Perdebatan di sekitar topik kepemimpinan kharismatis bergeser secara dramatis dengan diterbitkannya buku karangan James MacGregor Burns, “LEADERSHIP”, New York: Harper & Row, 1978 (lebih dari 350 halaman). Burns adalah seorang ahli ilmu politik terkenal yang sepanjang karirnya di arena politik nasional (AS) menekuni topik kepemimpinan. Saya sudah menyinggung sedikit soal Burns dan tulisannya ini dalam tulisan saya yang berjudul “Kepemimpinan Kharismatis (Charismatic Leadership)” dalam KOMPASIANA, 16 Februari 2014. Uraian tentang kepemimpinan kharismatis yang memang erat berhubungan dengan kepemimpinan transformasional juga terdapat dalam tulisan saya tanggal 16 Februari 2014 tersebut.
TRANSACTIONAL LEADERSHIP & TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP
Menurut Burns, kepemimpinan itu dapat mengambil salah satu dari dua bentuk ini: Kepemimpinan transaksional (transactional leadership) dan kepemimpinan transformasional (transformational leadership). Yang disebutkan belakangan sangat erat berhubungan dengan kepemimpinan kharismatis.
Transactional Leadership. Kepemimpinan transaksional ini terwujud ketika para pemimpin dan para pengikut (konstituen) berada dalam sejenis hubungan pertukaran (exchange relationship) satu sama lain agar kebutuhan masing-masing pihak dipenuhi. Jadi, semacam “barter” (tukar-menukar). “Pertukaran” ini dapat berupa pertukaran yang bersifat ekonomis, politis atau psikologis, dan contoh-contohnya dapat mencakup “menukar” tenaga kerja yang disumbangsihkan dengan imbalan bayaran upah, memberi suara untuk memperoleh political favors (dalam suasana pemilu kita sekarang: memberi suara untuk uang yang diterima dari caleg atau tim suksesnya dslb.), bersikap setia agar dapat dipertimbangkan untuk promosi jabatan dalam perusahaan, dst. Ada contoh lagi dalam dunia bisnis: Seorang pemimpin transaksional membantu para pengikutnya mencapai tujuan-tujuan mereka; jadi, para pengikutnya pun mengikuti sang pemimpin transaksional karena jelas-nyata inilah yang terbaik bagi mereka.
Kepemimpinan transaksional adalah sesuatu yang sangat biasa kita temui dalam kehidupan sehari-hari, namun sifatnya tidaklah untuk jangka panjang – artinya transitoris -, tidak ada tujuan bersama yang perlu dipertahankan agar membuat kedua pihak itu terus-menerus “nempel-nempelan”, sekali transaksi dibuat. Burns juga mencatat, bahwa jenis kepemimpinan ini dapat cukup efektif, namun tidak akan berakibat dalam perubahan dalam organisasi atau masyarakat, malah cenderung untuk melestarikan dan melegitimasi status quo yang ada.
Transformational Leadership. Kepemimpinan transformasional mencakup dua unsur yang bersifat hakiki, yaitu “relasional” dan “berurusan dengan perubahan riil”. Kepemimpinan transformasional terjadi ketika seorang (atau lebih) berhubungan dengan orang-orang lain sedemikian rupa sehingga para pemimpin dan pengikut saling mengangkat diri untuk sampai kepada tingkat-tingkat motivasi dan moralitas yang lebih tinggi (Burns, 1978, hal. 20).
Kepemimpinan transformasional ini adalah dalam rangka perubahan status quo lewat nilai-nilai yang dianut para pengikut (konstituen) dan pandangan mereka terkait dengan tujuan yang lebih tinggi. Seorang pemimpin transformasional mengartikulasikan masalah-masalah yang ada dalam sistem yang berlaku dan dia mempunyai visi yang sangat mendesak berkenan dengan apa dan bagaimanakah organisasi atau masyarakat yang baru itu. Visi baru tentang organisasi atau masyarakat ini secara erat terkait dengan nilai-nilai yang dianut oleh sang pemimpin dan para pengikutnya. Visi ini mewakilkan suatu ideal yang “sama dan sebangun” dengan sistem-sistem nilai mereka. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional pada akhirnya merupakan suatu praktek moral dalam artian meningkatkan standar-standar perilaku manusia. Jadi, kepemimpinan transformasional mempunyai dimensi moral juga, karena mereka yang terlibat di dalamnya “dapat diangkat kepada diri mereka yang lebih baik (Burns, 1978, hal. 462). Artikulasi tentang dimensi moral ini dengan tajam membedakan kepemimpinan transformasional dari pandangan-pandangan kepemimpinan yang dipromosikan oleh para ahli manajemen. Hal ini berarti bahwa tes yang paling mendasar terhadap kepemimpinan transformasional dapat merupakan jawaban terhadap pertanyaan, “Apakah perubahan-perubahan yang diadvokasikan oleh sang pemimpin sungguh memajukan atau malah menghambat perkembangan organisasi atau masyarakat?” Seorang pemimpin transformasional juga cekatan dalam membingkai kembali isu-isu; mereka menunjukkan bagaimana masalah-masalah atau isu-isu yang dihadapi para pengikutnya dapat dipecahkan apabila mereka mendukung dan mewujudkan visi sang pemimpin tentang masa depan.
