by Indra Malela Senja Musim Dingin di Atas Langit Kota Nagoya Terima kasih atas semua doa dan dukungan. Saya pun sudah dan sedang berjuang, kawan! Belum mati-matian memang. Tapi sepertinya bisa kalah kalau terus dilanjutkan. Bisa babak belur di medan tempur. Meregang nyawa di medan perang. Perlaya di medan laga. Bisa malu. Ini muka siapa yang punya? Ini hati siapa yang mau beli. Kenapa jadi begini. Saya frustasi. Putus asa. Hilang harap. Patah mimpi, karena Ai. Pedih. Sedih. Meringis menahan tangis, karena Ai yang mirip artis Yuko Natori. Ah, aku malu sebenarnya berbagi luka dan kesedihan ini, kawan. Ternyata yang sial itu bukan hanya angka 4! Angka 7 juga bisa begitu berkhianat menjadi angka kualat. Sejak dulu juga, memang aku tidak suka angka 7 itu di raportku. ================================================
Winter Sunset Baru tahu aku. Selain seks dan agama, membicarakan usia dengan seorang wanita juga hal yang tabu. Tidak sopan dan membahayakan. Menyulut api peperangan. Sekarang aku tahu itu. Tapi semuanya sudah terlambat. Baru saja saya mengalami dan mengerti dari percakapan dengan Ai tadi malam. Hanya karena persoalan usia itu, saya terus kepikiran. Susah tidur. Tak ada nafsu makan. Malas kuliah. Hilang gairah. Resah. Gundah. Hanya gara-gara beda umur tujuh tahun. Aku 25 dan dia sudah 32. Ai ternyata lebih tua dari usiaku. Kalau beda 7 tahun, anak SMA pacaran dengan anak SD memang kurang pas dan tidak pantas. Tapi saya ini mahasiswa S2 dan dia sudah kerja. Sudah dewasa dan sama-sama akil balig. Kenapa beda 7 tahun itu masih saja dijadikan persoalan. Perbedaan usia sebenarnya bagi saya bukan masalah. Tak usah dibesar-besarkan. Rosul dan Siti Khadijah saja waktu menikah usianya terpaut begitu jauh. Nabi 25 dan Khadijah 40. Jadi bagiku justru menikahi wanita yang terpaut usianya 7 tahun di atas usiaku adalah bagian dari sunah. Komplit rasanya mengawini wanita yang lebih tua. Kawinnya wajib. Selisih usia di bawahnya juga jadi sunah. Double pahalanya. Lagian kalau sudah nikah, mau di bawah, mau di atas, kan sama-sama nikmatnya. Yang penting hanya dengan Ai. Di manapun saya mau. Mau sambil duduk? Ingin sambil berdiri, juga ok. Duduk sama enak, berdiri sama lezaatnya. Nanti toh, itu bisa berdua kita coba. Tapi, tapi… Ah… ternyata semua itu hanya fatamorgana. Mimpi yang tidak bakal terjadi. Semua harapan sirna hanya gara-gara urusan angka. Semua asa kabur hanya karena persoalan umur. Ai… Ai.. Kenapa sih kamu ini! Mencampur baurkan angka dalam urusan cinta. Mengaduk-aduk persoalan umur dalam hal asmara. Kalau kau mau tahu, dalam urusan angka aku juga jago matematika. Nilai ujian matematikaku selalu sepuluh. Dan karena itu juga kenapa aku bisa melenggang dapat beasiswa pergi ke Jepang. Sehingga bisa kenalan dengan dirimu, Ai, oh sayang. Tak bisakah kau terjemahkan ini semua sebagai sebuah suratan. Sebagai sebuah pesan Tuhan untuk kita bersama. Tuhan sengaja membuatmu masih jomblo sampai usia 32. Belum ketemu jodoh. Dan tiba-tiba kamu nelepon. Aku suka. Aku suka suara pelan dan sopanmu itu, Ai. Entah kenapa. Aku jatuh cinta hanya karena photomu itu, aku tak mengerti. Dan kamu juga sepertinya menyambutku. Tak bosan-bosannya kita berteleponan. Berbagi cerita. Bertukar hati. Tak jemu juga kita bersuara walau tagihan pulsa jadi bengkak. Bukankah semua ini pertanda cinta? Di diriku dan dirimu juga, Ai. Aku tak mengerti kenapa reaksi kimiawi itu bisa terjadi. Suka dirimu Ai dengan begitu kuatnya. Tapi kalau akhirnya mesti begini. Sungguh aku jadi tidak kuat. Entah apa lagi yang harus kuperbuat. “Marera. Kamu masih terlalu muda untukku, Marera.” Terngiang selalu kalimat panas itu di telingaku. Aku merasa turun harga hanya karena usia 25. Jatuh nilai hanya karena lebih muda. Aku seperti domba jantan yang tak layak dipersembahkan jadi hewan kurban. Karena belum cukup umur. Masih muda dan belum punya tanduk. Bahkan mungkin lebih sial dari domba jantan itu. Domba jantan yang tidak jadi dikorbankan, justru malah punya kesempatan untuk mengawini domba betinanya lebih banyak lagi. Saban hari bisa mengembik. Nyosor terus di belakang janda domba-domba betina mana saja yang dia suka. Karena domba jantan yang tua dan bertanduk banyak meregang nyawa dikurbankan. Domba jantan muda justru bisa masyuk berkesempatan berpesta pora. Kawin sepuasnya! Lha, aku, Indra Malela, bukan domba. Tapi sama-sama masih muda malah kesempatan kawin itu seakan jadi sirna begitu saja. Terus berlanjut menjadi bujang lapuk entah sampai kapan… Kenapa lari? Kenapa menghindar? ------------------------------------------ Lanjutannya ikuti link ini:
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/06/07/sepenggal-kisah-cinta-dari-nagoya-18/
KEMBALI KE ARTIKEL