“To have spent twenty-seven years in jail for political reasons, to have been deprived of the whole mighty center of one’s life, and then to emerge apparently without a trace of bitterness, alert and ready to lead one’s country forward, may the most extraordinary individual human achievement that I have witnessed in my lifetime. I marvel that he could come out of jail free of bitterness and yet uncompromising in his basic political beliefs; I marvel at his ability to combine an impeccable character, to which virtually everyone attests, with the political wisdom of a Solomon. In jail, I am told his white guards came to have such respect for him that in some ways he was their warden and they the prisoners, more prisoners of apartheid.” (Arthur Ashe Jr., in Days of Grace)
Tiga bulan lalu, tepatnya pada hari Kamis tanggal 5 Desember 2013, dunia kehilangan seorang pemimpin besar, seorang pemimpin transformasional, Nelson Mandela, mantan presiden pertama Republik Afrika Selatan yang dipilih secara demokratis. Nelson Rolihlahla Mandela dilahirkan pada tanggal 18 Juli 1918.
Pejuang melawan ketidak-adilan. Untuk kurun waktu 200 tahun lamanya Afrika Selatan diperintah oleh sebuah pemerintahan minoritas kulit putih. Walaupun orang-orang Afrika berwarna kulit hitam berjumlah lebih dari 75% total penduduk Afrika Selatan, orang-orang putih memiliki sebagian besar properti, menjalankan sebagian besar bisnis, dan mereka praktis mengontrol berbagai sumber daya alam negara itu. Para warga yang berkulit hitam tidak mempunyai hak untuk memilih dan seringkali bekerja di bawah kondisi-kondisi buruk untuk memperoleh upah yang sangat minimal atau tanpa upah samasekali.
Nelson Mandela bertekun selama 50 tahun dalam upayanya melawan politik diskriminasi rasial resmi pemerintahan Republik Afrika Selatan yang dinamakan Apartheid, dan Mandela pada akhirnya menang.
Kemampuan Mandela untuk mengkonfrotir isu-isu menjadikannya presiden kulit hitam Afrika Selatan yang pertama dalam sebuah pemilihan yang diselenggarakan secara demokratis untuk pertama kalinya. Mandela juga diakui sebagai seorang pembawa damai bagi sebuah bangsa yang telah dicabik-cabik oleh pertentangan dan kekerasan rasial yang berlangsung berabad-abad lamanya.
Masa muda. Mandela tidak selalu merasa nyaman sebagai pusat perhatian umum. Pada waktu berumur 20’an awal, Mandela merasa takut berbicara di depan publik. Namun dia menyadari, bahwa apabila dia harus mempengaruhi orang – dan inilah hakikat dari kepemimpinan – maka dia harus mampu mengatasi masalah rasa takut ini. Mandela menghadapi rasa takutnya itu dan memaksa dirinya untuk berbicara dan berpidato di depan kelompok-kelompok besar yang berkumpul guna memperjuangkan kemerdekaan-sipil. Mandela memusatkan perhatiannya pada masalah rasialisme dan melupakan rasa khawatirnya. Tidak lama setelah itu Mandela sudah biasa terlihat berdiri di hadapan ribuan orang banyak dan dia berbicara dengan berapi-api dan penuh kepercayaan-diri.
Mandela mengejar tujuan-tujuan sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapainya, tanpa mengenal lelah. Sebagai seorang muda, Mandela menyadari bahwa pendidikan adakah kunci keberhasilan. “Walaupun tidak cemerlang pada waktu menjadi murid sekolah dasar, secara bertahap dia berhasil memperbaiki diri, bukan karena kecerdikan melainkan kekerasan kepala”, demikian tulis Mandela sendiri.
Mandela adalah orang pertama dari keluarganya yang berhasil belajar di perguruan tinggi. Mandela studi hukum di universitas yang terkenal di Afrika Selatan, yaitu Universitas Witwaterstrand. Dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom, Mandela mengungkapkan bahwa dia adalah keturunan “darah biru” di wilayah Transkei di Afrika Selatan. Ia memutuskan untuk melepaskan haknya guna menggantikan ayahnya sebagai kepala suku Tembu agar dapat belajar hukum seperti dicatat di atas.
