Epidemi HIV sudah terdeteksi di seluruh daerah di Nusantara. Data terakhir menunjukkan sudah terdeteksi 21.770 kasus AIDS. Jika penduduk yang tertular HIV sudah masuk masa AIDS (secara statistik antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV) maka diperlukan dana untuk pembelian obat antiretroviral (ARV) dan obat-obat untuk infeksi oportunistik (penyakit di masa AIDS). Sedangkan unutk kasus AIDS di kalangan pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) diperlukan dana untuk harm reduction, seperti rumatan metadhon (narkoba sintetis).
Indonesia benapas lega karena hampir 80 persen dana penanggulangan epidemi HIV saat ini merupakan ‘sedekah’ (baca: hibah) dari donor-donor di luar negeri, terutama dari AS, Australia dan Eropa Barat. Maka, saat ini Odha yang sudah harus meminum ARV bisa mendapat obat gratis. Begitu pula dengan pengguna narkoba suntik yang mendapatkan rumatan metadhon gratis.
Padahal, "80 persen dana masih dari luar negeri.," kata Nafsiah Mboi, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (Tempo Interaktif, 30/8-2010). Disebutkan pula: Komisi mengukur ada kebutuhkan biaya 50 dolar AS per orang per tahun bagi layanan alat suntik steril dan 132 dolar AS per orang per tahun bagi Program Terapi Rumatan Metadon. Total biaya harm reduction menghabiskan 15,7 juta dolar AS. Nilainya jauh lebih kecil ketimbang total biaya penanganan HIV baru di kalangan penasun yang bisa mencapai 92 juta dolar AS. Dengan harm reduction bisa 140.000 orang yang terselamatkan per tahun dan menghemat dana 76 juta dolar AS.
Sampai kapan kita harus menadahkan tangan? Menurut Nafsiah, seperti dilansir Tempo Interaktif, “Pemberiannya bisa saja berhenti.” Donor tidak selamanya menjadikan satu negara sebagai tujuannya selama-lamanya. Saat ini donor yang besar al., adalah: Global Fund (GF) dan HCPI/AusAID yang mendanai penanggulangan AIDS di beberapa provinsi.
Sebagai gambaran di Sumatera Utara (Sumut) seorang Odha (Orang dengan HIV/AIDS) membutuhkan dana Rp 3,6 per bulan. Dengan kasus 444 Pemprov Sumut mengeluarkan dana Rp 19 miliar/tahun (Waspada, 5/11-2009).
Akan terjadi tarik-menarik kepentingan terhadap dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Salah satu pengeluaran APBD adalah untuk klub sepak bola. ”Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia meminta klub-klub peserta Liga Super Indonesia membatasi penggunaan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk belanja pemain.” (Tempo Interaktif, 31/8-2010).
Rupanya, selama ini persepakbolaan daerah didanai dengan uang rakyat. ’Supporter’ klub sepak bola justru tawuran dan merusak fasilitas umum serta harta benda penduduk. Pemain pun tidak jarang yang justru mempertontonkan adu bogem di lapangan hijau tinimbang kemampuan mengocek bola. Pemerintah daerah mendanai ’supporter’ untuk merusak fasilitas umum. Prestasi sepakbola nasional di kancah internasional pun tenggelam. Ironis.
Dikabarkan: ”Rata-rata klub itu pakai dana APBD Rp 10-18 miliar termasuk untuk belanja pemain.” Dana sebesar ini dipakai untuk kegiatan yang tidak langsung menyumbangkan keuntungan bagi (rakyat) daerah. Bayangkan, andaikan dana Rp 19 miliar dipakai oleh Pemprov Sumut membiayai klub sepakbola, lalu bagaimana nasib 444 Odha di sana?
Celakanya, biar pun sudah ada Peraturan Pemerintah No 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Ada lagi Surat Mendagri No 903/187/SJ tentang larangan penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola. Tapi dikabarkan sejumlah daerah di Indonesia tetap ngotot membiayai klub sepak bola dengan dana dari APBD. Rupanya, daerah lebih memilih implemenasi UU Sistem Keolahragaan Nasional daripada membiayai kesehatan penduduknya.
Di Tanah Papua, misalnya, hampir semua kota dan kabupaten memiliki klub sepak bola. Beberapa pemain merupakan pemain luar daerah dan luar negeri. Uang dari APBD dihambur-hamburkan untuk mendanai liga sepak bola. Pada saat yang sama puluhan sampai ratusan penduduk di kabupaten atau kota sedang bergelut melawan kemiskinan dan penyakit (baca: AIDS).
Sekretaris Jenderal PSSI, Nugraha Besoes, mengatakan: “Banyak klub menolaknya, karena masih dihadapkan dengan banyak kendala. Antara lain, perbaikan stadion, gaji pemain, pelatih, tim ofisial, dan lainnya.” (bolanews.com, 31/8-2010). Tapi, pada saat yang sama juga dana besar dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan dan penanggulangan epidemi HIV.
Di beberapa daerah belum ada alokasi dana khusus untuk penanggulangan AIDS. Tapi, Asisten Khusus Presiden RI Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, justru mengatakan: ”Pemerintah Indonesia mengatakan belum bisa menentukan tenggat waktu tertentu untuk klub sepak bola Indonesia berhenti menerima dana APBD. Pertimbangannya, saat ini masih merupakan masa transisi.” (bola.kompas.com, 27/8-2010). Pada rentang tenggat waktu itu penyebaran HIV terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ledakan AIDS. Jika ini terjadi maka dana yang dibutuhkan untuk penanganan Odha akan menguras APBD.
Era otonomi daerah yang nyaris tanpa kontrol sekarang ini mendorong ’raja-raja kecil’ di daerah untuk memakai kekuasaannya. UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dimanfaatkan oleh ’raja-raja kecil’ penguasa daerah otonomi untuk memakai dana APBD. Sayangnya, penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola tidak melihat skala prioritas di daerahnya.
Boleh-boleh saja pemerintah provinsi, kabupaten dan kota menganggap remeh epidemi HIV karena di beberapa daerah kasus HIV/AIDS belum menjadi masalah besar.Tapi, ketika terjadi ledakan AIDS akan lain situasinya. Tidak ada alasan pemerintah daerah untuk mengabaikan penduduk yang sakit terkait AIDS karena kesehatan merupakan hak asasi rakyat.
Dikabarkan juga: ” .... selama ini dana APBD tersedot untuk membeli pemain sehingga perbaikan dan perawatan infrastruktur menjadi terkendala.” (tribun-timur.com, 2/9-2010). Ini ironi di tengah kemiskinan dan epidemi HIV yang menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup.
Pengelolaan yang tidak profesional membuat klub-klub sepak bola nasional hanya menengadahkan tangan dengan menepis tengadahan tangan yang lebih membutuhkan.
Penggalangan dana dari ’supporter’, penjualan kaos, dll. bisa diandalkan. Pemerintah daerah pun bisa merangkul perusahaan untuk menyumbangkan dana ke klub sepak bola. Persoalannya adalah banyak kalangan yang ragu-ragu menyumbang karena tidak ada pertanggungjawaban keuangan yang transparan. Sudah saatnya klub-klub sepak bola diaudit oleh akuntan publik agar bisa menarik donatur. ***