Seorang pemimpin transformasional juga mengajar para pengikutnya bagaimana mereka sendiri dapat menjadi pemimpin-pemimpin dan mendorong mereka untuk memainkan peranan yang aktif dalam gerakan perubahan. Contohnya adalah bagaimana seorang Nelson Mandela memimpin perubahan di Republik Afrika Selatan, dan merupakan presiden pertama negara itu yang dipilih secara demokratis (lihatlah tulisan saya yang berjudul, “Mengenang Seorang Pemimpin Besar: Nelson Mandela [1918-2013], dalam Kompasiana tanggal 5 Maret 2014).
Bagi Burns, Mahatma Gandhi secara khusus merupakan gambaran ideal dari seorang pemimpin transformasional. Kepemimpinan Gandhi mengedepankan nilai “non-kekerasan” dan nilai-nilai lainnya yang bersifat egalitarian, nilai-nilai mana sungguh memberikan dampak perubahan dalam diri orang-orang dan lembaga-lembaga di India. Kepemimpinan Gandhi sungguh memiliki tujuan secara moral, karena tujuannya adalah memenangkan kemerdekaan pribadi bagi orang-orang sebangsanya dengan membebaskan mereka dari penindasan oleh pemerintah kolonial Inggris. Kepemimpinan Gandhi diangkat ke atas, dalam artian dia mengangkat para pengikutnya ke tingkat moral yang lebih tinggi dengan melibatkan mereka dalam aktivitas-aktivitas non-kekerasan guna mencapai keadilan sosial. Dengan melakukan begitu, Gandhi meminta pengorbanan dari para pengikutnya, bukannya sekadar mengobral janji-jani.
Karya Burns ini mencerahkan kita supaya mampu melihat bahwa kepemimpinan pada dasarnya adalah mengenai transformasi. Kepemimpinan transformasional adalah suatu relasi antara para pemimpin dan para pengikut mereka di mana kedua pihak diangkat ke tingkat moral yang lebih tinggi. Kepemimpinan transformasional adalah tentang para pemimpin dan pengikut-pengikut mereka yang terlibat dalam proses perubahan.
Memang kepemimpinan kharismatis saling berhubungan secara erat dengan kepemimpinan transformasional (lihat tulisan saya mengenai hal ini dalam Kompasiana tanggal 13 Februari 2014). Pada dasarnya semua “transformational leaders” adalah “charismatic leaders”, namun tidak semua “charismatic leaders” adalah “transformational leaders” (lihat coretan saya pada bagian akhir tulisan saya yang berjudul “Sukarno !!!”, dalam Kompasiana tanggal 26 Januari 2014).
Seorang pemimpin transformasional adalah kharismatis karena mereka mampu untuk mengartikulasikan visi masa depan yang terasa meyakinkan dan membentuk serta membangun kelekatan-kelekatan emosional dengan para pengikutnya. Akan tetapi, visi ini dan hubungan-hubungan ini disejajarkan dengan sistem-sistem nilai dari para pengikut dan menolong agar kebutuhan-kebutuhan mereka terpenuhi. Seorang pemimpin kharismatis yang bukan sekaligus seorang pemimpin transformasional dapat menyampaikan suatu visi dan membentuk ikatan-ikatan emosional dengan para pengikutnya, namun dia melakukan semua itu guna pemenuhan kebutuhan dirinya. Baik pemimpin kharismatis maupun pemimpin transformasional berupaya untuk tercapainya perubahan dalam organisasi atau masyarakat. Perbedaannya adalah apakah perubahan tersebut adalah untuk kepentingan sang pemimpin atau kepentingan para pengikutnya?
Ada baiknya untuk dicatat, bahwa seorang pemimpin transformasional senantiasa merupakan seseorang yang kontroversial. Konflik mungkin timbul karena perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai yang dianut atau definisi-definisi terkait apa yang baik dalam arti sosial. Kontroversi ini juga timbul karena orang-orang yang berkemungkinan paling besar untuk merugi dalam sistem yang ada, merekalah yang paling kuat dalam hal resistensi atau melakukan perlawanan terhadap inisiatif perubahan transformasional. Tingkat-tingkat emosional dari mereka yang melakukan resistensi terhadap gerakan perubahan transformasional seringkali sama tingginya atau bobotnya dengan orang-orang yang mendukung gerakan perubahan transformasional tersebut, dan hal ini dapat membantu menjelaskan bagaimana Mahatma Gandhi, John F. Kennedy, Martin Luther King, Jr. atau bahkan Yesus Kristus sampai mati dibunuh oleh lawan-lawan mereka.
Menurut Burns, para pemimpin transformasional selalu terlibat dalam konflik dan perubahan, dan mereka harus bersedia untuk merangkul konflik (artinya bukan malah menghindarkan/melarikan diri dari konflik), membuat musuh-musuh, menunjukkan suatu tingkat pengorbanan-diri yang tinggi, berkulit tebal (maksudnya nggak sensi!) dan senantiasa fokus dalam mewujudkan cita-cita mereka.