Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cerpen | Di Balik Canvas

10 November 2024   23:33 Diperbarui: 10 November 2024   23:35 79 2

Aku berdiri terpaku di depan lukisan itu, seakan dunia ini hanya ada dia---seorang perempuan yang tak pernah benar-benar ada, tapi hadir begitu nyata dalam setiap sapuan kuas. Lukisan itu seolah menarik setiap serat jiwaku, menelusup ke dalam lubuk terdalam hatiku. Wajahnya, dengan mata yang penuh cerita, seakan berbicara padaku dalam diam. Nama lukisan itu adalah "Mata yang Tak Pernah Tidur."

Aku tak bisa mengalihkan pandanganku. Di tengah galeri yang hening ini, di bawah cahaya yang lembut, lukisan itu adalah satu-satunya yang berbicara. Karya seni lain terasa seperti bayangan, seperti hiasan yang tak berarti. Tetapi perempuan ini---perempuan dalam lukisan itu---aku merasa seolah aku mengenalnya, seolah dia memanggilku dari balik dunia lain. Hatiku berdebar, jantungku seperti berdegup lebih keras, menuntut perhatian.

Aku akhirnya mengumpulkan keberanian, mendekati pelukis yang berdiri di dekatnya, dan berkata dengan suara bergetar, "Bolehkah aku membeli lukisan ini?"

Pelukis itu, seorang pria berumur dengan rambut berantakan, menggelengkan kepala pelan, "Maaf, lukisan ini tidak untuk dijual. Tidak peduli berapa pun harga yang kau tawarkan."

Aku terkejut, dan perasaan kecewa merayap begitu dalam. "Tapi... ini adalah karya yang luar biasa. Aku benar-benar ingin memilikinya."

Pelukis itu hanya tersenyum tipis, senyuman yang seolah menyembunyikan sebuah rahasia kelam. "Lukisan ini bukan hanya gambar. Ini adalah cerita, dan cerita itu hanya milikku."

Aku tak bisa melepaskan pandangan dari wajah perempuan itu. Rasanya, ada sebuah dunia yang terlepas dari kanvas ini, sebuah dunia yang ingin aku temui. Aku menginginkannya---tidak hanya sebagai karya seni, tetapi sebagai bagian dari hidupku. Aku ingin tahu siapa perempuan itu, mengapa dia terlihat begitu hidup.

"Siapa dia?" tanyaku, meskipun aku tahu aku tidak bisa mendengar jawabannya. "Aku... jatuh cinta padanya."

Pelukis itu menatapku tajam, matanya berkilat, marah. "Kau tidak tahu apa yang kau katakan," katanya dengan nada yang semakin keras. "Perempuan itu bukan milik siapa pun. Dia adalah bagian dari diriku. Jangan berkhayal."

Tapi amarahnya hanya menambah tekad dalam diriku. Aku ingin tahu siapa perempuan itu, siapa dia sebenarnya, dan mengapa dia bisa memiliki kekuatan yang begitu besar atas diriku.

"Baiklah," kataku dengan suara yang semakin tegas, "Jika aku tak bisa membeli lukisan itu, buatkan aku lukisan dengan model yang sama. Ekspresi yang sama, mata yang sama, semuanya harus sama."

Pelukis itu menatapku sejenak, seolah memikirkan permintaanku dengan seksama. Lalu ia menghela napas, seakan melepaskan sesuatu yang berat. "Baiklah," jawabnya akhirnya, "Aku akan melukisnya. Tapi beri aku waktu sebulan. Aku akan melukisnya di rumahku."

Rasa penasaran yang semakin membara menguasai pikiranku. Aku tidak bisa menunggu sebulan penuh tanpa tahu lebih banyak tentang perempuan itu, tentang siapa yang ada di balik wajahnya. Aku memutuskan untuk mengikuti pelukis itu, menyelinap di balik bayang-bayang, menyusuri jalan-jalan yang semakin gelap.

Pelukis itu berjalan dengan langkah tenang, tanpa sadar aku mengikuti jejak langkahnya, hingga akhirnya ia sampai di rumahnya---a rumah sederhana yang tampak tak ada apa-apanya. Aku bersembunyi di balik pohon besar di halaman rumahnya, memandang melalui celah di jendela, berharap menemukan petunjuk lebih lanjut.

Lalu, aku melihatnya. Pelukis itu berdiri di depan cermin besar di dalam, dengan tatapan yang terfokus. Aku tak bisa percaya apa yang kulihat---dia mulai merias dirinya, mengenakan gaun, menyisir rambutnya, dan memulas bibirnya dengan warna merah menyala. Itu---perempuan dalam lukisan itu! Tapi yang mengejutkan, dia tidak melukis orang lain. Dia melukis dirinya sendiri, meniru perempuan dalam lukisan itu, membentuk dirinya menjadi sosok yang ada di kanvas.

Aku terkejut. Perempuan itu bukan orang lain. Dia adalah dirinya. Pelukis itu melukis dirinya sebagai perempuan yang kutunggu-tunggu selama ini.

Batukku tiba-tiba keluar, keras, tak bisa kutahan. Pelukis itu menoleh dengan cepat, mata kami bertemu. Dalam sekejap, semuanya terasa begitu gelap. Aku terjatuh, tidak sadar.


---

Aku terbangun di tempat yang asing, di kamar yang tidak aku kenal. Tubuhku terasa berat, aneh, dan ketika aku melihat ke cermin di dekat tempat tidur, aku hampir tidak percaya. Aku mengenakan gaun merah yang elegan, rambutku terurai dengan sempurna, dan wajahku---wajahku telah dipoles dengan riasan yang mencolok. Aku menatap diriku, dan aku tahu, aku sudah bukan lagi diriku yang lama. Aku adalah perempuan itu. Aku adalah perempuan dalam lukisan itu.

Di sebelahku, ada lukisan yang baru saja aku pesan, lukisan yang tak hanya aku inginkan, tetapi kini menjadi kenyataan. Pelukis itu memberiku lukisan itu---gratis. Sesuatu yang begitu manis, begitu menyesakkan, tetapi... begitu menipu.

Aku berusaha untuk mengerti, mencoba menerima kenyataan ini. Apa yang telah terjadi padaku? Aku hanyalah kolektor seni yang terobsesi. Namun kini, aku telah menjadi bagian dari karya itu, terjebak dalam ilusi yang aku sendiri ciptakan. Tapi aku tidak bisa keluar. Aku hanya bisa terperangkap dalam dunia itu, dunia yang tak bisa aku kuasai.

Beberapa hari kemudian, pameran seni digelar di galeri tempat aku pertama kali melihat lukisan itu. Semua orang berkumpul, memuji karya-karya pelukis itu, namun satu lukisan mendominasi. Lukisan yang baru saja kubeli. Namun ada yang berbeda. Di bawah lukisan itu tertera label: "Masterpiece oleh Kolektor." Di sana, aku, dengan wajah perempuan yang telah menjadi milikku, menjadi pusat perhatian---sebuah karya seni yang kini dimiliki banyak orang.

Aku tak bisa lagi memisahkan diri dari lukisan itu. Semua orang kini melihatku, mengagumi wajah yang bukan milikku. Aku hanyalah bagian dari kanvas itu, sebuah objek yang tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya kurasakan. Mereka jatuh cinta pada lukisan itu, tetapi tidak ada yang tahu bahwa aku, adalah perempuan yang terperangkap di dalamnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun