Setelah hilangnya sipadan-ligitan, pemerintah rajin membangun daerah perbatasan dan terpencil yang jauh dari ibukota kendati dengan populasi masyarakat yang minim diwilayah tersebut, sempat dikritik dan dihakimi kebijakan mubajir, namun toh itu adalah jawaban, kenapa wilayah Indonesia dahulu banyak diklaim negara tetangga, potensi ingin merdeka dan terbelakang secara pendidikan, ekonomi serta minim insfratruktur. Setelah sekian lamanya pembiaran dan pengabaian terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat di perbatasan.
Hal ini membangunkan kita dari dongeng Nusantara yang gemah Ripah loh jinawi, faktanya pembangunan infrastruktur yang manusiawi di daerah perbatasan dan tertinggal baru terjadi setelah bangsa ini merdeka lebih dari 70 tahun. Namun meninggalkan PR besar untuk meningkatkan taraf ekonomi diwilayah perbatasan sehingga masyarakat tak perlu bergantung pada negara tetangga.
Tak dapat dipungkiri selama ini orientasi pengamanan wilayah perbatasan hanya dilihat dari faktor potensi kekayaan mineral, gas dan minyak bumi, terbukti dari siaga penuh militer di Natuna dan blok Ambalat, tak lupa Papua.
Namun kali ini kondisinya berbeda, penyelesaian batas negara antara Indonesia dan Malaysia di pulau sebatik, ditempuh dengan kesepakatan yang dieksekusi dengan pengukuran ulang patok batas negara oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama Jabatan Ukur dan Pemetaan (JUPEM) Malaysia pada Juni 2019, dengan pengamanan militer dari kedua negara.
Merujuk pada pemberitaan Kompas,19 November 2019:
Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Informasi Geospasial Ade Komara Mulyana dalam sebuah diskusi, Sabtu (16/11/2019).
Ade menuturkan, Indonesia dan Malaysia sudah sepakat bahwa garis perbatasan antarnegara akan berada di garis koordinat empat derajat sepuluh menit lintang utara sebagaimana disepakati Inggris dan Belanda dahulu kala.
Persoalannya, pilar-pilar perbatasan alias patok batas negara peninggalan Belanda-Inggris sudah tidak berada di garis koordinat tersebut.
Akibatnya, perbatasan yang harusnya berbentuk garis lurus menjadi berbelok-belok dan berpengaruh pada luas wilayah Indonesia dan Malaysia.
Menurut Ade, pemerintah Indonesia dan Malaysia telah sepakat untuk menghancurkan pilar peninggalan Inggris-Belanda dan akan membangun pilar baru yang berada di garis koordinat empat derajat sepuluh menit lintang utara.
"Pilar yang dibangun Inggris-Belanda kita hancurkan, kita ganti baru dengan hasil kesepakatan tahun ini. Nah, pilar baru inilah yang kemudian akan jadi batas baru antara Indonesia-Malaysia di sebatik," ucap Ade.
Pemberitaan ini menjadi satu-satunya petunjuk, bagaimana kisruh 44 warga Indonesia pemilik lahan di pulau sebatik, bersitegang dengan warga Malaysia yang menurut informasi akan mengambil alih lahan perkebunan, yang menurut hasil pengukuran terbaru masuk ke dalam wilayah Malaysia.
Tak main-main sekitar 2,16 km lahan yang ada di pulau sebatik wilayah Indonesia, dinyatakan masuk wilayah Malaysia akibat pergeseran patok batas Negara.
Dalam hal ini pemerintah daerah masih menunggu kepastian tentang batas wilayah yang disepakati kedua negara secara resmi, sebelum mengambil tindakan apapun terhadap tuntutan warganya.
Sangat menggelitik akal sehat, saat suatu keputusan yang belum resmi, atau belum disosialisasikan negara, menjadi polemik yang mengusik rasa nasionalisme atas kedaulatan wilayah negara kesatuan republik Indonesia.
Sudah resmi atau belum?
Masih suatu misteri, bagaimana pemerintah daerah dan instansi terkait tidak merencanakan solusi untuk status kepemilikan lahan penduduknya yang berpindah wilayah negara, sampai adanya laporan dari warga yang dirugikan, dan bagaimana patok batas negara bisa bergeser /berganti baru?
Ada dua kemungkinan yang menyebabkan peristiwa diatas dapat terjadi:
Pertama, pemerintah pusat melalui BPN terlambat memberikan arahan terkait penyesuaian batas negara diwilayah tersebut kepada pemerintah daerah setempat.
Kedua, memang belum ada release resmi dari pemerintah pusat, karena memang rangkaian kesepakatan batas negara baru sampai pada hasil pengukuran, belum sampai pada kesepakatan akhir. Pun sudah ada patok batas negara yang bergeser atau terbaru.
Indonesia yang adem ayem atau Malaysia kelewat nafsu?
Ketegangan antar warga Indonesia dan Malaysia di pulau sebatik tidak semestinya terjadi, jika kedua negara dapat memberikan informasi yang jelas terhadap hasil kesepakatan tersebut kepada masyarakat.
Dalam hal ini, seperti biasanya Malaysia bergerak cepat untuk urusan klaim-klaim semacam ini, dan Indonesia tidak belajar dari peristiwa pembangunan mercusuar oleh Malaysia di tanjung datu, Kalimantan barat di tahun 2014. Belakangan setelah didesak mercusuar tersebut dibongkar sendiri.
Perencanaan dan pelaksanaan persetujuan apakah sudah melewati proses study yang komprehensif?
Apakah ekses-ekses yang akan timbul sudah menjadi pertimbangan, tentang kompensasi lahan milik warga, pembangunan jalan baru kecamatan, titik pengamanan sipil dan militer, serta untung rugi dari kesepakatan tersebut.
Apakah asas keterbukaan publik menjadi pertimbangan untuk hal yang terkait batas wilayah negara, sementara hingga detik ini belum diketahui apakah dari 246,1 kmĀ² Wilayah Indonesia dipulau sebatik, apakah berkurang atau bertambah dari hasil pengukuran tahun 2019?
Wajar publik bertanya, apakah ada sesuatu yang ditutupi atau lebih buruk ada musuh dalam selimut yang menggadaikan kedaulatan negara untuk kepentingan pihak tertentu dari peristiwa ini.
Pemerintah melalui instansi terkait harus mengeluarkan pernyataan resmi kepada publik secepatnya, sebelum hal ini menjadi polemik dimasyarakat dan menambah bahan konflik netizens Indonesia vs Malaysia dimedia sosial. Suatu hal mubajir ditengah ribetnya situasi ekonomi dan politik di masa pandemi.