Indrawadi
Humas Universitas Bung Hatta/ Citijen Journalist
Rabu, 30 Setember 2009, paginya aku berada di kampungku Baso Kab-Agam, hari itu kami sekeluarga mengadakan tahlilan 40 hari meninggalnya orang tua laki-lakiku. Siangnya aku kembali berangkat ke Padang dan harus kembali ke Kampus Universitas Bung Hatta, untuk meliput kegiatan Program Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru masih berlangsung dan akan ditutup sore harinya.
Aku pulang kampung dengan menggunakan sepeda motor, dengan pertimbangan lebih cepat dan anti macet serta alasan klasik irit biaya, tidak ada juga salahnya, karena pulang sendirian, istri ku tidak ikut pulang kampung, karena putri sulungku tidak mau meliburkan sekolahnya.
Usai lohor, aku berangkat lagi menuju Padang, yang aku perkirakan jika tidak halangan, sekitar jam 14.00 WIB, sudah akan sampai di kampus, dan masih bisa mengikuti dan mengambil dokumentasi kegiatan kemahasiswaan tersebut.
Disepanjang perjalanan, sepertinya ada sesuatu yang kurang lazim, tetapi aku mengannggap hal itu biasa. Jalur Padang-Bukittinggi yang biasanya padat, saat itu sangat sepi sekali, artinya tidak sepadat biasanya, pikirku saat itu karena tengah hari jelang sore, biasa saja karena rata-rata semua orang masih sibuk dengan aktifitasnya masing.
Di SPBU Pasar Usang, aku sempat mengisi bensin, dan juga sempat bertanya pada petugas SPBU, " ba-a da, ba mangko agak taraso langang-langang sajo" tanyaku. "Iyo Da, agak lain lo pado biasonyo" jawab petugas SPBU tersebut.
Sesampai di simpang jalan By Pass Duku, aku jadi ragu dan melambatkan motor, apakah akan terus ke kampus atau pulang dulu. Rumah ku di kawasan Banuaran Lubug Begelung, via By Pass akan lebih cepat dan dekat kalau dari Simpang Duku tersebut.
Masih dalam keraguan, akhirnya aku belokkan saja motor menempuh jalur By Pass menuju Lubug Begalung, sepanjang perjalanan terasa lengang, karena jalan lurus mulus bahkan sepeda motorpun sempat aku pacu mencapai 100 KM/jam, tak hanya itu saja, perempatan-perempatan yang ada lampu merahnya pun aku terobos, karena sepi.
Akhirnya sekitar jam 14.15 WIB aku sampai juga di rumah, dan melepas lelah sejenak. Aku menelpon salah seorang panita pelaksana staff Humas UBH Daus Tombol tentang acara di kampus, dan katanya penutupan acara mungkin akan di percepat, di percakapan telpon aku juga katakan, agak letih dan tanpa kehadiranku apakah dia bisa menghandel acara penutupan tersebut. Dia setuju dan tidak masalah, karena masih ada teman yang akan membantu dia mengambil dokumentasi.
Sekitar pukul 17.00 WIB, gadis kecil ku Naila masuk kerumah dan katanya mau pipis, semantara Nadira yang sulung masih bermain sepeda bersama temannya di gang belakang rumah, biasanya ia kalau mau pipis selalu sama bundanya, tapi kali ini dia tidak mau.
Selang beberapa saat, putra bungsu ku sedang tidur-tiduran dikamar juga merengek dan menangis-nangis, karena kedua serentak menangis, istriku yang lagi asyik menonton tayangan infotaiment mengambil alih dan mengantarkan Naila putriku ke kamar kecil, sementara Indrawadi Junior jadi tanggung jawabku, dia menangis karena pipis di celana.
Usai memasang celana Adli sijunior, aku bawa keluar kamar, sementara Naila juga telah kembali dari kamar kecil,............selang beberapa saat, ketika istri ku akan memasangkan celana Naila dan baru sebelah kakinya yang masuk........tiba-tiba terdengar suara menderu, bergetar dan menghentak-hentak.
