“ .... kasus HIV/AIDS di Kota Pekalongan ditemukan pertama kali pada tahun 2004.” Ini pernyataan Kepala Dinkes Kota Pekalongan, Dwi Heri Wibawa, dalam berita “10 Tahun, 68 Penderita HIV/AIDS Meninggal” di Harian “Radar Pekalongan” (7/11-2014).
Dari pernyataan dan judul berita di atas ada beberapa hal yang luput dari perhatian (wartawan), yaitu:
(1) Tidak dijelaskan kasus pertama tahun 2004 itu terdeteksi sebagai kasus HIV-positif atau sudah pada masa AIDS. Soalnya, kalau kasus pertama itu terdeteksi pada orang yang sudah masa AIDS itu artinya dia tertular antara 5-15 tahun sebelum terdeteksi yaitu antara tahun 1989 dan 1999. Maka, penyebaran HIV/AIDS sudah terjadi di Kota Pekalongan sejak tahun 1989.
(2) Penderita HIV/AIDS yang meninggal yaitu 68 orang merupakan persoalan besar karena sebelum mereka meninggal mereka sudah menularkan HIV/AIDS kepada orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Seorang pengidap HIV/AIDS meninggal itu terjadi di masa AIDS. Artinya, dia sudah tertular HIV antara 5-15 tahun sebelum meninggal.
(3) Jika di antara pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu ada pekerja seks komersial (PSK), maka itu artinya sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS yaitu laki-laki yang ngeseks dengan PSK tsb. tanpa memakai kondom. Satu orang PSK saja ada 3.600 – 10.800 laki-laki yang berisiko tertular HIV sebelum dia meninggal [1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x (5 tahun atau 15 tahun)]
Yang menjadi persoalan besar adalah orang-orang yang tertular HIV/AIDS dari 68 pengidap HIV/AIDS yang meninggal para rentang waktu 2004-2014. Paling tidak jika yang meninggal suami tentulah istri dan anak-anaknya berisiko tertular HIV/AIDS.
Disebutkan pula bahwa kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Pekalongan adalah 102. Yang perlu diingat angka ini adalah jumlah kasus yang terdeteksi. Karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es, yaitu kasus yang terdeteksi (102) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.
Maka, kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Dalam berita disebutkan Kepala Dinkes Kota Pekalongan, Dwi Heri Wibawa, membuka ‘Seminar Update Status Perilaku Remaja Indonesia Masa Kini’ di Kota Pekalongan.
Objek seminar itu merupakan bias yang disengaja untuk menutupi perilaku orang-orang dewasa, terutama laki-laki. Yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat adalah laki-laki dewasa yang bisa dilihat pada kasus ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Yang mendesak ditangani adalah laki-laki yang ngeseks dengan PSK tanpa kondom. Tapi, bisa saja Kadis Kesehatan “buang badan” dengan mengatakan di Kota Pekalongan tidak ada PSK. Ya, ini bensar secara de jure karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibentuk berdasarkan regulasi peraturan.
Tapi, secara de facto praktek pelacuran terjadi di Kota Pekalongan di sembarang tempat dan sembarang waktu yang melibatkan cewek-cewek panggilan dalam berbagai bentuk, seperti pemijat plus-plus, ABG, ‘mahasisw’, dll.