Keselamatan di jalan raya erat keterkaitannya dengan banyak faktor, yaitu perilaku pengendara pada umumnya, budaya berkendara, budaya masyarakat yang menyangkut hal yang lebih luas daripada sekadar perilaku berkendara, perilaku pejabat pembuat keputusan peraturan berkendara, perilaku petugas lalu lintas (polisi, DLLAJR), penegakan hukum dan peraturan lalu lintas, kondisi jalan dan mungkin masih banyak hal lainnya.
Sependek pengetahuan dan pengamatan saya dalam peristiwa sehari-hari, baik melalui berita media massa maupun kejadian yang saya lihat di lingkungan sekitar, masalah keamanan dan kenyamanan berlalu lintas tidak sesederhana uraian yang menganggap kekacauan kondisi lalu lintas dilihat dari satu perspektif tunggal.
Berikut adalah contoh kejadian yang membuat kening saya berkerut dan kepala menggeleng-geleng tak hentinya saking takjub dan nyaris menahan kesabaran menghadapi keruwetan masalah keamanan di jalan raya.
Ada penyeberang jalan yang tertib dan sebaliknya ada yang tidak peduli dengan aturan menyeberang dan berjalan di trotoir di ruas jalan tertentu.
Ada pengendara yang berhati-hati menjaga jarak mobilnya dari mobil lain baik di belakang maupun di depannya. Sebaliknya, ada pengendara yang mengendara dengan gaya zig-zag dan main seruduk, asal dirinya bisa sampai ke tujuan dengan cepat tanpa menghiraukan kondisi jalanan macet.
Ada pemotor tertib, mengendara dengan kecepatan yang “aman”, memakai helm di kepalanya, melengkapi kendaraannya dengan peralatan minimal standar seperti lampu sen, klakson, lampu sorot depan, lampu rem, dan rem yang bekerja bagus, kaca spion sesuai standar keamanan dlsb.
Namun ada lebih banyak lagi pemotor yang berperilaku sebaliknya. Berjalan di malam hari atau di tempat gelap tanpa menyalakan lampu depan, belakang, tanpa kaca spion, dan tidak mengenakan helm.
Ada juga orang tua yang membiarkan anak-anak di bawah umur 13 tahun berboncengan 3-4 orang, sehingga membingungkan pengendara lain di jalan yang bersangkutan. Yang terakhir ini saya khawatirkan menjadi tren yang semakin terasa sebagai “pemandangan normal dan lazim” bagi masyarakat.
Idealnya, saya bisa menyarankan semacam tips bijak berkendara, antara lain:
Pengendara wajib memiliki dan sudah lulus ujian mendapatkan Surat Ijin Mengemudi (SIM). Maka pengendara di bawah umur jelas dilarang, dan apabila hal ini dilanggar, orang tua pengendara di bawah umur perlu diberi sangsi tegas, bila perlu dikenai denda tinggi.
Saat mengendara di jalan, ingatlah keluarga yang menunggu di rumah. Jangan asal main srobot, melanggar kendaraan lain dari kiri, menikung tanpa mengurangi kecepatan, lampu merah atau kuning diabaikan dan terus saja kendaraan sesuka hati.
Untuk pengendara motor, pakailah helm yang sesuai standar keamanan. Pasanglah spion yang fungsional, bukan yang hanya untuk hiasan. Hormatilah penyeberang jalan.
Untuk pengendara roda empat, tertiblah memakai sabuk pengaman, mengendara dengan penuh konsentrasi, jangan sambil mengetik di handphone atau di notebook/ perangkat tablet, atau mengendara sambil menelpon.
Untuk yang sedang mengantuk, mereka yang habis mengonsumsi minuman keras, atau minum obat yang membuat ngantuk atau yang mengurangi kewaspadaan diri, diharapkan tidak berkendara. Bagi orang-orang yang tahu bahwa teman atau saudara sedang mengalami hal seperti itu, agar mengingatkan atau melarang yang bersangkutan mengendara.
