Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Sepenggal Kisah Cinta dari Nagoya (1)

31 Mei 2011   01:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:02 403 0
Prolog

Membuka album lama, bersama dua anakku tercinta. Seorang wanita belia tersenyum ceria di antara kembang-kembang di sebuah taman. Menarik perhatian. Tersenyum cerah di antara bunga-bunga yang sedang merekah. Sosok wanita jelita. Seorang gadis yang cantik. Sekuntum bunga di antara bunga-bunga.

Dan seperti sudah kuduga sebelumnya, dua anak itu akhirnya bertanya kepada saya bapaknya.

“Pah, ini siapa?  Di mana?”

Dua anak itu kompak, serempak menunjuk photo seorang gadis di antara bunga-bunga itu dengan wajah kanaknya yang penuh tanya. Wanita itu bukan ibunya. Mereka penasaran. Itu pasti. Tapi untuk segera menjawabnya tentu saya enggan.  Karena rasa penasaran itu bukan ada di benak dua anak itu saja. Seorang photo wanita yang di simpan di sebuah album keluarga tidak begitu saja terpasang di situ kalau tidak ada nilai historisnya. Nilai sejarah buat diri saya. Sebuah kenangan. Rasa penasaran yang berkepanjangan -- sehingga sengaja saya pasang photonya di album keluarga. Istri saya juga mengijinkan. Tak ada gunanya mencemburui sebuah gambar, katanya.

“Pah, ini siapa? Kok bengong saja sih, Pah.” Dua anakku itu kembali bertanya.

===========================================================================

Bujang Lapuk Mencari Cinta

Pikiranku jadi terus melayang mengenang masa silam. Mengingat belasan tahun lewat.  Usia baru 25. Masih sendiri. Tinggal di luar negeri. Baru lulus S1. Sarjana dengan gelar  Bc. Lk.  “Bachelor Lapuk”. Ya, begitulah oleh teman-temanku kala itu, di Nagoya aku disebut. Dijuluk Bujang Lapuk.

Sebenarnya tak ada salah di usia 25 dan masih bujangan. Di pasaran juga di usia seperti itu kebanyakan masih membujang. Apalagi kalau standarnya masyarakat Jepang dijadikan sebagai ukuran. Rata-rata mereka baru menikah pada usia di atas 30-an. Menjomblo di usia 25 banyak teman. Tak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Jadi sebutan Bujang Lapuk itu memang sungguh kelewatan.

Tapi memang sebutan itu bukan tanpa alasan.  Dodi, juniorku misalnya, masih kuliah tingkat 3 tapi sudah nikah. Aat, adik kelas juga, baru tingkat 2, malah. Memang belum nikah. Tapi sudah punya pacar. Ada calon isteri. Gadis Jepang lagi. Nanti kalau sudah lulus sarjana, mereka akan segera menikah. Lha, saya seniornya, jangankan menikah. Punya pacar pun tidak. Calon istri ? Apalagi. Jadi sebutan Bujang Lapuk itu, atas nama ketimpangan kondisi ini, dengan sangat-sangat terpaksa harus saya terima secara sah dan pasrah.

Tinggal di luar negeri kami orang Indonesia menjadi minoritas. Dan  menjadi minoritas itu adalah suatu berkah. Rasa kekeluargaan kami jadi bertambah. Hanya karena sama-sama dari Indonesia kami sudah merasa seperti saudara, seperti satu keluarga. Tak peduli dari ras apa kami berasal dan agama apa yang kita pegang. Kami sering mengadakan acara silaturahmi dari mulai diskusi ilmiah juga siraman rohaniah. Ada pengajian rutin bulanan untuk Keluarga Muslimnya. Juga ada acara misa bersama dalam Bahasa Indonesia untuk penganut Katoliknya.

Dan menjadi seorang Bujang Lapuk dalam masyarakat minoritas, sementara dua orang juniornya yang satu sudah menikah dan yang lainnya sudah punya calon isteri, adalah menjadi seorang minoritas dalam sebuah minoritas.  Diri kita menjadi kecil, terkucil dan terpencil. Saya menjadi liliput yang kisahnya harus siap diliput. Disiarkan. Dibesar-besarkan. Dikaji di setiap acara silaturahmi. Dibahas sehabis pengajian atau selepas diskusi ilmiah. Saya dimotivasi agar saya cepat-cepat cari isteri. Diberi nasihat bahwa kawin itu nikmat dan membawa banyak maslahat. Tak jarang juga kadang dihujat. Agar saya tidak merasa nyaman dan bersegera keluar dari zona nyaman kehidupan seorang bujangan. Betapa mereka, teman-teman seniorku itu, sungguh sayangnya pada saya ini.

Senior-senior saya itu biasanya yang akan membuka forum  bebas itu dengan bercerita tentang masa mudanya. “ Masa muda adalah masa yang berapi-api, boleh saja ilmu kau cari sampai ke luar negeri. Tapi apa arti hidup ini  kalau belum juga punya isteri.”  Kata-kata pembuka yang sudah kuduga dan sudah sering kudengar berkali-kali. Dan sudah bisa kubaca topik diskusi apa yang akan dibicarakannya kemudian: Nasihat buat Jomblo untuk Cari Jodoh!

Dan seperti biasanya diskusi itu akan mengalir liar. Bahkan tak jarang membuat suasana jadi gempar karena semangat mereka yang begitu berkobar dan membakar saya juniornya untuk segera cari pasangan.

“Kerbau saja tak perlu sekolah ke luar negeri gemuk-gemuk badannya. Punya pasangan dan keturunan. Domba jantan apalagi. Hewan berkaki empat itu tak perlu dimotivasi berkali-kali untuk sekedar cari isteri. Tak perlu diberi nasihat agar cepat-cepat menikah. Mereka punya naluri untuk segera bereproduksi. Melakukan regenerasi demi kelangsungan hidup ini. Jangan hinakan dirimu lebih rendah dari ternak berkaki empat itu. Cari isteri cepat menikah. Menunaikan ajaran Sunah demi kemaslahatan umat.  Kawin itu wajib hukumnya bagi laki-laki yang mampu dan sudah mimpi basah!”

Aku tahu semua kata-kata itu, seluruh nasihat itu, sepenuhnya adalah untukku. Untukku saja. Tak kurang dan tak lebih. Untuk seorang Bujang Lapuk yang tak laku-laku ini.

===========================================================================

Seorang Wanita Mualaf

Menyandang gelar Bujangan Lapuk adalah derita yang tak tertanggungkan. Tapi sebagai seorang yang beriman saya selalu diajarkan untuk tidak pernah mengeluhkan keadaan. Kenyataan ini mesti saya hadapi dengan sepenuh hati. Keadaan yang harus saya terima dengan penuh kesabaran. Tak perlu ada yang dilawan. Sesuatu yang dilawan justeru  akan lebih lama untuk bertahan.  Saya masih punya keyakinan. Tuhan menciptakan makhluknya selalu berpasang-pasangan. Ada laki ada perempuan. Ada jantan ada betina. Ada Indra Malela, ada juga pasangannya: Anto Satrio Nugoroho! Kata senior-senior saya sering mencemooh dan berseloroh. Lho?!

Untuk sementara waktu Julukan Bujang Lapuk itu saya jadikan cambuk saja. Cemeti untuk memecut diri agar  berusaha lebih giat dan bertindak  lebih banyak. Mencari berbagai kemungkinan. Menemukan bermacam peluang. Untuk bertemu seseorang yang kita idam-idamkan di antara sekian jutaan umat. Tuhan mungkin sedang bermain dadu.  Saya hanya perlu melemparnya sesering mungkin dan lebih banyak lagi.  Peluang akan muncul. Bidadari yang kita cari akan hadir tak jauh dari situ.

Dan juga di buku journal itu.  Seorang dara manis berkerudung. Putih bersih wanita mualaf Jepang.  Berphoto bersanding dengan seorang wanita Indonesia, Daisy Prasetyani, temanku. Aku nyengir. Seperti kuda jantan menemukan betinanya. Hmmm, tak ada salahnya kucoba.

Tak susah untuk menghubungi Daisy temanku waktu di Tokyo itu. Dan meminta bantuannya.  Sebentar saja saya sudah dapat informasi banyak tentang wanita Jepang itu. Sebut saja Aiko namanya begitu. Baru masuk agama Islam entah karena apa. Nomor teleponnya juga sudah kupegang. Langkah berikutnya yang diperlukan hanyalah keberanian dan telunjuk untuk menekan tombol nomor-nomor di telepon itu. Lalu bicara. Bila perlu mengembik, seperti domba jantan mendekati betinanya.

Bila ketakutan itu berupa lautan tentu akan kuseberangi. Kuselami samudera itu dalam-dalam agar ketakutan itu hilang dan berubah menjadi keberanian. Mewujud menjadi nyali dalam diri. Bukan sekedar berani menyentuh tombol-tombol di telepon itu.   Tapi juga mendatanginya. Mendekatinya. Menyampaikan keinginan kita. Sambil membawa setangkai bunga dan seonggok mimpi-mimpi kita. Mimpi seorang lelaki yang ingin berumah tangga. Karena kau juga wanita, tentu memiliki mimpi dan utopi yang tak jauh berbeda, bukan?  Lalu siapa tahu kita berjodoh. Tentu bukan hanya tombol-tombol di telepon itu yang bisa kusentuh. Bisa kurasakan lebih jauh betapa halus kulitmu bila bisa kusentuh!

Kata Einstein imaginasi jauh lebih berharga dari ilmu pasti. Dan saya rasa potensi itu dua-duanya aku miliki. Imaginasi dan ilmu pasti. Itu pasti. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Gelar Bujang Lapuk tak kan membuatku lebih buruk. Apalagi menjadi terpuruk.  Tak usah dirisaukan. Semuanya akan baik-baik saja. Matahari toh tetap hanya satu. Hari datang silih berganti. Musim gugur akan datang menjatuhkan daun-daun. Daun momiji memerah saga warnanya. Tapi hati saya tetap tak berubah. Karena nyali itu ternyata tak bisa  datang begitu saja. Saya tak pernah bisa memberanikan diri untuk menelepon Aiko, wanita muallaf Jepang itu...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun