Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Lebaranku Tanpa Seorang Ibu

2 September 2011   12:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:17 184 3
Hari lebaran tiba, hari ini tepat pada tanggal 30 Sept. 2011. Masih teringat dengan jelas, seorang ustadz dalam ceramahnya bahwa orang pertama yang dianjurkan disalami untuk pertama kalinya adalah Ibu. Namun, karena selama ini (19 tahun) saya tinggal bersama kakek dan nenek ku, maka jabatan tangan pertama itu untuk nenek ku tersayang.
Layaknya tradisi lebaran sebelumnya kegiatan rutin khas lebaran, sungkeman ke semua keluarga ditunaikan, juga makan bersama dengan hidangan beragam kue yang juga sempat saya buat bersama nenek. Beberapa saat kemudian, satu persatu keluarga mulai berdatangan. Inilah salah satu momen paling melelahkan, karena harus melayani puluhan orang yang biasanya ribut karena anak mereka masing-masing. Tapi, bagaimanapun semua ini berkah Ramdhan yang harus disyukuri.

Masih terdengar irama musik yang bernada syalawat di masjid tempat melangsungkan Shalat Ied tadi. Saya berjalan keluar rumah bermaksud menenangkan diri sejenak dari keriuhan keluarga yang tengah berkumpul.

Di kursi plastik berwarna putih di teras rumah, duduk seorang anak. Saya mengenalnya, dia Irman. Kaki kanannya tampak mengayun-ayun santai, sedang kaki kirinya dilipat di depan dadanya, menopang dagu kecilnya. Kusamperi anak yang terkenal nakal dan ulah jahilnya. Tampaknya ia tidak sepihak dengan permainan rekan-rekannya di halaman rumah yang sedang riang bermain. Tidak biasanya pikirku.

Kuambil kursi dan duduk di sebelahnya, Ia tampak terganggu.
"Gak main Irman?" tanyaku sambil memegang gagang kursinya.
"Gak kak" dari nada suaranya anak ini benar-benar tidak seperti biasanya, sendu banget. Padahal, 'liarnya' anak ini saya masih ingat betul, waktu itu sempat Ia meninju pelipis saya lalu berlari kabur setelahnya. Biarlah, toh sudah berlalu.

"Mana Mama'?" tanyaku singkat sambil melihatnya menurunkan kaki kirinya dan mengayunka keduanya seirama.
"Gak ada" jawabnya singkat dan sendu.
"Kenapa gak ikut?" tanyaku lagi.
"Gak ada mama' " jawabnya lalu menundukkan kepala. Khas loga bugisnya masih kental, mungkin bawaan karena Ia juga cukup lama tinggal di Sulawesi.
"Lohh, kemana?" dengan santai saya kembali bertanya.
"Pergi" Ia menjawab singkat dan lepas. Sepertinya pertanyaan saya sudah membuatnya benar-benar risih, sehingga Ia pergi meninggalkanku.

Tidak seperti biasanya, pikirku. Irman terus pergi sambil menundukkan kepalanya, terus hingga jauh.

Sesaat kemudian datang seorang sepupuku yang sebaya usinya dengan Irman. Ia bertanya, "kak, Irman kok nangis?"
hahhh, saya hanya menunjukkan raut wajah gak jelas karena juga kebingungan. Adakah dari yang 'singkat' tadi menyinggung perasaan anak kecil itu, dalam hati kubergumam.

*

Juli 2011.

Om Haris sekeluarga mewujudkan keinginannya untuk pergi berlebaran di kota kelahirannya kota Pinrang, Sulawesi Selatan. Istrinya seorang keturunan Lombok, NTB yang dinikahinya 11 tahun lalu menganugerahi suaminya 2 orang putra, Irman dan Dirman (bungsu).

Mereka pergi dengan keterbatasan uang yang dimiliki menggunakan kapal laut. Ya, ekonomi keluarga yang bertopang pada hasil karet membuat mereka duduk di lesehan lantai kapal kelas ekonomi.

Kedua anaknya yang cukup susah diatur, mungkin karena masa kecil mereka sehingga wajar jika demikian. Kadang tingkahlaku mereka memaksa Om Haris berlaku kasar kepada keduanya.

*

Om Haris tampak berat mengungkapkan semua yang menjadi masa lalunya yang kelam. Singkat memang durasinya, tapi itu sudah menjadi sejarah suram dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.

Sesekali Ia menghela nafas panjang untuk sekedar menguatkan perasaannya. Kami yang mendengarnya antusias dan hening. Semua tidak menyangka kepergian Tante Sur. Sesekali ada yang memotong, tapi semua serasa kompak untuk mendengar apa yang sebenarnya terjadi.

*

Pinrang, Sul-Sel.

Om Haris merasakan sesuatu yang berbeda dari istrinya. Namun, Ia beranggapan bahwa mungkin hal tersebut disebabkan oleh rasa sungkan kepada keluarnya.

Malam hari sesaat setelah berbuka istrinya, Tante Nur pamit untuk keluar rumah. Om Haris tentu tak punya alasan untuk menolaknya hanya karena istrinya ingin menelepon seseorang.

Menjelang shalat Isya, Tante Nur masih belum kembali ke rumah. Om Haris hanya bisa cemas, karena Ia pun tak tahu kemana istrinya pergi.

"Kok baru pulang? "
"Habis nelpon teman" jawab istrinya cetus, tapi Om Haris bersikap untuk lebih mengerti.
"Ayo tarawih " ajak Om Haris kepada istrinya. Kedua anaknya sudah menunggu di bawah tangga rumah panggung khas sulawesi itu.
"Saya gak ikut bpaknya Irman (sapaan khas tante Sur)"
"Lohh kenapa dek?" tanya Om Haris heran.