Saat belok dan melalui tikungan jalan, pengendara harus melambatkan kecepatan kendaraannya, agar tidak bertubrukan ata menabruk pihak lain yang ada di seberang tikungan.
Demikian tips dasar bijak berkendara.
Pemerintah dan otoritas Kepolisian sudah membuat peraturan berlalu lintas bagi pengendara. Kewajiban menggunakan helm standar nasional Indonesia bagi pengendara sepeda motor diatur dalam Pasal 57 ayat (1) jo ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Maka, pengendara motor (pribadi atau pengojek) sebaiknya menyiapkan helm berstandar nasional dua buah, satu untuk dirinya sendiri dan satunya lagi untuk penumpang. Pengojek juga wajib melengkapi peralatan sepeda motornya seperti kaca spion, plat nomot polisi, dan lampu sen serta lampu rem.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 85 tahun 2002, ditetapkan peraturan kewajiban pengemudi kendaraan beroda empat untuk mengenakan sabuk pengaman. Secara resmi pula, pelanggar aturan ini bisa dikenai sanksi kurungan satu bulan dan denda Rp 1 juta.
Larangan memakai telepon genggam (dan sekarang tentunya harus diperluas dengan larangan memakai tablet atau alat telekomunikasi elektronik lainnya: laptop, BB, tablet, dll) sudah diatur dalam UU 22 tahun 2009 tentang Kepolisian dan Angkutan Jalan. Pada mulanya aturan ini diberlakukan, pelanggar bisa didenda Rp750 ribu, atau sesuai dengan pasal 283 UU No 22 Tahun 2009 tentang tertib berlalulintas, pengendara dapat dijatuhi penjara selama tiga bulan.
Meskipun ada penyimpangan, menurut saya adanya penerapan aturan kewajiban dan pengawasan pelaksanaannya perlu diamalkan dengan tegas dan konsekuen. Contohnya, aturan penggunaan sabuk pengaman yang berisiko denda signifikan dan konsisten, menjadikan peraturan ini ditaati, dan pada akhirnya menanamkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peraturan ditaati, demi keamanan mereka sendiri. Pertanyaannya:
Bagaimana komitmen pemerintah sebagai penegak peraturan itu sendiri?
Bagaimana pedoman dan saran bijak berkendara bisa menjadi kebiasaan berdasarkan kesadaran pentingnya keamanan dan kenyamanan setiap individu pengendara dan pengguna jalan (misalnya, penumpang sepeda motor dan ojek)?
Akhirnya, keamanan dan kenyamanan berkendara dan berada di jalan raya menurut saya adalah masalah dan kepentingan bersama. Konsekuensi idealnya adalah, hal ini menjadi tanggung jawab bersama, dimulai dari kesadaran dan niat setiap pribadi pengendara, pengguna jalan, membentuk komunitas missal pengendara dan pengguna jalan, yang diatur oleh produk kebijakan pemerintah, diawasi pelaksanaan dan dikenakan sanksi dengan ketegasam aparat yang bersangkutan.
Semoga hal ini menjadi salah satu cita-cita masyarakat secara bersama-sama, yang artinya, semua berusaha menjalankan pedoman ketertiban, dan semua akan menikmati hasilnya. Jangan menjadi masyarakat, pribadi atau aparat yang berstandar ganda.
Inilah fenomena yang tercermin dalam trend perilaku berlalu lintas saat ini: "Masalahku, masalahmu. Kepentinganku, kepentinganmu. Mauku, mauku sendiri. Menguntungkan buatku, ya untukku sendiri, bahkan bila terpaksa kau merasa terganggu, ya mana aku mau tahu".
Salam penuh keprihatinan dan sekaligus dengan berpengharapan besar, agar ke depannya tercipta peningkatan keamanan dan ketertiban berkendara.