Aku hanya bisa diam saat seorang kakak kelas menyenggol dan memelototiku dengan alasan yang tidak aku pahami. Apa yang Anda harapkan? Aku baru 12 tahun, pendek, cengeng, penakut, belum dikhitan, dan sekarang berada di tempat asing sejauh 144 km dari rumahku. (Who the hell was gonna be there, ready, and stanby right behind my back?)
Ya, rumah. Itu yang terbayang di kepala (dengan ukuran songkok waktu itu 6) saat melihat gunung biru saat kuberjalan menuju kompleks kamar mandi tadi. Rumahku ada di balik gunung itu. Coba jika aku bisa menghilang seperti Invisible Man dan terbang seperti, (tentu saja) Superman. Pulang.
Nampaknya antrianku masih lama. Seorang anak baru yang juga antri di tempat sama mengetuk pintu yang tertutup itu dan bertanya dengan bahasa Arab,"Maa'un katsiir?"
Aku heran, kapan dia belajarnya? Jangan-jangan dia orang Arab Asli. Tapi kulihat matanya sipit, hidungnya standar Asia Tenggara.
(Nantinya aku akan tahu bahwa dia pernah mondok di tempat lain sebelumnya. Pantas badannya lebih bongsor dariku. Tepatnya, SEMUA anak terlihat LEBIH BESAR dariku.)
Sekali lagi aku mengintip gayung merah-yang baru sehari sudah retak gara-gara dijatuhkan teman sekamar yang jadi teman pertamaku dan dia berjanji akan menggantinya-ku. Memastikan bahwa sampo sachetan-ku baik-baik saja di bawah sabun mandi yang kata iklannya lebih awet dari sabun lainnya itu. Ya, teman pertamaku di sini itu mewujudkan rasa menyesalnya dengan memberikanku info berharga: jangan pernah membawa sampo botolan jika antri mandi jika tak ingin cepat kehabisan.
Aku putuskan 'tuk tinggalkan kamar mandiku barang sepuluh menit. Aku menuju ke tempat jemuran. Bukan, bukan untuk mengecek jemuran seperti yang akan Anda kira. Tempat jemuran, selain berfungsi seperti namanya, adalah salah satu tempat favorit untuk menunggu antrian mandi sambil bercanda ria.
Tak ada siapapun di sana. Tidak yang aku kenal. Jadi aku putuskan untuk kembali. Tapi tunggu dulu...
Terdengar jelas dari speaker asrama bertingkat 2 (asrama untuk para senior) lagu yang mampu memakuku di tempat itu: "As Long As You Love Me" dari Backstreet Boys. Lagu itu yang  menghibur batin cilikku yang gugup selama perjalanan ke tempat baruku ini.
Lima menit kira-kira aku menikmati lagu itu. Disusul sebuah lagu baru dan asing bagiku, dengan lirik pembuka, "Dan, pabila esok..."
Aku harus segera kembali ke tempat antriku tadi.
Kamar mandi telah kosong. Hatiku bersorak tapi hanya sebentar. Kulihat air di bak mandi berkeramik biru itu telah habis. Dan parahnya lagi, gayungku yang retak telah sempurna pecah menjadi dua. Mengumbar isinya yang berceceran di sana-sini.
Aku kumpulkan alat mandi yang tersisa dan bergegas masuk ke dalam. Setelah yakin pintunya terkunci, aku langsung tumpahkan tangisku di sana.
Sayup-sayup masih terdengar potongan bait reffrain lagu dari band-entahlah apa namanya-itu, "...pastikan kitaa, seeiiraamaa.."
Bersambung kapan-kapan, saat aku selesai dengan tangis kehilangan pertamaku.
SKA, some day some month in 1999