Om Haris berusaha mengerti alasan istrinya, walaupun dalam pikirannya Ia tidak mampu merasionalkan alasan istrinya tersebut.

Firasat buruk sudah merasuki Om Haris. Karena malam itu terus berulang hingga beberapa malam berikutnya. Meminta ijin untuk menelpon seseorang dan berusaha dengan alasan berbeda saat diajak menunaikan Shalat Tarawih di masjid.

*

Om Haris kembali mengubah posisi duduknya dan menghela nafas panjang. Sedangkan kami semua masih terduduk diam. Entah kemana anak-anak kecil tadi, mereka hilang lenyap larut bermain.

*

Kecurigaan Om Haris memuncak dan mengira bahwa Hp istrinya sebagai salah satu penerang sikap istrinya.

Malam itu tante Sur tidak melakukan yang malam biasanya dilakukan. Mumpung Hp-nya bergeletak begitu saja, Om Haris mencoba meraih dan menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi.

Riwayat pesan adalah hal yang paling mudah untuk ditelusuri. Ya, itulah yang dilakukan Om Haris dengan Hp tersebut. Betapa kagetnya ternyata ada nama seseorang di dalam inbox pesan. Tak dikenal dan tak pernah terlintas dalam ingatan Om Haris sedikitpun bahwa kemungkinan itu adalah salah satu anggota keluarga diantara mereka.

Terlintas dipikiran Om Haris tentang hal-hal buruk seputar kecurigaan terhadap istrinya. Akhirnya, no hp tersebut langsung dihapusnya dari daftar kontak.

Mengetahui apa yang dilakukan suaminya, Tante Sur murka terhadap suaminya. Ia sangat marah dan akhirnya menampar suaminya. Karena merasa dilecehkan harga dirinya sebagai suami, Om Haris membalasnya dengan tamparan. Malam itu benar-benar puncaknya, seolah semua sudah jelas. Tapi dengan sikap mereka yang demikian, seolah semua sudah menjelaskan masalahnya.

*

Dari mata Om Haris kami bisa mengerti, bagaimana pilunya. Tampak ingin meneteskan air mata, tapi rasa kebencian atas peristiwa tersebut mungkin juga bercampur rasa rindu kepada istri yang dicintainya.

Kini Ia dan kedua anaknya harus menerima kenyataan pahit bahwa istri dan sekaligus ibu buah hatinya pergi bersama laki-laki lain. Belakangan baru terdengar kabar bahwa Tante Sur "lari"' bersama seorang lelaki yang dikenalnya di atas kapal laut menuju Sulawesi. Sejak masalah itu, Om Haris baru tahu kalau ternyata tante Sur punya 4 SIM Card yang berbeda. Masya Allah.

Segala upaya sudah dilakukan Om Haris, termasuk melaporkannya ke Polisi. Lelaki yang ditenggarai ''melarikan'' istrinya pada awalnya dapat dihubungi, tetapi belakangan sudah tak dapat lagi.

Kini Ia hanya bisa pasrah dan berharap agar istrinya segera kembali. Masalah yang demikian besar itu tidak mengurangi rasa sayang Om Haris kepada istrinya, setidaknya itu demikianlah penuturannya.

Seorang anaknya dirawat oleh mertua Om Haris sedangkan Irman tetap bersamanya.

*

Semua keluarga merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Om Haris. Namun, kami sadar bahwa itu tidak banyak dibutuhkan oleh Om Haris. Sedapat mungkin kami mendampinginya, guna menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki.

Bagaimana dengan Irman tadi? Setelah semua sudah seperti sedia kala dan keluarga merencakan untuk bepergian, Irman datang kembali. Kini dengan senyuman yang biasa terlihat pada umumnya sambil memegang uang pecahan Rp 2.000,- dan sebungkus snack/makana ringan.

saya merasa sangat bersalah karena mengingatkan hal pahit yang menimpanya. Maafkan saya Dek Irman. Semoga Ibu mu segera menyadari bahwa buah hatinya sangat merindukannya kembali ke rumah.

Ya, kali ini Irman berlebaran tidak bersama ibunya. Sebuah kenyataan pahit yang seharusnya tidak terjadi karena egoisme orang tua. Bila sudah demikian maka anaklah yang menjadi korbannya. Melihat usianya yang masih belia, seharunya baju baru yang dikenakannya itu disematkan oleh ibunya.

Entah kepada siapa jabatan tangan pertama-nya diberikan, mungkin hanya ayahnya.

Saya menuliskan semua ini, sebagai persembahan kepada orang tua yang tega berbuat demikian. Tidak ada kapasitas untuk menyalahkan diantara keduanya, ayah dan ibu Irman, karena cerita ini hanya bersumber pada satu pihak yang tentu masih dapat diragukan kebenarannya.

Jika boleh, saya berpesan kepada orang tua bahwa jangan sampai anak menjadi korban konflik rumah tangga. Karena hal itu otomatis berdampak pada perkembangan psikologis anak. Lihatlah contoh Irman, Ia harus menguatkan diri hanya melihat kenyataan teman-temannya dipangkuan ibu dan ayahnya.

Irman seharusnya merasakan hari kemenangan ini dengan kemenangan bahagia bersama Ibu dan Ayahnya. Tapi egoisme merenggut kemenangan tersebut menjadi tidak utuh lagi...

-----------------------------------

Nama tokoh di atas adalah nama SAMARAN, bahasa dalam dialog 'diperhalus' dari bahasa daerah (bugis) menjadi bahasa Indonesia agar mudah dipahami.

-----------------------------------

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H..
Mohon maaf lahir dan batin...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun