Dengan jumlah yang besar itu tentulah tulisan yang dikirimkan ke Kompasiana pun sangat banyak. Itulah yang membuat admin Kompasiana kerja keras untuk ‘menyeleksi’ tulisan agar tidak keluar dari koridor jurnalistik.
Salah satu persoalan yang muncul, seperti disampaikan oleh Pepih Nugraha, pengelola Kompasiana, kian banyak penyusup (intruder) yang memanfaatkan Kompasiana sebagai saluran untuk mengirim tulisan yang tidak etis. Misalnya, menyerang lawan politik, menjelek-jelekkan pihak tertentu, dll. Ini terungkap pada acara “Kompasiana Nangkring: Ngobrolin Kompasiana” di Ruang Meet Up Kompasiana, Lantai 6, Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Barat, Jakarta Barat, 4 April 2014.
“Kami berharap ada kesepakatan kita untuk mengecek isi tulisan,” kata Pepih. Permintaan admin ini amatlah wajar untuk menjaga muruah (KBBI: kehormatan diri; harga diri; nama baik) Kompasiana sebagai media bagi jurnalisme warga.
Memanfaatkan Kompasiana sebagai media untuk melakukan kampanye hitam (black campaign) dan kampanye negatif (negative campaign) tidaklah pada tempatnya.
Tidaklah pada tempatnya menyebarkan tulisan yang menyerang di Kompasiana. Soalnya, Kompasiana, seperti dikemukakan bebarapa kompasianer yang hadir pada acara tsb., mereka belajar menulis dari dan di Kompasiana. Thamrin Dahlan, misalnya, belajar di Kompasiana sampai akhirnya dia bisa menulis dan menerbitkan buku.
Begitu juga dengan Thamrin Sonata. Kompasianer ini bisa mendapatkan pekerjaan untuk menulis biografi berkat tulisannya di Kompasiana. “Ya, berkat tulisan saya di Kompasiana ada yang meminta saya menulis biografi,” ujar Thamrin. Itulah sebabnya Thamrin berharap agar Kompasiana tetap berada pada jalur penulisan yang beretika agar tulisan yang ditayangkan di Kompasiana tidak melenceng dari moralitas jurnalistik.
Maka, Kompasiana adalah tempat untuk belajar menyampaikan ide, gagasan, pendapat, tanggapan, dll. pada koridor jurnalistik yang beretika. Kalau ingin menyebarkan tulisan yang menghasut, menghujat, ghibah, dll. silakan membuat media sosial, seperti blog atau situs, sendiri.
Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh admin Kompasiana bertujuan untuk menjaga Kompasiana ada pada koridor etika dan hukum.
Salah satu langkah yang ditempuh admin adalah menghentikan konten tentang agama. Soalnya, tanggapan terhadap tulisan ini sudah tidak objektif lagi karena benbenturan dengan berbagai paham dan kepentingan.
Hal lain yang perlu diperhatikan kompasianer adalah menanggapi tulisan karena sering terjadi tanggapan bukan terhadap konten tapi menyasar pribadi atau privat si penulis.
Tanggapan yang saya terima terhadap tulisan tentang kondom, misalnya, mengatakan bahwa saya adalah antek-antek WHO dan agen penjual kondom. Ini ‘kan sudah menyasar pribadi bukan konten tulisan lagi.
Kita tidak tertutup terhadap kritik, tapi sekali lagi kritiklah isi tulisan bukan pribadi penulis.
Lagi pula apakah yang menanggapi itu mempunyai data atau fakta tentang tuduhannya?
Kalau tidak ada maka itu artinya fitnah dan perbuatan tidak menyenangkan yang bisa dituntut melalui pasal-pasal di KUHP dan UU ITE dengan ancaman kurungan penjara dan denda miliaran rupiah.
Di tulisan lain yaitu tentang film juga dicaci-maki habis-habisan dengan mengatakan saya sebagai seorang Yahudi. Saya tidak marah disebut Yahudi kalau saya memang penganut Yahudi. Kalau yang mencaci ini orang beragama tentulah perilakunya itu sudah tidak menggambarkan orang yang beragama.
Karena tulisan di Kompasiana terkait dengan internet yang masuk dalam ranah hukum, maka sudah selayaknya kompasianer membekali diri dengan etika dan hukum jurnalistik. Sudah ada beberapa orang yang menulis di media sosial, sepeti e-mail, twitter dan Facebook yang berhadapan dengan hukum.
Jika kompasianer berpegang teguh pada koridor jurnalistik dengan berpedoman pada kode etik jurnalistik, UU Pers dan UU ITE, maka tidak perlu ragu-ragu dan takut menulis untuk Kompasiana.
Kebebasan berekpresi tidak berarti boleh melawan hukum yaitu keluar dari koridor kode etik dan UU. Ini yang perlu diingat agar selama dunia dan akhirat.***[Syaiful W. Harahap]***