Terhitung mendekati 9 bulan lagi, ASEAN Economic Community (AEC) akan diresmikan oleh seluruh kepala negara di ASEAN yang terdiri dari 10 negara yang menyatakan berpartisipasi. Indonesia pun akan diwakili oleh kepala negara baru hasil pesta demokrasi nasional 2014. Terhitung ada 6 negara di ASEAN yang siap secara langsung untuk mengintegrasikan sistem di negaranya dengan sistem yang sudah disepakati bersama dalam blueprint ASEAN Communities 2020, diantaranya adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei-Darussalam dan Filipina. Sedangkan Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam akan mengintegrasikan sistemnya dengan beberapa penyesuaian sebelum akhirnya akan mengintegrasikan penuh dengan blueprint pada kesepakatan awal.
AEC 2015 sendiri merupakan sebuah inisiasi untuk menyongsong ASEAN Community 2020. Nantinya akan disusul dengan dua sistem sejenis yaitu ASEAN Securities Community dan ASEAN Socio-Culture Community. Tujuannya secara sederhana adalah kerja sama di antara negara anggota ASEAN untuk meningkatkan kemakmuran, pembangunan fisik dan non fisik dan memperkecil jarak ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi antar negara anggota ASEAN. Hal ini merupakan sebuah kesepakatan yang sebenarnya melihat kesuksesan sistem-sistem sejenis di benua lain seperti European Union (EU).
Pertanyaan yang biasa timbul selanjutnya adalah apa program yang dicanangkan AEC 2015 ini? Apa keuntungan dan kerugian yang akan didapat oleh masyarakat Indonesia pada khususnya? Pertanyaan pertama mungkin terlihat mudah untuk dijawab, tetapi untuk pertanyaan kedua rasanya sulit karena kita belum merasakannya, hanya terus berulang kali membuat prediksi.
Inti dari program yang ada dalam AEC 2015 adalah liberalisasi ekonomi. Segala bentuk transaksi baik berupa barang, jasa, modal, investasi termasuk tenaga kerja dan sumber daya lainnya dibebaskan mengalir di antara negara ASEAN. Tujuannya adalah agar terbentuk ekonomi ASEAN yang hanya memiliki satu pasar dan terbentuk juga basis produksi yang kuat. Jika dipikirkan memang akan lebih mudah bagi pemerintah untuk mengatur dan mengontrol pasar yang cenderung sejenis daripada pasar yang heterogen.
Tentu dalam benak para ekonom beraliran liberal, hal ini sangat menguntungkan karena keseimbangan pasar tidak akan menjadi bias oleh segala bentuk campur tangan pihak lain diluar konsumen dan produsen. Kualitas barang, jasa maupun faktor produksi yang tersedia di masing-masing negara juga secara otomatis akan meningkat seiring meningkatnya persaingan, dari domestik menjadi regional.
Free Flow of skilled labor
Khusus permasalahan mengenai transaksi skilled labor atau tenaga kerja terdidik, benar-benar hanya skilled labor yang dibebaskan. Lantas, apa yang dipikirkan oleh Presiden RI pada saat itu menanda-tangani hasil pertemuan Bali Concorde II Oktober 2003 silam? Apakah ia sudah benar-benar mempertimbangkan dengan baik dampak dari pembebasan aliran skilled labor di Indonesia dari luar negeri khususnya ASEAN? Jika jawabannya sudah dan alasannya hanya berdasarkan optimisme, rasanya kurang masuk akal. Data menunjukan bahwa pada tahun 2013 ada 150.236 TKI yang ditempatkan di Malaysia, 34.655 ditempatkan di Singapura dan 11.269 ditempatkan di Brunei. Jika dihitung secara kasar kurang lebih Indonesia menempatkan 220 ribu orang di seluruh ASEAN sebagai TKI.
Sumber : PUSLITFO BNP2TKI
Dalam data dari PUSLTIFO BNP2TKI tersebut lebih lanjut proporsi TKI yang bekerja di sektor formal dan informal pada tahun 2013 sudah didominasi oleh sektor formal dengan perbandingan 56%:44%. Hal ini terus mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Hanya saja tentu ini bukan hal yang membanggakan jika kita melihat tingkat pendidikan para TKI yang mayoritas adalah tamat SMP dan tamat SD.
Hanya beberapa provinsi seperti provinsi Gorontalo yang mayoritas TKI sudah lulus SMA dan hanya provinsi Bali yang TKI-nya mayoritas merupakan lulusan Diploma. Ini yang memprihatinkan, sudah pasti jika tingkat pendidikannya rendah, jabatan yang diperoleh pun akan rendah. Dalam data selanjutnya berdasarkan 20 jabatan terbesar TKI, mayoritas sebagai berikut :
Sumber : PUSLITFO BNP2TKI
Dengan jabatan tersebut rata-rata TKI mendapatkan gaji sebesar Rp 3-7 juta dalam satu bulan. Akan tetapi, gaji tersebut belum termasuk manfaat lainnya seperti asuransi kesehatan dan jaminan keselamatan kerja. Jika dibandingkan dengan data ekspatriat khususnya yang berasal dari daerah ASEAN, sangat kontras terlihat dalam tabel berikut :
Sumber : PUSLITFO BNP2TKI
Ada 3 negara ASEAN dalam tabel tersebut yang menyumbang jumlah tenaga kerja yang cukup signifikan. Total sekitar 16.000 lebih ekspatriat asal negara ASEAN yang bekerja di Indonesia. Saya merupakan mahasiswa akuntansi juga sudah mendengar kabar bahwa di beberapa Kantor Akuntan Publik (KAP) di Indonesia, sudah banyak para filipinos (orang filipina –red) yang bekerja dan mahir bahasa Indonesia. Berikut kutipan artikel dari portal berita online beberapa waktu yang lalu :
Meskipun sektor perburuhan masih terlilit masalah tahunan, yakni penetapan upah minimum, Indonesia menempati posisi tertinggi dalam tingkat keloyalan pemberian gaji kepada tenaga asing. Menurut survei yang dilakukan HSBC Expat, Indonesia menempati posisi tertinggi dalam pemberian gaji kepada para ekspatriat, yakni di atas USD 250 ribu atau sekitar Rp 3,9 miliar per tahun atau Rp 325 juta per bulan.
Dalam survei tersebut, dikatakan jumlah pekerja asing yang menerima gaji sebesar itu di Indonesia sebanyak 22 persen. Angka tersebut lebih tinggi daripada di Jepang yang proporsinya 13 persen dan Tiongkok dengan 10 persen. Berdasar survei itu, HSBC memasukkan Indonesia ke dalam negara-negara yang diminati para ekspatriat”