Aku berteriak...."gempa.....capek lari kalua", istriku terkejut dan secepat itu pula ia mengendong Naila dan aku mengendong Adli lari keluar rumah.
Semua warga panik dan berhamburan keluar rumah, sambil mengucapkan Asma Allah. Begitu kuatnya gempa, aku masih sempat meneriakkan kepada warga "duduk dan tiarap, perhatikan sekeliling, kok ado yang ka ma impok"!!.
Aku bahkan sempat menghardik istriku untuk duduk, aku masih sempat melihat sekeliling, namun mataku tertuju pada armada kesayanganku Suziki Carry 88 yang diparkirkan di halaman tetangga, aku ngeri melihat,karena roda depan dan belakangnya terangkat-angkat, aku takut seandainya mobil tersebut mundur karena dan menggilas bebrapa tetangga yang sangat dekat dengan posisi mobil tersebut. Aku pucat pasi dan berusaha menenangkan diri dengan mengucap Asma Allah dalam hati saja.
Diantara tangisan dan pekikan serta ucapan Asma Allah, aku masih mendengar piring berjatuhan, suara-suara kaca pecah.
Sekitar 2-3 menit setelah itu, semuanya hening dan saling bertatapan kosong, terdiam pucat. Keheningan dibuyarkan oleh cucuran deras air di atap rumahku, ternyata tangki air yang baru saja di isi penuh pecah dan mengalirkan air yang cukup deras.
Naluri journalistku hilang, walau aku masih sempat mikir akan mengambil camera yang sedang di isi ulang, tetapi aku juga takut akan terjadi gempa susulan. Adlli yang dalam gendongan, aku serahkan pada istriku, aku beranikan masuk kerumah mengambil Handphone, istriku melarang, dia malahan bertanya "Arin mana,...Arin mana"..???. Tak aku pedulikan, dengan agak kasar aku serahkan Adli padanya dan sesegaranya masuk kerumah mengambil Handphone, mataku langsung saja tertuju ke gantuangan celana, HP tersebut tenang-tenang saja tergantung, seperti tak ada kejadian. Sekilas kulihat se isi rumah berantakan, lemari terjungkal, dapur berserakan, dan hebatnya photo anak-anakku di atas pesawat televisi malahan tidak terjatuh kelantai.
Sesampai di luar, para tetangga bertanya padaku, "berapa kekuatannya dan di mana pusatnya, apa akan terjadi tsunami". Aku tidak menjawab, dan menelpon.....tetapi tidak ada nada sambung, tetangga masih nyinyir bertanya, walhasil terpancing juga emosiku dengan suara keras aku menjawab " tunggu sabanta, nampak den sadang manelpon, jaringan kalera ko putuih pulo". Semuanya terdiam dan sepertinya cukup paham.
Semua nomor teman-teman wartawan yang ada di ponsel ku hubungi, hasilnya sama saja..tidak ada nada sambung sama sekali. Beruntung, sehari sebelumnya aku baru saja mengaktifkan kartu XL, beruntung juga handphone Nexian Bery-Bery ku punya dua simcard.
Dengan kartu XL, aku tersambung dengan "mamak rumah" Heri Gemita, ia saat itu bekerja di Indosiar, aku yakin saat itu sedang di kantor dan telah tahu ada gempa besar di Padang. Tanpa basa-basi seperti layaknya menelpon, aku lansung saja bertanya " Mit Gampo gadang di Padang, Tolong carian data, dimana pusatnya, dan berapa SR, dan apakah berpotensi Tsunami ??".
Tentu saja dia kaget, karena nomor XL ku belum terdaftar di Hpnya, " Sia ko main hariak-hariak sajo, sopan lah sakatek, jaleh den sadang dead line" jawabnya. Aku tetap nyerocos saja, "capek sajo lah Mit, cari datanya di situs BMG atau USGS, aden mah Mantari ( Mantari: pangilan sehari-hari dengan dia-red).
