Ada kemungkinan cerita sedih, senang, membanggakan, tak terlupakan, disesali -- itu yang menyertai satu kata tersebut.
Secara kontekstual, resign (mengundurkan diri) bisa berkonotasi negatif, bila baik bagi pelaku ataupun organisasi, kantor, atau pekerjaan yang ditinggalkan oleh pelaku, dalam hal ini seorang staff atau mereka yang apapun posisinya -- bekerja di tempat yang bersangkutan dalam situasi konflik.
Nuansa dari keputusan resign juga beragam, misalnya saja -- demi pengembangan diri, demi mengejar passion awal bekerja, agar tingkat penghidupan lebih sejahtera, demi keluarga, dan sebagainya.
Tetangga saya pagi-pagi pada suatu hari yang cerah, mengirim WA. Dia minta tolong agar saya mereviu CV yang disiapkannya untuk melamar pekerjaan di organisasi X. Dia sendiri masih bekerja sebagai seorang manajer di biro HRD, berkantor di Jakarta -- kantor megah sebuah perusahaan swasta ternama.
Saat itu adalah pertengahan tahun 2020, walaupun di tengah masa pandemi dia tetap ngantor sekaligus WFH, dengan jadwal 2 hari WFH dan 3 hari kerja di kantor.
"Memangnya sekarang kenapa?" tanyaku sebelum menyanggupi mereviuw CV-nya.
Jawabnya, "Bikin galau, mBak. Semua makin serba nggak pasti, termasuk posisiku yang tiap saat bisa digeser!"
Sedikit banyak, kebetulan saya bisa membayangkan situasinya -- baik dari sisi internal kantornya maupun situasi dunia usaha sejak masa pandemi.
Dia pernah bercerita, di kantornya itu berlaku intrik, favoritisme, politik siapa lebih didengar owner perusahaan, dan banyak faktor lain yang membuat tetangga saya serasa sedang duduk di kursi panas.
"Oke deh, nanti malam kureviu CV-nya. Tapi menurutku usahakan dapat bekerja penuh konsentrasi, jadi performa kerja tetap baik. Tak kalah penting, rundingkan dengan suami juga permasalahannya," saranku.
"Iya, Mbak. Aku usahakan, sih. Terima kasih sebelumnya."