Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

“Tanya-Jawab HIV/AIDS” Sebagai Sumbangsih untuk Negeri

13 November 2014   18:08 Diperbarui: 4 April 2017   17:54 2929 0

etika dunia menggeliat menghadapi epidemi HIV/AIDS di awal epidemi penyakit yang menular itu di tahun 1980-an, (pemerintah) Indonesia justru ‘berpangku tangan’ karena menganggap budaya dan agama akan menangkal HIV/AIDS sehingga rakyat Indonesia terhindar dari infeksi HIV/AIDS.

Tapi, apa yang terjadi kemudian?

Ketika banyak negara mulai bisa mengendalikan penyebaran HIV/AIDS, al. melalui hubungan seksual, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, serta melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya), kasus infeksi HIV baru justru meroket di Indonesia.

Pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik VI di Melbourne, Australia (2001), misalnya, Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB yang menangani HIV/AIDS), waktu itu Dr Peter Piot, sudah mengingatkan agar Indonesia menangani penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui jarum suntik ada penyalahguna narkoba. Tapi, pemerintah Indonesia menganggapnya bagaikan ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Lima tahun kemudian kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada penyalahguna narkoba dengan jarum suktik (Lihat: AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan).

Tapi, apa yang terjadi di Indonesia?

Peringatan Dr Piot itu dianggap sebagai angin lalu oleh pemerinah. Anjing menggongong kafilah berlalu. Maka, tidaklah mengherankan kalau sepuluh tahun kemudian kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada penyalah guna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya), terutama di kalangan remaja putra.

Mitos HIV/AIDS

Begitu juga dengan penanggulangan HIV/AIDS. Pemerintah memilih memakai jargon-jargon moral daripada melakukan intervensi dengan regulasi yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Akibatnya, kasus demi kasus HIV/AIDS terdeteksi pada ibu rumah tangga. Hal ini membuktikan suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom terutama dengan PSK.

Kasus HIV/AIDS di Indonesia tidak bisa dianggap remeh karena: (a) Indonesia merupakan negara ketiga di Asia setelah Cina dan India yang pertambahan kasus baru HIV/AIDS, terutama di kalangan penyalah guna narkoba yang sangat besa, (b) Sampai 30 Juni 2014 kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 198.573 yang terdiri atas 142.950 HIV dan 55.623 AIDS 9.760 dengan kematian (Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 9/9-2014), dan (c) Insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa yang melacur dengan PSK terus terjadi karena pelacuran tidak dilokalisir sehingga tidak ada intervensi terhadap laki-laki untuk mewajibkan mereka pakai kondom.

Di Amerika Serikat setiap rumah menerima surat dari pemerintah yang berisi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS di awal epidemi sehingga setiap orang mengetahui cara-cara penularan pencegahan HIV/AIDS. Sedangkan di negera-negara lain informasi yang akurat tentang HIV/AIDS disebarluaskan dengan skala nasional melalui berbagai cara, seperti melalui media massa (cetak dan elektronik).

Thailand, misalnya, dari lima program penanggulangan HIV/AIDS di sana yang diutamakan adalah penyebarluasan informasi HIV/AIDS yang akurat melalui media massa, sedangkan program terakhir adalah sosialisasi kondom. Lima program itu dilakukan dengan skala nasional dan serempak.

Nah, di Indonesia tidak ada penyebarluasan informasi yang akurat dengan skala nasional. Celakanya lagi informasi HIV/AIDS pun dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga tidak akurat lagi karena sudah berubah menjadi mitos (anggapan yang salah). Misalnya, disebutkan bahwa homoseksual adalah penyebab HIV/AIDS. Selain itu disebutkan pula bahwa HIV/AIDS menular melalui PSK di tempat pelacuran.