Setelah lulus sekolah hukum Mandela melihat di Afrika Selatan belum ada kantor pengacara orang hitam – dengan demikian dia membuka kantor pengacara orang hitam yang pertama di Johannesburg. Mandela menulis, “Untuk sampai ke kantor kami, kami harus berjalan melalui kerumunan orang banyak di lorong-lorong, di tangga-tangga dan dalam ruang tunggu kantor kami”.
Melawan rasialisme secara teroganisir. Untuk melawan rasialisme yang dilegalisir oleh pihak yang berkuasa, pada tahun 1952 Mandela mempersatukan orang-orang berwarna kulit hitam (negro), orang-orang keturunan India dan orang-orang yang berdarah campuran dalam “Campaign for the Defiance of Unjust Laws” (Kampanye untuk menentang hukum-hukum yang tidak adil). Untuk menjamin bahwa kampanye ini sampai menarik perhatian dunia, dengan cermat sekali Mandela merencanakan sebuah program dengan dua tahapan. “Pada tahapan pertama, sejumlah kecil sukarelawan yang telah terlatih baik akan melanggar hukum-hukum tertentu yang telah dipilih secara khusus di sejumlah kecil area di kota-kota”, kata Mandela. “Mereka akan masuk ke dalam area-area terlarang tanpa izin, menggunakan berbagai fasilitas, seperti WC, bagian-bagian dalam gerbong kereta, ruang-ruang tunggu dan pintu-pintu masuk kantor pos, yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang berkulit putih. Dengan sengaja mereka akan berdiam dalam kota (yang khusus diperuntukkan untuk orang-orang kulit putih) setelah jam malam”. Mandela memang mengetahui bahwa orang-orang Afrika Selatan yang berkulit putih dapat mencoba untuk mengabaikan orang-orang yang melakukan protes ini. Untuk menjamin orang-orang kulit putih itu tidak mengabaikan mereka, maka Mandela mengajarkan para pendukungnya bahwa perlu untuk mempraktekkan “perlawanan massa, disertai dengan pemogokan-pemogokan”.
Proses ini diulang-ulangi dari daerah yang satu ke daerah yang lain untuk selama lima bulan lamanya. Kampanye selama lima bulan ini berhasil membangkitkan kesadaran dunia tentang kekejian Apartheid dan menambah jumlah keanggotaan dalam “African National Congress (ANC) – sebuah kelompok kemerdekaan sipil yang didirikan pada tahun 1912 – dari 20.000 anggota menjadi 100.000 anggota.
Gandrung akan persatuan dan kesatuan. Mandela melihat bahwa pertumbuhan ANC ini sebagai suatu kesempatan untuk mendatangkan persatuan yang lebih mendalam lagi. Pada tahun 1955, Mandela mengorganisir Kongres Rakyat (Congress of the People) untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan anti-apartheid di Afrika Selatan dan “menciptakan prinsip-prinsip demokratis yang “mengabsahkan perusahaan privat dan akan memperkenankan kapitalisme untuk bertumbuh dengan subur di antara orang-orang di Afrika Selatan”, demikian kata Mandela.
Percaya kepada Demokrasi. Mandela selalu percaya pada demokrasi. Dia belajar mengenai demokrasi ini dari ketua suku (tribal chief) yang membesarkannya dalam sebuah kota di pedalaman Mqhekezweni setelah kematian ayahnya. Sang kepala suku menyelenggarakan rapat-rapat di mana “setiap orang didengar, ketua dan yang dipimpinnya, prajurit dan tabib, pemilik toko dan petani”, ingat Mandela. Orang-orang dapat berbicara tanpa interupsi.
Percaya kepada gerakan non-kekerasan. Mandela tidak menyukai kekerasan, dan dia mendesak para pendukungnya untuk mengikuti prinsip-prinsip yang dicanangkan oleh tokoh kemerdekaan India, Mohandas Gandhi, yaitu protes dengan cara damai. Walaupun begitu Mandela tidak menafikkan pembelaan diri. Ketika polisi Afrika Selatan melakukan kekerasan terhadap gerakan tanpa kekerasan kelompoknya, ANC tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengubah arah”, katanya. Ada sejumlah orang kulit putih mati terbunuh pada huru-hara di awal-awal. Pada tahun 1960, polisi membunuh atau melukai lebih dari 250 orang berkulit hitam di Sharpville. Akibatnya sekitar 95% tenaga kerja kulit hitam mogok bekerja selama dua minggu, dan keadaan darurat pun dideklarasikan. Kemudian Mandela mengorganisasikan tindakan-tindakan sabotase untuk semkin menekan pemerintah Afrika Selatan untuk berubah. Target dari sabotase adalah instalasi-instalasi pemerintah namun dengan tetap menjaga tidak ada jiwa melayang dalam kampanye pemboman itu. Sementara itu Mandela masuk dalam DPO Polisi Rahasia. Untuk selama 18 bulan Mandela hidup di bawah tanah dan menyamar agar tidak ditangkap. Namun pada akhirnya pada tahun 1962 dia berhasil ditangkap dan diseret ke pengadilan yang “tidak adil” dan kemudian dijebloskan ke dalam penjara. Kemudian dia ditaruh di penjara Robin Island untuk mengawali hidup dalam penjara yang lebih dari seperempat abad lamanya.
Tidak kenal kompromi. Pada waktu pemerintah Afrika Selatan menjebloskan Mandela bersama dengan para aktivis ANC dan kelompok-kelompok kemerdekaan sipil lainnya ke dalam penjara, dia menolak untuk menyerah. Mandela bertekun selama 27 tahun hidup dalam penjara. Dari dalam penjara Mandela secara tetap mencoba untuk mengingatkan dunia akan ketidakadilan yang sedang terjadi di Afrika Selatan. Dan ia berhasil meyakinkan dunia. Pada tahun 1985 kepadanya ditawarkan pembebasan bersyarat, namun dia menolak tawaran itu. Mandela memang bukan seorang pribadi yang suka berkompromi.
Mengakui pentingnya humas dan mempraktekkannya. Mandela memahami nilai dari fungsi hubungan masyarakat (humas; public relations). Ia menggelar acara “mogok makan” dan menerbitkan pesan-pesan para penasihat hukumnya dan orang-orang lain yang diperkenankan mengunjunginya di penjara. Dia juga menerbitkan pernyataan-pernyataan yang menceritakan kepada dunia tentang pemenjaraan orang-orang yang menentang pemerintah, penyiksaan/penganiayaan atas diri mereka dan rasialisme yang dilegalisir.
Selagi negara Afrika lainnya dan negara-negara demokratis di dunia Barat menjauhi atau menjaga jarak dengan Republik Afrika Selatan, pemerintah Afrika Selatan berkali-kali menawarkan pembebasan Mandela – dengan syarat dia meninggalkan posisinya. Namun Mandela berpegang teguh pada keyakinannya. “Saya menanggapi bahwa negaralah yang bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi – artinya selalu pihak penindas, bukan pihak yang ditindas, yang mendiktekan bentuk perjuangan”, kata Mandela. “Bukan tergantung kepada kitalah untuk menolak kekerasan, melainkan pemerintah”.
Dengan cepat Mandela menjadi suatu lambang terkenal berkaitan dengan penindasan di Afrika Selatan. Pada bagian akhir tahun 1980an, determinasinya yang dahsyat telah menolong mempengaruhi negara-negara lain – termasuk Amerika Serikat untuk menjatuhkan sanksi terhadap Afrika Selatan sampai pemerintahnya setuju untuk mengakui semua kelompok etnis sebagai warga-warga negara dengan hak-hak yang penuh. Akhirnya, Presiden Afrika Selatan, P.W. Botha setuju untuk bertemu dengan Mandela.
Negosiasi dengan pemerintahan kulit putih. Mandela kemudian disibukkan dengan berbagai negosiasi. Dia memakai waktu berjam-jam lamanya untuk bernegosiasi dengan Botha, dan kemudian dengan penggantinya, F.W. de Klerk, memaparkan tuntutan-tuntutan ANC untuk terciptanya sebuah Afrika Selatan yang baru. Dia mendesak pemerintah untuk membatalkan pelarangan ANC dan kelompok-kelompok kemerdekaan-sipil yang lain; juga menghentikan keadaan darurat yang memberikan kepada polisi kuasa untuk melakukan sweeping. Mandela juga mendesak pembebasan para tahanan politi dan menuntut bahwa mereka yang berada dalam pembuangan diperkenankan untuk kembali ke Afrika Selatan.
Dibebaskan dari penjara. Pada tanggal 2 Februari 1990, enam bulan setelah menjadi Presiden Republik Afrika Selatan, de Klerk menyetujui sebagian besar dari tuntutan-tuntutan Mandela. Sembilan hari kemudian, Mandela dibebaskan, setelah selama 27 tahun meringkuk dalam penjara. Mandela keluar dari penjura pada tanggal 11 Februari 1990 dan dia disambut meriah oleh rakyat. Setelah hening untuk beberrapa menit lamanya, dia berkata: “Para sahabat, teman seperjuangan dan sesama warga Afrika Selatan. Saya menyapa anda semua dalam nama perdamaian, demokrasi dan kebebasan untuk semua! Saya berdiri di sini dihadapan anda sekalian bukan sebagai seorang nabi, melainkan sebagai seorang abdi (pelayan) yang rendah hati dari anda, rakyat. Pengorbanan-pengorbanan anda sekalian yang tidak mengenal lelah dan penuh kepahlawanan telah membuat mungkin bagi saya untuk berada di sini hari ini. Oleh karena itu saya menempatkan sisa-sisa tahun kehidupan saya ke dalam tangan-tangan anda.”
Dalam otobiografinya Mandela menulis, “Pertama-tama saya ingin mengatakan kepada rakyat bahwa saya bukanlah seorang mesias, melainkan seorang manusia biasa yang menjadi seorang pemimpin karena keadaan yang bersifat luarbiasa (extraordinary). Saya ingin langsung berterima kasih kepada rakyat di seluruh dunia yang telah melakukan kampanye untuk pembebasan saya .... Sungguh vital bagi saya untuk menunjukkan kepada rakyatku dan pemerintah bahwa saya tidak patah (tidak berhasil dipatahkan) dan tidak tunduk (tidak berhasil ditundukkan), dan bahwa perjuangan belum selesai bagi saya, tetapi mulai baru dalam bentuk yang berbeda. Saya menegaskan bahwa saya adalah seorang anggota ANC yang loyal dan berdisiplin. Saya mendorong rakyat untuk kembali ke barikade mereka, untuk mengintensifkan perjuangan, dan kita akan menjalani mil terakhir bersama.”
Mimpi Mandela adalah Afrika Selatan yang non-rasial, bersatu dan demokratis berdasarkan peraturan voting “one person, one-vote rule”, mengungkapkan tidak adanya kebencian pada orang-orang kulit putih, melainkan menyalahkan sistem yang membuat orang-orang berwarna kulit hitam berhadapan-hadapan dengan orang-orang kulit putih sebagai lawan. Dia terus meyakinkan orang-orang kulit putih bahwa mereka juga warga Afrika Selatan, dan itu pun tanah mereka juga. Dia mengingatkan bahwa kita harus melupakan masa lampau dan mengkonsentrasikan diri pada pembangtunan masa depan yang lebih baik bagi semua orang. Menurut kata-katanya sendiri, misinya adalah mengkhotbahkan rekonsiliasi, membalut luka-luka negara, dan menimbulkan rasa percaya (trust) dan kepercayaan (confidence). Mandela berkata bahwa pada setiap kesempatan dia mengatakan semua rakyat Afrika Selatan harus bersatu sekarang, dan sambil bergandengan tangan mengatakan bahwa kita adalah satu negara, satu bangsa, satu rakyat, yang berbaris bersama menuju masa depan.
Pemilihan Umum. Sekeluarnya dari penjara, perjuangan Mandela belumlah selesai. Ada visi besarnya yang belum terwujud dan situasi dalam masyarakat juga jauh dari tenteram. Selama empat tahun ke depan, Mandela menolong memimpin negosiasi-negosiasi untuk mendirikan sebuah demokrasi di Afrika Selatan. Sebelum itu, pada tahun 1992 sebanyak 4 juta orang pekerja melakukan pemogokan untuk memprotes aturan-aturan yang dibuat orang kulit putih. Karena tekanan ini, Mandela memaksa de Klerk untuk menandatangani sebuah dokumen yang memuat garis-garis besar pemilihan multi-partai. Dan, pada akhirnya negara ini menyelenggarakan pemilihan umum yang sungguh bersifat multi-rasial di bulan April 1994.
Polling pendapat menunjukkan bahwa ANC merupakan mayoritas yang besar. Walaupun begitu Mandela dan para petinggi partai lainnya tetap bekerja seakan mereka sedang menghadapi pertempuran yang keras dan sulit. Sungguh merupakan suatu tugas yang sangat berat, seperti dikatakan oleh Mandela sendiri, “Kita memprakirakan bahwa orang-orang yang akan datang ke TPS berjumlah lebih dari 20 juta orang, dan kebanyakan dari mereka akan memilih untuk pertama kalinya. Banyak pemilih adalah orang-orang buta huruf dan mudah terintimidasi......”
Untuk mencapai rakyat yang tidak dapat membaca, Mandela dan kawan-kawannya melatih lebih dari 100.000 orang untuk membantu dalam registrasi para pemilih. Para caleg ANC pergi ke segala peloksok negeri sambil menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang dinamakan “forum rakyat” (people’s forum) – di desa-desa dan kota-kota kecil guna mendengarkan “pengharapan-pengharapan dan rasa taksut, ide-ide dan keluhan-keluhan, dari rakyat kita”. Tanggapan-tanggapan rakyat ini menolong partai dan platform-nya.
ANC menang dengan 62,6% dari suara nasional dan 252 dari 400 kursi di National Assembly (parlemen). Mandela diangkat menjadi presiden pada tanggal 10 Mei 1994.
Untuk menghargai berbagai upaya mereka guna mengakhiri apartheid, Mandela bersama de Klerk, menerima Hadiah Nobel untuk Perdamaian di tahun 1993.
Turun takhta. Pada tahun 1999, Mandela “turun takhta” sebagai presiden untuk membuka jalan bagi Thabo Mbeki, yang dinominasikan sebagai presiden ANC pada tahun 1997. Setelah pengunduran diri Mandela dari pemerintah, dia melanjutkan berbagai perjalanan internasionalnya, bertemu dengan para pemimpin dunia lainnya, menghadiri konferensi-konferensi dan mengumpulkan berbagai anugerah penghargaan dari berbagai penjuru dunia (lebih dari 250 penghargaan).
Mandela tetap memiliki keprihatinan atas dampak penyakit HIV-AIDS atas Afrika Selatan, seperti ditekankannya pada pidato perpisahannya kepada parlemen pada tahun 2004. Mandela juga menciptakan “Mandela Children’s Fund” untuk memperhatikan anak-anak yang miskin guna memperbaiki kualiatas kehidupan mereka.
Kematiannya. Pada tanggal 5 Desember 2013, Mandela meninggal dunia dalam damai. Seperti dibuktikan pada saat-saat kematian dan pemakamannya, dia dihormati oleh banyak negara dan bangsa di dunia. Nelson Mandela adalah seorang negarawan yang besar, seorang pemimpin yang berani, seorang pembawa damai, seorang politisi yang cemerlang, bapak dari bangsanya, dan seorang pribadi yang memahami arti sebenarnya dari pengampunan dan rekonsiliasi, ...... seorang Kristiani yang baik. Dan, namanya tidak akan dilupakan untuk banyak tahun ke depan. Mandela adalah seorang contoh transformational leader yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia sekarang ini.
Jakarta, 5 Maret 2014
Frans Indrapradja
Sumber:
1. Nelson Mandela: Enduring to Triumph (dalam Shriberg, Lloyd, Shriberg & Williamson, Practicing Leadership – Principles and Applications, hal. 8-9).
2. An Example of a Transformational Leader: Nelson Mandela (dalam Hughes, Ginnett & Curphy, Leadership – Enhancing the Lessons of Experience, hal. 403).
3. Statesman Nelson Mandela: He Persevered Agains Apartheid – and Won (dalam Military and Political Leaders & Success, hal. 105-109).
4. Sdr. F.X. Indrapradja, OFS, R.I.P. NELSON MANDELA [1918-2013], dalam majalah GITA SANG SURYA, Vol. 8, No. 6 November-Desember 2013, hal. 24-26.
http://developingsuperleaders.wordpress.com