Kepanikan terkait dengan epidemi HIV di Indonesia yang ditadai dengan penemua kasus demi kasus diatasi dengan penerbitan peraturan daerah (Perda) penanggulangan dan pencegahan AIDS. Sudah 42 daerah, milai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia yang menelurkan Perda AIDS. Tapi, perda-perda itu tidak bisa bekerja karena tidak menukik ke akar persoalan epidemi HIV yaitu penanggulangan dan pencegahan HIV.
Pencegahan di Hilir
Penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS yang ditawarkan perda-perda tsb. tidak konkret karena hanya mengedepankan moral. Misalnya, menyebutkan cara pencegahan HIV dengan meningkatkan iman dan taqwa, meningkatkan ketahanan keluarga, menjalankan hidup sehat dan bersih. Ini semua bekerja di tatanan yang normative. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa dicegah dengan teknologi kedokteran.
Diberitakan DPRD Kota Medan akan segera mensahkan Raperda Penanggulangan AIDS menjadi Perda. Jika ini terjadi dan tidak ada perubahan yang nyata dari raperda yang sudah ada, maka perda itu kelak akan sia-sia seperti nasib 42 perda yang sudah ada. Bahkan, di Sumatera Utara sudah ada dua daerah yang menelurkan Perda AIDS yaitu Kab Serdang Bedagai dan Kota Asahan. Kalau saja Pemkot Medan dan DPRD Kota Medan membaca kedua perda itu tentulah Raperda AIDS Kota Medan akan lebih baik. Tapi, kenyatannya Raperda AIDS Kota Medan justru jauh lebih buruk.
Disebutkan: "Anggota Komisi B DPRD Kota Medan, Bahrumsyah, DPRD Kota Medan akan segera mengesahkan Perda tentang HIV/AIDS. Hal ini terkait penemuan kasus HIV/AIDS di Kota Medan yang cenderung mengalami peningkatan." Yang terjadi adalah penambahan kasus karena kasus HIV dan AIDS di Indonesia dilaporkan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga laporan kasus kumulatif HIV dan AIDS tidak akan pernah turun biar pun banyak pengidapnya meninggal.
Lagi pula kalau Perda AIDS itu disahkan karena terkait dengan peningkatan kasus HIV/AIDS, maka perlu dipertanyakan di pasal mana dan Perda itu yang secara eksplisit menawarkan pencegahan dan penanggulangan HIVAIDS yang konkret. Soalnya, dalam Raperda AIDS Kota Medan tidak ada pasal yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV (Lihat: Syaiful W. Harahap, Tanggapan terhadap Rancangan Perda AIDS Kota Medan, http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/23/tanggapan-terhadap-rancangan-perda-aids-kota-medan/).
Bahrumsyah mengatakan: "Dengan adanya perda ini, diharapkan ada penangangan yang serius dari pemerintah kota Medan melalui instansi terkait, yakni Dinas Kesehatan untuk melakukan pencegahan secara dini." Dalam berita juga disebutkan bahwa dalam perda kelak ada pencegahan dini bukan pengobatan. Sayang, dalam berita tidak disebutkan bagaimana Dinkes melakukan pencegahan secara dini. Dalam Raperda AIDS Kota Medan sama sekali tidak ada pasal yang menawarkan pencegahan secara dini.
Salah satu pasal yang bisa dikaitkan dengan pencegahan dini adalah mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi yang dikandungnya. Pada pasal 1 ayat 23 disebutkan: Prevention Mother to Child Transmision yang disingkat PMTCT adalah pencegahan penularan HIV dan AIDS dari ibu kepada bayinya. Pasal ini diperkuat pula di pasal 10 ayat 2: Setiap Perempuan hamil yang telah diketahui terinfeksi HIV wajib melakukan upaya pencegahan HIV ke janin yang dikandungnya.
Pemerhati HIV/AIDS, dr Umar Zein Dtmh, SpPD, KPTI, mengatakan: "Boleh saja dibuat perda, tapi lebih ke program pencegahannya. Intinya, perda itu untuk memperkuat sebagai payung hukum pencegahan HIV/AIDS seperti program PMTCT (Prevention Mother To Child Transmition) terhadap ibu terinfeksi virus HIV."
Persoalannya adalah banyak perempuan atau istri yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Beberapa kasus HIV pada perempuan terdeteksi pada waktu mereka hamil, bahkan menjelang persalinan. Celakanya, dalam raperda ini dan Perda-perda AIDS yang sudah ada sama sekali tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil. Coba lihat Malaysia yang menerapkan skrining rutin (sejak 1998) dan survai khusus terhadap perempuan hamil. Ini langkah yang konkret untuk mendeteksi infeksi HIV pada perempuan hamil. Sedangkan di Indonesia tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil.
Pencegahan dini adalah mencegah penularan HIV di hulu, terutama melalui hubungan seksual yang tidak memakai kondom di dalam dan di luar nikah. Tapi, di Indonesia yang terjadi adalah panggulangan di hilir yaitu mendeteksi kasus HIV dan AIDS, terutama melalui mekanisme tes sukarela di klinik VCT. Dalam Raperda AIDS Kota Medan pun tidak ada mekanisme yang konkret untuk mencegah penularan HIV di hulu. Disebutkan dalam berita: Anggota Komisi B DPRD Medan, Bahrumsyah, memaparkan dalam Perda itu nantinya akan diatur bagaimana pencegahan penyakit HIV/AIDS. Dan yang paling penting diatur adalah mencegah prilaku menyimpang, seperti seks bebas. Tak hanya itu, lokasi-lokasi yang berpotensi menyebabkan timbulnya penyakit itu perlu diatur penataannya.
Lokasi Pelacuran
Lagi-lagi mitos (anggapan yang salah) yang dikedepankan dalam raperda AIDS itu. 'Perilaku menyimpang' adalah bahasa moral yang tidak terkait langsung dengan penularan HIV sebagai fakta medis. 'Seks bebas' yang diartikan sebagai zina tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam ikatan pernikahan yang sah kalau salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Disebutkan pula: "Lokasi-lokasi yang berpotensi itukan penataannya belum konkrit, jadi perlu diatur." Pernyataan ini tidak eksplisit, tapi yang dituju adalah lokasi atau tempat-tempat yang memungkinkan terjadi transaksi (hubungan) seks. Tapi, dalam Raperda AIDS Kota Medan ini sama sekali tidak ada pasal yang menawarkan pencegahan HIV melalui hubungan seksual di lokasi atau tempat pelacuran.
Dalam raperda di pasal 12 disebutkan: Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan dengan memakai kondom. Ini terkait dengan pasal 1 ayat 39: Perilaku Seksual Tidak Aman adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom. Pasal ini menyasar semua penduduk Kota Medan. Padahal, yang dimaksud sebenarnya adalah hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Sayangnya, dalam raperda ini tidak ada pasal yang menukik ke lokasi, lokalisasi atau tempat-tempat yang menyediakan PSK. Yang ada dalam raperda ini hanya tempat hiburan, yaitu di pasal 13 ayat (1) Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib memberikan informasi atau penyuluhan secara berkala mengenai pencegahan HIV dan AIDS kepada semua karyawannya. Ayat (2) Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib mendata karyawan yang menjadi tanggungjawabnya. Ayat (3) Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib memeriksakan diri dan karyawannya yang menjadi tanggungjawabnya secara berkala ke tempat-tempat pelayanan IMS yang disediakan pemerintah, lembaga nirlaba dan atau swasta yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan Kota Medan.
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah di Kota Medan ada lokasi (tempat terbuka, rumah, pondokan, atau bangunan) sebagai tempat pelacuran?
Kalau jawabannya TIDAK ADA, maka satu masalah sudah terselesaikan sehingga tidak perlu ada pasal yang mengatur masalah hubungan seksual berisiko. Yang perlu diatur tinggal penyebaran melalui penggunaan jarum suntik bergantian pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya), transfusi darah, dan PMTCT.
Tapi, kalau jawabannya ADA, maka Perda harus mengatur kewajiban bagi laki-laki 'hidung belang' untuk memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, karena raperda ini dirancang dengan semangat moral maka penanggulangan HIV melalui hubungan seksual dengan PSK tidak muncul.
Bagaimanapun tidak ada alasan untuk mengabaikan perawatan dan pengobatan terhadap penduduk yang mengidap HIV (Odha-Orang dengan HIV/AIDS). Pemberitan obat antiretroviral (ARV) adalah untuk menurunkan riisko penularan HIV karena konsentari virus (HIV) pada Odha yang meminum obat ARV akan rendah sehingga menurunkan potensi penularan.
Memang, sekarang obat ARV gratis karena ada donor asing yang membiayainya. Di beberapa daerah dana APBD dikuras untuk membiayai klub sepak bola, sehingga mengabaikan dana untuk penanggulangan HIV/AIDS. Jika kelak tidak ada lagi donor asing maka banyak daerah yang akan kelimpungan mendanai penanggulangan, terutama perawatan dan pengobatan, HIV/AIDS.
Jika kelak Perda AIDS Kota Medan tidak berbeda dengan perda-perda yang sudah ada maka hasilnya pun sudah bisa ditebak: Nol Besar! Semua bagaikan 'menggantang asap', 'arang habis besi binasa'. ***