Sedangkan berita di media massa nasional, khususnya media cetak, banyak yang tidak akurat karena mengadung mitos. Studi terhadap konten berita HIV/AIDS di media cetak nasional priode tahun 1981-2000 menunjukkan banyak berita HIV/AIDS yang tidak akurat sehingga tidak membawa pencerahan kepada khalayak ramai. Studi ini dibukukan sebagai pembelajaran untuk wartawan, aktivis dan pihak-pihak yang terkait dengan HIV/AIDS (Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Penerbit Sinar Harapan dan Ford Foundation, Jakarta, 2000).

siper.mmtc.ac.id

Akibatnya banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang realistis. Maka, banyak orang yang melakukan perilaku seksual yang berisko tertular HIV/AIDS, al.:

(1) Laki-laki dewasa melakukan melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti,

(2) Perempuan dewasa melakukan melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3) Laki-laki dewasa melakukan melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan yaitu PSK langsung (PSK di lokasi pelacuran, di jalanan) serta PSK tidak langsung (cewek panggilan, ABG, ‘ayam kampus’, cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, ibu-ibu, cewek gratifikasi seks, dll.).

Info Dasar AIDS

Tiga hal di atas tidak pernah disampaikan oleh pemerintah secara komprehensif kepada masyarakat sehingga banyak orang yang melakukan hal di atasa ketakutan tetular HIV/AIDS setelah membaca informasi di media massa dan Internet.

Sala satu yang sering dibaca terkait dengan informasi HIV/AIDS di Internet dalah blog penulis di kompasiana (http://www.kompasiana.com/infokespro) yang al. berisi rubrik Tanya-Jawab HIV/AIDS. Di dalam tiap tulisan ada nomor ponsel dan alamat e-mail yang bisa dihubungi untuk bertanya tentang HIV/AIDS.

Akibatnya, ponsel dan e-mail penulis “kebanjiran” pertanyaan tentang HIV/AIDS. Setiap bulan, jika dihitung-hitung rata-rata setiap hari ada 2-3 SMS yang masuk ke ponsel penulis.

Pertanyaan yang diajukan mulai dari yang sangat mendasar tentang HIV/AIDS, seperti ciri-ciri pengidap HIV/AIDS, tes HIV, sampai pada pengobatan.

Tidak ada yang mendanai pulsa ponsel penulis sehingga jumlah SMS untuk satu pertanyaan sangat memberatkan karena ada yang bertanya tidak cukup dua tiga kali, tapi sampai belasan kali bersahutan SMS.

Terkadang yang bertanya tidak langsung ke pokok persoalan, tapi mereka mencoba meyakinkan diri bahwa yang mereka lakukan tidak berisiko tertular HIV. Misalnya, dengan mengatakan bahwa mereka ke panti pijat plus-plus tapi hanya ciuman. Ketika dijawab tidak ada risiko mereka menyebutkan lagi bahwa ada gesekan penis ke vagina. Jawaban bahwa hal itu risikonya kccil belum memuaskan. Ternyata setelah berkali-kali SMS mereka mengaku bahwa ada hubungan seksual. Nah, kalau dari awal mereka sebutkan yang sebenarnya ‘kan tidak perlu berkali-laki berbalas SMS.

Ada lagi yang minta bantuan mencarikan tempat tes agar mereka tidak dikenali. Bisanya ini dari kalangan tokoh dan pegawai. Ada seorang penanya dari Kota Surabaya yang mengirimkan pulsa Rp 100.000 ke ponsel saya. Rupanya, dia ingin panjang-lebar ‘diskusi’ dan ingin mendapatkan tempat tes yang jauh agar tidak dikenali. Setelah berpanjang-lebar ‘diskusi’ via SMS akhirnya disepakati tes HIV dilakukan di kota lain.

Jika yang bertanya tinggal di kota-kota yang sudah ada Klinik VCT (tempat tes HIV secara sukarela dengan konseling sebelum dan sesudah tes), umumnya ada di rumah sakit dan puskesmas, tidak ada masalah karena mereka bisa saya ‘rujuk’ ke klinil tsb. Bisa juga saya ‘rujuk’ ke konselor HIV/AIDS setelah ‘diskusi’ karena mereka memerlukan pendampingan. Celakanya, tidak di semua kota ada konselor HIV/AIDS.

Baru-baru ini, misalnya, ada yang bertanya tentang HIV/AIDS dari Kota Ternate, Maluku Utara. Saya tulis di halaman di Facebook apakah ada konselor yang bisa dihubungi secara pribadi di sana, tapi sampai hari ini belum ada respon.

Ingin Bunuh Diri

Soalnya, banyak di antara yang bertanya tidak mau ‘dirujuk’ ke Klinik VCT di rumah sakit atau puskesmas karena mereka takut ketahuan identitasnya. Mereka memilih konsultasi dengan konselor secara pribadi.

“Mas, saya khawatir sudah kena AIDS.” Itulah SMS seorang siswi kelas 1 sebuah SMA negeri di salah satu kota di Jawa Tengah. Rupanya, siswi ini sudah ngeseks dengan 10 laki-laki mulai dari pacar, teman sampai pada laki-laki dewasa, bahkan ada yang beristri. Dia menolak ke Klinik VCT di rumah sakit karena takut dilaporkan ke sekolah. Penulis memberikan nama dan nomor ponsel seorang konselor untuk temannya ‘curhat’.

Yang paling pelik SMS seorang gadis dari sebuah kota di Sumatera Selatan. Dia khawatir pacarnya suka ngeseks dengan banyak perempuan sehingga dia mau tes HIV. Pacarnya yang baru mau membantu dia tes HIV. Tapi, yang masalah besar adalah bagaimana dia menjelaskan kepada pacar barunya tentang keperawanannya yang sudah direnggut pacarnya yang terdahulu.

Ini persoalan besar karena kalau tidak dibantu pacar barunya akan meninggalkannya, tapi kalau saya berikan ‘jalan keluar’ itu artinya saya ikut berbohong kepada pacar barunya. Akhirnya saya putuskan membantu cewek tadi dengan memberikan ‘jalan keluar’ dengan harapan bisa diterima pacar barunya. Semoga ada ampunan bagi saya dan cewek tadi karena kami sudah merekayasa kehilangan keperawanannya agar bisa diterima pacar barunya.

Tidak sedikit yang bertanya sudah pada posisi atau kodisi putus ada (hopeless) karena mereka tahu HIV/AIDS tidak bisa disembuhkan dan berita di media massa menyebutkan HIV/AIDS sebagai ‘penyakit mematikan’. Mereka sudah memutuskan untuk melakukan tindakan bunuh diri. Nah, dalam kondisi ini penulis terpaksa menjadi ‘penengah’ dengan mendengarkan curhat mereka. Di sela-sela curhat penulis menyampaikan informasi tentang HIV/AIDS yang akurat agar mereka bisa memahami HIV/AIDS dan mengurungkan niat untuk bunuh diri.

Kadang-kadang bikin ‘susah’ juga karena ada yang menelepon tengah malam. Seperti telepon dari salah satu kota di Aceh ini pukul 02.15: “Pak, maaf, tadi saya khilaf.”

Khilaf apa? “Tadi di Medan saya berhubungan dengan cewek tidak pakai kondom.”

Ya, ini berujung pada diskusi panjang karena dia sudah pada kondisi yang tertekan sehingga sangat sulit memberikan penjelasan. Tapi, dengan kesabaran akhirnya laki-laki itu mau menerima kenyataan dan berjanji akan ke rumah sakit untuk konsultasi.

Selain melalui "Tanya-Jawab HIV/AIDS" langkah yang dilakuka penulis untuk memasyarakatkan infomrasi HIV/AIDS yang akurat adalah melalui tulisan berupa reportase (features) dan opini serta tanggapan terhadap berita HIV/AIDS melalui kegiatan media watch (selisik media).

Tulisan disebarluaskan melalui media massa nasional dan blog kompasiana.com/infokespro. Selisik media diperlukan karena banyak berita di media massa nasional yang tidak akurat sehingga menyuburkan mitos (anggapan yang salah) terhaedap HIV/AIDS. Melalui tanggapan itulah penulis memberikan gambaran yang ril tentang HIV/AIDS berdasarkan berita di media cetak.

Tidak sedikit pula yang memaksa. Segera balas! Harap dibalas! Padahal, penulis sedang SMS-an dengan penanya. Tentulah saya memilih menyelesaikan diskusi dengan yang bertanya duluan.

Secara materil tentulah saya rugi, seperti pulsa dan waktu, tapi secara moral saya merasa bertanggung jawab karena layanan Tanya-Jawab HIV/AIDS via telepon, SMS dan e-mail tidak banyak sedangkan yang bertanya banyak.

Hitung-hitung inilah sumbangsih saya untuk negeri tercinta. *** [Syaiful W. Harahap] ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun