Melintas di benak wajah teman yang selama ini selalu bersama saya. Saya sedikit tersenyum ketika wajah dia yang sedang tersipu malu malah menggantung di rongga kepala. Namun ditengah kelucuan itu saya justru mengerutkan kening saya, dan terhentak, “Oh My Goodness!! Seminar beasiswa S3 di dalam dan luar negeri bersama Mr. Jonathan Zilberg pukul 19.00 WIB”. Segera saya bergegas bangun dan mengganti pakaian. Saya sangat ingin sekali menghadiri acara itu karena acara itu sangatlah penting menurut saya. Tanpa cuci muka, tanpa memakai parfum, dan tanpa tersenyum saya setengah berlari menuju tempat dimana motor saya terparkir. Dengan segera saya melesat berpacu melawan angin.
Tidak berapa lama, tibalah saya di tempat dimana seminar itu dilaksanakan. Untungnya lagi seminar itu belum dimulai sehingga saya mempunyai waktu mencari kamar mandi untuk sekedar membasuh wajah. Saya berjalan menuju ruangan seminar dengan lebih percaya diri karena wajah yang lebih segar dan sedikit berseri.
Selama mengikuti seminar itu, saya mendapatkan banyak sekali pencerahan tentang pendidikan. Dari sekian banyaknya informasi yang saya dapat, ada satu hal yang mendapat perhatian khusus dari saya, yaitu kisah tentang seorang dosen asal amerika yang mengajar di indonesia, sebut saja nama dosen ini adalah Adam. Kira-kira beginilah kisahnya:
Adam telah mengajar di indonesia selama kurang lebih satu tahun. Ia mengajar di salah satu perguruan tinggi di indonesia. Selain mengajar, ia juga mengadakan suatu penelitian tentang sistem belajar para mahasiswa indonesia. Sebagaimana juga proses belajar mengajar di tempat-tempat lain, adam menerapkan sistem diskusi makalah yang melibatkan para siswa. Seiring waktu berjalan, ia menemukan keganjalan dari sistem ini. Dari satu kelompok mahasiswa yang mempresentasikan makalah mereka, hanya satu atau dua mahasiswa yang memahami materi yang sedang mereka presentasikan. Sedangkan sisanya hanya sekedar ikut-ikutan. Hal ini mendapat perhatian khusus dari adam. Ia mendalami permasalahan ini dan akhirnya ia menemukan bahwa akar dari permasalahan ini adalah karena kurangnya minat baca dari para mahasiswanya. Dalam satu kelompok di kelasnya, hanya satu atau dua orang mahasiswa yang membaca. Menanggapi permasalahan ini, adam menerapkan peraturan baru di kelasnya. Setiap hari ia memberikan tugas membaca untuk para mahasiswanya, ia mengharuskan para mahasiswanya membaca buku dan menceritakan kepadanya tentang apa yang mereka baca di setiap pagi sebelum kelas dimulai.
Alih-alih strategi ini berhasil untuk menumbuhkan minat baca para mahasiswa, justru para mahasiswa yang hadir setiap harinya semakin menurun. Satu per satu mahasiswanya absen setiap harinya dan hal ini sangat membuat adam merasa bersedih. Kesedihan adam semakin berlanjut karena setiap harinya presentase jumlah mahasiswa yang hadir di kelasnya semakin menurun. Karena tidak kuat menahan sedihnya, akhirnya adam memutuskan untuk keluar dari universitas tempat ia mengajar dan kembali ke negaranya. Waktu terus berjalan dan kesedihan adam terus berlanjut hingga 4 tahun setelah pemunduran dirinya.
Itulah sepenggal kisah dari seorang pendidik asal amerika yang mengajar di negara kita. Sudah separah itukah rasa malas kita untuk membaca? Padahal yang diuntungkan dari kegiatan gemar membaca adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. Bukankah kita semua tahu semboyan yang mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia? Marilah kita introspeksi diri kita dan jika kita menemukan bahwa budaya membaca belum ada pada diri kita, maka kembangkanlah budaya itu. Semangat membaca bagaikan sayap-sayap yang akan membawa negeri ini menuju masa depan yang sangat cerah.