(info-bag.us) Tiga hari terakhir ini aku berkesempatan untuk mengikuti pelatihan pengadaan barang/jasa pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden 54 tahun 2010. Menurutku dan sudah jelas bagi semua, pengadan barang/jasa ini adalah sektor yang sangat rawan korupsi dan perlu diberi perhatian khusus. Kasus-kasus korupsi yang mencuat kebanyakan adalah terkait pengadaan barang/jasa (Pbj)
Aku mempunyai beberapa catatan, pertanyaan, komentar dan kritik yang ingin kubagikan, sebagai bahan diskusi, pencerahan, atau klarifikasi:
- Aku bertanya kenapa peraturan ini dinamain Pbj pemerintah dan bukannya pengadaan barang/jasa negara. Sementara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) itu dimanfaatkan untuk pengaddaan bukan saja oleh unsur pemerintah/eksekutif melainkan juga yudikatif dan legislatif, DPR. Walaupun pada praktiknya DPR, MA, dan lembaga negara lainnya sudah menggunakan peraturan ini namun demikian penamaan peraturan perlu dikoreksi agar mencerminkan cakupannya.
- Perpres memang disusun dengan niatan baik, dan diusahakan untuk menutup celah-celah – namun pasti tidak sempurna. Peraturan tidak berdaya jika ditangani oleh pejabat-pejabat yang berjiwa lemah. Cara yang paling mudah adalah dengan perencanaan pengadaan yang didesain sedemikian rupa agar dapat memenangkan suatu Penyedia barang/jasa (selanjutnya: penyedia saja) yang telah ditetapkan sebelumnya.
- Lembaga negara sudah saatnya mulai mengurangi pengadaan barang dan mengalihkannya pada jasa. Sebagai contoh: pengadaan sarana transportasi (seperti: mobil dinas) seharusnya dialihkan pengadaan jasa transportasi. Karena yang diperlukan ada kemudahan mobilitas pegawai negara untuk melaksanakan tugas dan bukan mobil itu sendiri. Aku kurang mendukung pengadaan barang transportasi karena beberapa hal: a) barang/inventaris negara akan memerlukan perawatan yang seringkali menjadi sumber pemborosan/kebocoran, b) suatu aset yang dikelola secara langsung oleh pemakai dapat menimbulkan konflik kepentingan: mobil dinas yang dipakai untuk kepentingan pribadi. Sementara, jika asset tersebut dikelola oleh pihak ketiga, maka penggunaannya menjadi lebih ketat karena pihak ketiga akan mengusahakan pemakaian sesuai dengan perjanjian karena akan merugi kalau jasanya dimanfaatkan untuk kepentingan lain; c) akuntabilitas lebih mudah karena pihak non-pemerintah dapat diperiksa terhadap oleh auditor publik.
- Hubungan lembaga negara dengan organisasi masa yang berpotensi konflik-kepentingan seperti Organisasi Dharma Wanita (ODW) perlu ditinjau ulang. Penggunaan APBN/D untuk Pbj yang kadang atau sering dikelola oleh ODW merupakan suatu kerawanan bagi tata kepemerintahan yang baik. Sebagaimana diatur mengenai etika pengadaan dalam pasal 6 butir e yang menyerukan agar “menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa;” Dalam penjelasan diatur bahwa para pihak terkait dalam proses Pbj tidak boleh memiliki peran ganda/ terafiliasi yang diartikan sebagi: “keterkaitan hubungan, baik antar Penyedia Barang/Jasa, maupun antara Penyedia Barang/Jasa denganPPKdan/atau anggota ULP/Pejabat Pengadaan, antara lain meliputi: a. hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai dengan derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal;”