Ya, tentangmu lagi. Kerinduan tercecer di labirin masa. Bilangan hari berselimut minggu-minggu tanpa membaca. Sebait puisi. Seutas cerita. Gubahan dari pikiran liarmu tentang kehidupan tanpa kacamata.
Kutahu kau belum habis kata-kata. Terlebih tanda bahaya masih menyala. Di batas imaji engkau merenda frasa. "Uda, 'kepak sayap' sudah laku di baliho besar calon penguasa."
Lekas-lekas, angkat pena yang hampir tenggelam dalam bak tinta!
Becermin di tetesan embun, bermandi kabut menari-nari. Berputar-putar, karena tak pernah mau mengambil jalan pintas. Lantas, terbenam di selasar titik dan koma. Di hutan mana, engkau berkutat sunyi. Bernyanyi di beranda, menghibur tanaman?
Aku hanya menapaki jejakmu. Kaubilang, bahwa mengolah kata itu menyenangkan. Lantas, kenapa orang-orang yang menasbihkan dirinya pujangga, kini hilang tanpa tanda tanya. "Haus kasih sayang?"
Dan merangkai bait-bait puisi, bukanlah mengais puja-puji atau materi. Bila harga dari secarik puisi adalah ketulusan. Maka, ketulusan tidak mengenal "tetap" tuntutan atau keluhan, bukan? Harusnya, masih ada masa bersenang-senang.