Rupanya dia cukup paham, dengan gaya bicaraku yang tidak seperti biasanya, " Oke, tunggu sabanta" jawabnya. Tetangga bertanya lagi, apakah sudah mendapatkan informasi, aku hanya menggeleng dan mengatakan, biasanya data paling cepat di ketahui 5 menit usai kejadian.
Sekitar 10 menit, ketika aku masih mencoba menghubungi nomor-nomor lain, masuk panggilan dari Heri Gemita " Mantari, gadang gamponyo, kecek USGS 7,9 SR, dan berpotensi Tsunami, pusatnya di Mentawai, segeralah cari tempat yang tinggi, kini ko a nan paralu sabuik sajolah" katanya di balik gagang telpon.
"Tolong se kabarkan, ke semua keluarga atau teman-teman yang bisa dihubungi, kami sekeluarga, baik-baik saja, tolong isi pulsa XL ini, karena lampu mati dan semuanya kacau", jawabku dan langsung menutup telpon.
Anakku Nadira yang bermain sepeda, pulang menangis sambil mendorong sepeda kesayangannya, sementara istriku dengan dua anakku, menangis melihat Nadira menangis mendorong sepeda.
"Ayah ado gampo, batingga-an Arin, Arin takut Yah" katanya sambil tersedu-sedu. (Arin: panggilan sehari-hari, red).
Langsung ku gendong dan ku peluk erat-erat, "Ngak apa-apa, kan sudah ayah bilang tadi, jam 5 harus pulang dan mandi" kataku. Setelah agak tenang, aku tanya "Saat gempa tadi gimana ??", tanyaku. "Arin jatuhkan sepeda, dan pegang orang dewasa dan mengucap-ngucap nama Allah" jawabnya. Ku peluk erat dia lagi dan aku katakan "anak pintar memang seperti itu"
Rupanya ia masih teringat dengan pesan-pesan yang sering kusampaikan jika terjadi gempa, dimana saja berada, cari saja orang dewasa dan pegang dia, serta jauhi bangunan yang mungkin akan runtuh.
Kepanikan masih terjadi, semuanya mengomel-ngomel, karena lampu mati dan sinyal Handphone lenyap. Setelah anak-anakku terkumpul, aku masuk ke rumah mengambil tikar dan melepas slang kompor gas, bergegas saja, dan hanya mengambil tikar.
Aku coba tenangkan warga, dengan menelpon Daus Tombol, yang juga pakai kartu XL di Kampus Universitas Bung Hatta, rupanya para aktifis kampus tersebut sedang memantau air laut, dari dia lah aku dapatkan informasi, setelah 30 menit berlalu, tidak ada tanda-tanda air laut naik, dan berbagai kerusakan yang terjadi di kampus.
Mendengar kabar itu, warga agak tenang dan aku sampaikan juga, jangan panik dan sebaiknya tidak perlu evakuasi, karena wilayah kita berada dalam zona kuning.
Selang beberapa saat, aku coba stel radio di Handphone, terdengar sudah ada beberapa laporan kerusakan, kebakaran, kemacetan dan kepanikan luar biasa di semua penjuru kota.
Rupanya infus pulsa masuk dari Budi Buntua, kataya Heri Gemita yang nyuruh isi, dia juga langsung telpon menanyakan keadaan. Cepat saja aku tutup telpon karena batrai sudah mulai berkedip-kedip, sementara lampu mati untuk isi ulang.
Semua orang menggelar tikar, dan makan bersama-sama, karena umumnya telah selesai memasak untuk makan malam. Selepas magrib, aku keluarkan genset kecil, tapi bensinya kosong, aku lihat bensin motor juga sudah di posisi "E".
Sambil menuju SPBU di Mata Air, aku lihat berbagai kerusakan, semua warga menggelar tikar di luar. Sampai di SPBU, antrian cukup luar biasa dan macet. Akhirnya aku putuskan untuk kembali saja pulang.
Sampai di komplek, aku terungat tetangga yang bekerja di kantor BKKBN, dengan begitu aku yakin, dia pasti punya baju yang ada logo-logo kesehatan. Aku pinjam bajunya dan aku pasang secara tergesa, aku katakan, dengan baju tersebut akan mudah mendapatkan bensin tanpa harus antri.
Di SPBU Mata Air, ku temui salah sorang petugas, dan dia sarankan agar menemui manager operasioanal, memang ada dua buah pompa yang tidak di operasikan, katanya itu khusus untuk petugas penyelamat, aparat,dll.
Aku berbohong dan aku katakan, aku perlu bensin untuk genset, melihat aku memakai baju yang ada logo kesehatan, ia mengizinkan untuk mengisi bensin motor dan 10 liter bensin di drigen. Tak ku pedulikan ratusan motor dan mobil yang antri. Aku bersatwa sangka saja, orang-orang itu akan paham, bahwa aku petugas kesehatan (sekali-kali berbohong ada juga guna, tapi jangan di tiru).
Genset kecil berhasil hidup, warga komplek di gang rumahku, semuanya bermalam di luar rumah, kabel listrik dari genset di tarik keluar, di rasa persaudaraan terasa benar ketika duka terjadi, berbagi cerita, berbagi makanan dan lain-lain sebagainya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Esok harinya, hujan turun, dan aku coba berkeling dengan motor, walau aku membawa handycam dan kamera digital. Aku heran kenapa tidak satupun gambar atau photo yang aku ambil, ciut saja nyaliku untuk mengambil gambar. Sekitar satu jam ku kelilingi Kota Padang, hatiku pilu, terbit juga air mataku saat melihat kawasan pondok hancur lebur, hotel ambacang ambruk, tempat kursus GAMMA hancur, kabarnya puluhan anak-anak terkubur dan belum satupun ang berhasil di evakuasi.
Aku pulang, dan tidak bercerita banyak pada istriku tentang kondisi kota Padang. Aku hanya bilang, berkemas-kemas sajalah untuk pulang kampung. Aku pastikan padanya bahwa 1 minggu kedepan kota Padang akan lumpuh, listrik tidak akan hidup, kita punya anak-anak kecil, akan lebih baik dikampung dari pada di Padang untuk saa ini.
Ia sepertinya keberatan dan tidak menjawab. Aku juga diam dan lebih memilih memeluk-meluk anak-anak. Di dapur dia mengomel-ngomel karena tidak air, untuk dimasak. Mendengar itu aku ulangi, agar pulang kampung karena ada saudara yang akan datang sebentar lagi datang menjemput. Dia hanya berkata " Justru dengan keaadaan seperti inilah kita harus tetap bersama-sama". Aku hanya diam, terpana mendengar kata-katanya itu.
Kucoba, hidupkan televisi dengan arus listrik dari genset, saat itu sudah ada tayangan berbagai kerusakan, kota Padang yang disiarkan PadangTV dab MetroTV. Melihat tayangan itu, tanpa aku suruh lagi. Ia menangis dan akhirnya keluargaku mau pulang kampung ke Baso. Beruntung juga saat itu armadaku Super Carry 88 bensinya masih ada setengah. Pada saudaraku, aku ingatkan agar lewat Sitinjau Laut, karena via Padang Panjang Longsor.
Setelah keluarga pulang kampung, aku pergi ke kampus dan melihat berbagai kerusakan, seementara mahasiswa telah mendirikan posko-posko relawan. Kembali aku ajari berbohong kepada mahasiswa tapi demi kebaikan. Mereka kesulitan mencari bensin, sementara bensin mobil-mobil yang ada di kampus telah tandas mereka kuras. Dengan pakaian relawan Mapala, KSR-PMI, mereka lancar-lancar saja mendapatkan bensin. Tapi tetap aku ingatkan untuk jangan di salah gunakan.
Kenapa naluri jurnalisku sebagai Citijen Jounalist saat itu ikut hancur ???......sampai sekarang aku belum menemukan jawabannya.
catatan: tulisan ini telah diterbitkan dalam buku JURNALIS MENUJU TITIK NOL