikal).
Disebutkan pula ada tujuh orang balita yang tertular dari ibunya sejak di kandungan, Ini tidak tepat karena tidak bisa diketahui kapan seseorang, termasuk janin, tertular HIV. Lagi pula penularan HIV hanya sekali tidak terus-menerus. Maka, risiko seorang bayi yang dikandung seorang ibu yang mengidap HIV kemungkinan terjadi ketika di kandungan, saat persalinan atau ketika menyusu air susu ibu (ASI).
Bupati Fadeli mengungkapkan, umunya penderita HIV/AIDS di Lamongan adalah perantau yang bekerja di luar Lamongan. Kemudian pulang ke kampung halaman dalam kondisi sudah parah, kemudian meninggal dunia. Tapi, perlu dipertanyakan: Apakah mereka menjalani tes HIV sebelum pergi merantau? Kalau jawabannya TIDAK maka tidak bisa dipastikan bahwa mereka tertular di luar Lamongan karena bisa saja mereka sudah tertular HIV ketika pergi merantau.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Lamongan, Mochammad Sochib, yang harus diberi perhatian bukan waria karena hanya lima persen waria penderita HIV/AIDS. Selama ini memang ada mitos (anggapan yang salah) yang mengaitkan penularan HIV dengan waria. Padahal, yang menularkan HIV kepada waria adalah laki-laki heteroseksual yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, lajang atau duda. Lalu, ada pula laki-laki heteroseksual yang tertular HIV dari waria yang sudah mengidap HIV karena mereka melakukan seks anal tanpa kondom.
Pelanggan waria justru laki-laki heteroseksual bukan waria. Laki-laki heteroseksual itulah yang menjadi jembatan penyebaran HIV dari masyarakat ke waria dan sebeliknya. Semua terjadi tanpa disadari karena tidak ada tanda-tanda yagn khas AIDS pada laki-laki yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS.
Diberitakan pula Bupati mengajak orang tua, pendidik, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk bersama-sama menyadarkan generasi muda dari riisko tertular HIV. Lagi-lagi ini menggambarkan kemunafikan kalangan dewasa. Fakta menunjukkan sudah ada 42 ibu rumah tangga yang mengidap HIV sehingga yang harus menjadi sasaran utama penyuluhan adalah laki-laki dewasa karena merekalah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Pertanyaanya adalah: Apakah Pemkab Lamongan bisa menjamin tidak akan ada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah di Lamongan dan di luar Lamongan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan?
Kalau jawabannya YA, maka tidak ada persoalan HIV/AIDS dengan faktor risisko hubungan seksual di Lambongan. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar di Lamongan karena ada laki-laki dewasa yang berisiko tertular HIV.
Kasus-kasus HIV di kalangan laki-laki dewasa yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. Kalau ini yang terjadi maka ada beban berat yang akan dihadapi Pemkab Lamongan. Sekarang memang tes HIV dan obat antiretroviral (ARV) gratis karena ada donor asing, tapi jika donor asing hengkang maka penanganan Odha akan menjadi tanggung jawab Pemkab Lamongan. Celakanya, APBD ‘digerogoti’ klub sepak bola. ***