Pesawat yang saya tumpangi perlahan meninggalkan Bandara Internasional Frankfuert dengan cuaca diluar yang membuat hati ini ciut karena hujan salju terlihat tak ramah saat itu. Dalam doa sebelum pesawat take-off, saya berharap semoga kami (semua penumpang) sampai dengan selamat ke tujuannya masing-masing.
Seperti biasa, saya memilih tempat di barisan dekat jendela, dengan tempat duduk di sebelah gang, alasannya karena saya merasa sungkan jika harus mengganggu penumpang di sebelah saya jika setiap saat ingin ke toilet.
Dan secara kebetulan, penumpang disamping saya seorang pria setengah baya yang saya duga berwarga negara Perancis. Bagaimana saya tahu ? karena terlihat dari fisik dan caranya berpakaian, walaupun saat itu dia sedang membaca novel berbahasa Inggris.
Lalu, di seberang saya duduk seorang wanita Asia, sebut saja namanya Anita yang terlihat sedih, sesekali menarik nafas panjang, memejamkan mata ... seperti sedang galau. Saya menebak usia wanita tsb sekitar 30-an, berparas manis, kulit kuning langsat dengan rambut tergerai sebahu. Sesekali saya tersenyum kepadanya jika kebetulan kami saling bertemu muka.
Waktu makanpun tiba,seorang pramugari cantik yang kelihatannya berasal dari salah satu negara di Timur Tengah bertanya dalam bahasa Inggris kepada pria di sebelah saya tentang menu apa yang ingin diambilnya. Ternyata benar dugaan saya kalau pria tsb orang Perancis. Sambil makan kami pun berbincang-bincang mengenai segala macam hal dalam bahasa Perancis. Saat itu saya bahagia bisa berbicara kembali bahasa Perancis dengan orang Perancis asli walaupun suami dan saya berkomunikasi dalam bahasa Perancis setiap hari tetapi beda kedengarannya karena suami saya orang Jerman (bukan native speaker).
Setelah makan, wanita Asia di seberang saya bertanya jika saya bermukim di Jerman. Saya jawab “ya” dan tak terduga, wanita tsb curhat tentang hubungan cintanya dengan pria Jerman yang sedang dalam proses cerai dengan istrinya dan mempunyai dua orang anak yang masih kecil-kecil.
Minta ampun Gustiku ! wanita tsb harus pulang ke negaranya karena visa habis, hubungan dengan pria Jerman tersebut putus dan dalam keadaan hamil.
Cerita lengkapnya seperti dibawah ini:
Pertemuan mereka terjadi ketika si pria Jerman yang bernama “B” berlibur di negaranya Anita. Entah apa yang dijanjikan oleh si “B” kepada Anita, membuat si Anita menjual harta miliknya untuk bisa hidup bersama dengan si ”B” di Jerman.
Menurut cerita; Anita seorang wiraswasta yang berhasil dan masih single. Dengan hasil penjualan rumah, mobil dan harta miliknya, dia membiayai sendiri hidupnya selama di Jerman, termasuk kursus bahasa Jerman yang dia ambil.
Selama di Jerman,”B” dan Anita hidup bersama, kalau dalam bahasa gaulnya “kumpul kebo” dengan biaya masing-masing.
Tak terasa kalau 6 bulan sudah berlalu dan kondisi keuangan Anita pun mulai menipis.
Proses perceraian antara ”B” dengan istrinyapun berlangsung. Di Jerman jika pasangan ingin bercerai, prosesnya satu tahun dimana dalam masa satu tahun tsb, masing-masing tidak boleh saling berhubungan (sex, saling memasaki, mencuci dst). Dan jika perceraianpun terjadi, harta milik bersama harus dibagi dua dengan adil, biaya anak ditanggung oleh suami jika istri tidak bekerja dan masih banyak peraturan lainnya yang pada intinya “rugi” materi dan mental bagi kedua pihak dengan korban anak-anak yang harus menanggung semua dampak psikologisnya ... miris !.
“B” bekerja sebagai guru SMA, dan untuk perceraiannya, “B” harus menjual rumah milik bersama istrinya yang dia tinggali bersama Anita. Sedangkan istri “B” dan anak-anaknya sudah keluar dari rumah tsb dan menyewa apartemen yang lebih kecil.
Habis manis sepah dibuang kalau kata para orang tua. Bersamaan dengan habisnya visa tinggal untuk Anita, si “B” mengusir Anita dan memutuskan hubungan.
Ada rasa geram dan iba mendengar cerita Anita yang terlihat putus asa, sampai-sampai dia ingin melakukan aborsi. Saya berusaha kasih solusi, langkah apa yang harus diambil untuk kebahagiaan dia dan bayinya.
3 bulan setelah pertemuan saya dengan Anita di pesawat, Anita datang kembali ke Jerman dengan usia kehamilan 3 bulan. Selama 3 bulan tsb kami berkomunikasi lewat telephone dan FB.
Pertanggungan jawab dari si “B” tidak ada sama sekali. Kami menyarankan agar Anita minta surat pernyataan bahwa anak yang dikandungnya tsb memang anaknya si “B”.
Surat tersebut guna mengurus asuransi kesehatan selama masa kehamilan sampai kelahiran bahkan keperluan birokrasi kedepannya untuk Anita dan anaknya.
Sampai sekarang surat tsb belum diterima oleh Anita. Jangankan surat, email-email yang dikirim Anita pun tak dijawabnya.
Semenjak Anita tinggal di Jerman lagi, dia tinggal dengan pria Jerman yang bernama “C” yang entah dimana dia kenal karena saya sendiri tidak ingin menanyakan hal tsb. “C” sempat bicara lama per telephone dengan suami saya. Kami jadi seperti orang tua bagi Anita, menjelaskan segala macam agar Anita selamat melahirkan bayi Jermannya dan hidup layak dengan hak yang sama seperti wanita asing lainnya yang mempunyai anak berwarga negara Jerman.
Saya pribadipun belum bertemu dengan Anita lagi semenjak pertemuan pertama kami di bulan November tahun yang lalu. Menurut pembicaraan per telephone dan foto-foto yang dikirim per FB, terlihat kalau Anita hidup bahagia dengan pacarnya yang baru.
Untukmu Anita: semoga kamu menjadi ibu yang baik dari anak titipanNya dan jika jodohmu adalah “C” maka doaku selalu agar “C” menjadi suami dan ayah yang baik untukmu dan si buah hati.
Pengalaman diatas adalah salah satu dari pengalaman suami dan saya dalam menolong wanita Asia yang bermasalah di Jerman.
Dan saya dedikasikan untuk “Hari Doa Se-dunia bagi para wanita” (Weltgebetstag der Frauen) dan “Hari Wanita Se-dunia” yang dirayakan pada tanggal 1 dan 8 Maret 2013.
Semoga para wanita yang bermasalah menemukan jalannya masing-masing yang terbaik dengan bantuanNya melalui doa, permohonan dan pertolongan kita bersama.