Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Purchasing Power Versus Loving Power

2 Mei 2015   23:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 46 1
Tulisan ini saya tulis ketika dalam perjalanan dari Pasar Senen ke Kutoarjo menggunakan kereta api Sawunggalih Malam. Iseng-iseng melikuidasi pemikiran-pemikiran yang terjebak pada rerimbunnya kesemrawutan otak di kepala.

Purchasing Power

Pertama-tama, kenapa ya tidak ada frasa kedua-dua, ketiga-tiga, keempat-empat, dan seterusnya? Ah sudahlah, tidak usah dan perlu berpikir-pikir pada bahasa yang semrawut ini.

Pertama-tama, melanjutkan tadi yang terputus. Kita akan menjelaskan apa itu purchasing power. Kedua-dua, Anda (hai para pembaca) bisa jadi tidak ikut dalam penjelasan yang akan saya berikan, jadi kata ganti orang pertama plural diganti menjadi singular: saya (saja).

Apa itu purchasing power? Secara singkat frasa berbahasa Inggris itu diterjemahkan menjadi ‘kekuatan membeli.’ Kekuatan membeli ini dikaitkan dengan kemampuan membeli seseorang atau sesuatu (bisa jadi perusahaan, korporasi, atau badan organisasi) didasarkan pada faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Misalnya, ruang fiskal perusahaan tersebut dan kondisi finansialnya. Atau dengan bahasa yang lain: Elo punya duit kagak buat beli itu?

Ingat, kemampuan dan kemauan itu berbeda. Catat! Bisa jadi Anda mau tapi tidak mampu (1); mampu tapi tidak mau (2); atau mau dan mampu (3). Meskipun berbeda, tapi keduanya saling berhubungan. Hubungannya apa? HTS (Hubungan Tanpa Status)? Bukan, bukan, bukan.

Hubungannya bisa jadi kemauan seseorang bisa dilandasi oleh kemampuannya. Contoh, orang yang punya duit 100 miliar besar kemungkinan (atau sekurang-kurangnya memiliki kemungkinan untuk) membeli mobil Alphard atau mobil-mobil mewah lainnya. Tapi berbeda dengan orang yang setiap bulannya bergajian 300 ribu (hei, jangan salah guru-guru SD di pelosok yang bukan PNS [Pegawai Negeri Sipil] gajinya bahkan bisa lebih kecil dari itu lho!). Orang dengan gaji bulanan kurang dari 300 ribu mungkin tak punya keinginan untuk membeli mobil dengan harga selangit itu. Bisa jadi, tau mereknya saja tidak tahu (seperti saya dulu).

Kesimpulannya, purchasing power menentukan (kualitas/kuantitas) komoditas barang beli mereka. Semakin tinggi kualitasnya, maka otomatis purchasing powernya semakin powerful pula.

Loving Power

Nah, konsep purchasing power bisa disamadengankan denganloving power. Bedanya, kalau purchasing power pada konteks ‘membeli’ sedangkan loving power pada konteks ‘mencintai.’

Kita tidak memungkiri bahwa para calon pasangan kita adalah berkelas-kelas, baik kelas-kelas itu kita sendiri yang menciptakan maupun memang sudah secara umum ‘kelasnya seperti itu.’ Sebagai contoh yang ‘kelasnya seperti itu', secara umum adalah warna kulit: kecerahan. Semakin cerah, semakin ganteng atau cantik. Bisa jadi. Pasti setiap orang mempunyai indikator kemenarikan sendiri-sendiri. Akumulasi dari kesamaan indikator setiap individu menjadi ke-umum-an. Sama seperti sepakatnya saya dengan Anda bahwa Chelsea Islan itu cantik.

Baik-baik, duh sampai mana ini ya?

Ya, kelas-kelas pasangan kita berbeda. Taruhlah artis-artis yang berparas ganteng atau super cantik sehal dengan Aliando atau Chelsea Islan yang sudah tersebut merupakan pasangan-pasangan yang menempati kelas paling tinggi.

Mampukah Anda atau saya melamar Chelsea Islan. Ngaca dulu, Sob! Nah, jika itu yang keluar secara tak sadar dari hati nurani atau pun dari rasionalitas pemikiran maka sesungguhnya kita (saya dan Anda) tidak punya loving power yang sebesar itu. Oleh karenanya, wajar jika para pasangan yang dibidik oleh kita adalah yang berada pada level di bawah kelas itu: kelas tertinggi dalam kelas buatan kita.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Loving Power

Selanjutnya, apa saja yang mempengaruhi loving power. Untuk kali ini, silakan Anda boleh sepakat atau tidak untuk mengiyakan atau men-tidak-an pendapat saya.

To be continued….

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun