Betapa kebhinekaan itu terjadi bukan hanya karena negeri ini terdiri dari beribu pulau. Memiliki banyak suku bangsa dan bahasa. Bukan saja karena persoalan bulan yang belum muncul atau hilal sudah timbul. Di keluarga saya yang hanya terdiri dari beberapa kepala, yang jelas-jelas nenek-kakeknya sama-sama Sunda --karena dulunya kawin antar tetangga-- keberagaman itu bisa begitu saja muncul dari hal-hal yang sepele. Ketidakseragaman itu bisa timbul, karena masalah beda presepsi. Dan itu terjadi justeru di hari lebaran ini, di hari yang penuh kebersamaan itu. Masalah ziarah ke kuburan, acara rutin yang biasa keluarga kami lakukan sebelumnya bisa memicu perbedaan pendapat.
Kami sekeluarga telah sepakat untuk ikut pemerintah. Lebaran besok saja hari Rabu. Ketupat sudah direbus. Daging sudah dimasak. Kue dan lauk pauk sudah lengkap. Saya dan anak saya bahkan di hari Selasa itu sudah lebih dulu tidak berpuasa. Sedangkan isteri dan ibu mertua saya masih berpuasa. Sebenarnya beda pendapat dan berbeda jalan kamipun sudah biasa. Tak perlu ada yang dibesar-besarkan sebenarnya.
“Teh, persoalan ibadah itu harus hati-hati. Untuk melakukannya harus ada dasar dan hukumnya. Bahkan ibadah itu bisa jadi haram dijalankan kalau tidak ada hadits atau ayat yang mendukungnya. Beda dengan persoalan muamallah yang justru sah-sah saja untuk dilakukan bila tidak ada hadits atau ayat yang melarangnya. Ibadah itu jangan dilakukan hanya karena ikut-ikutan. Nanti di akhirat kita harus bisa mempertanggungjawabkan. Ikut imam siapa. Mahzab apa. Kalau hanya ikut-ikutan bisa berbahaya. Bisa saja yang lazim dilakukan itu sesuatu yang diharamkan. Ujung-ujungnya menghantarkan kita ke gerbang neraka. Dan bisa saja yang tidak lazim kata orang itu sesuatu yang disunahkan bahkan diwajibkan yang justeru bisa mengantar kita masuk surga. Ingat penghuni surga itu sedikit, Teh!.” Begitu adik ipar saya yang bercelana cingkrang dan berjanggut panjang menyarankan kepada isteri saya, kakaknya. Ziarah kuburan adalah ibadah ritual yang tidak ada dasarnya. Bahkan mendekati kemusyrikan, begitu dia menyimpulkan. Sejak dua tahun yang lalu adik ipar saya tidak lagi ikutan jiarah bersama ke kuburan di hari lebaran. Semenjak itu pulalah saya perhatikan janggutnya makin memanjang.
Besok paginya kami sekeluarga bersama-sama pergi sholat Ied di alun-alun. Dalam khotbahnya, khotib berwasiat agar kita harus saling menghargai keberagaman. Karena dibalik perbedaan justeru ada keberkahan dan pesan Tuhan untuk kita. Dan itu wasiat khutbahnya yang terakhir. Karena kira-kira baru sepuluh menit saja beliau berkhutbah, tubuhnya langsung ambruk ke tanah. Prof. Hendi khotib kami di sholat Ied itu sudah berpulang ke pangkuan Illahi, ketika berkhutbat tadi.
Kami sekeluarga segera pulang ke rumah. Seperti biasanya kami sekeluarga, Ibu mertua dan adik-adik ipar beserta keponakan kami berkumpul bersama saling sungkem, memohon maaf dan bersalam-salaman. Setelah menikmati hidangan ketupat lebaran. Adik-adik ipar dan keluarganya berpamitan pulang. Tinggal Ibu mertua, isteri dan dua orang anak saya yang tertinggal. Teringat Prof. Hendi yang barusan meninggal, Ibu mertua saya jadi ingin cepat-cepat ke kuburan. Kami berlima seperti biasa berjiarah menuju kuburan Bapak mertua kami yang sudah meninggal sejak 3 tahun yang lalu.
Di pagi itu tempat pemakaman umum sudah ramai seperti pasar. Jiarah ke kuburan di hari lebaran masih menjadi tradisi di kampung kami. Di pemakaman itu justeru kami bukan saja bisa menemui nisan leluhur kami yang sudah mati, tetapi juga bisa berjumpa dan berkenalan dengan saudara-saudara kami lainnya yang masih hidup dari keturunan leluhur yang sama.
Tradisi ini kata sebagian orang, musyrik, atau entah apa istilahnya. Tapi apa pedulinya. Di pemakaman itu justeru saya juga bisa nyaman jalan-jalan dengan anak saya dan menikmati sebuah kebersamaan dalam keberagaman di hari Lebaran.
Lagian apakah mesti tradisi menuju surgawi itu hanya sesuatu yang berasal dari Negeri Onta sana.
(Kenangan Lebaran di Majalengka, Sep 2011)